DPR diharapkan tetap mengakomodir aspirasi publik yang disampaikant terkait pembahasan RUU Cipta Kerja. Hal tersebut menjadi salah satu hal utama yang didorong dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Oleh
Rini Kustiasih
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyerapan aspirasi publik sebagai prinsip utama yang dikedepankan dalam proses legislasi di negara demokratis terancam tercederai dengan dipaksakannya pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Rapat dengar pendapat umum yang akan digelar oleh Panitia Kerja RUU Cipta Kerja pun sebaiknya tidak mengambil putusan atau menyimpulkan sesuatu dengan alasan suara publik telah didengarkan.
Pakar hukum tata negara Refly Harun mengatakan, aspirasi publik merupakan salah satu prinsip utama yang dikedepankan oleh UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Bagaimana DPR dapat mengakomodir aspirasi publik ini menjadi isu krusial di dalam pembahasan. Terlebih lagi karena pembahasan tetap dipaksakan untuk dilakukan di tengah-tengah pandemi Covid-19.
“Seharusnya pembicaraan antarfraksi dan sesama anggota DPR itu sifatnya informal saja, atau pembahasannya bukan pembahasan formal yang menukik pada pembahasan bab dan substansi RUU Cipta Kerja. Karena RUU ini kan dianggap bermasalah, dan dalam prosesnya harus mengedepankan penyerapan aspirasi publik,” kata Refly.
Aspirasi publik merupakan salah satu prinsip utama yang dikedepankan oleh UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Bagaimana DPR dapat mengakomodir aspirasi publik ini menjadi isu krusial di dalam pembahasan.
Akan tetapi, dengan telah dibentuknya panja oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR, pembahasan formal terkait substansi RUU Cipta Kerja itu telah berlangsung. Sebelumnya, DPR juga telah menggelar rapat kerja dengan pemerintah yang diwakili oleh Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, dan sejumlah menteri lainnya yang terkait.
Menurut Refly, karena pembahasan telah dimulai, anggota DPR diharapkan bersikap bijak dengan tidak mengambil keputusan atau kesimpulan apapun yang terburu-buru terkait dengan masukan publik tersebut. Alasannya, aspirasi publik yang diwadahi di dalam kondisi darurat Covid-19 itu diragukan akan bisa mencerminkan keinginan publik seutuhnya. Dalam kondisi pandemi, publik memiliki keterbatasan untuk ikut menyuarakan, memantau, dan berpartisipasi aktif seluas-luasnya di dalam pembahasan RUU Cipta Kerja.
Di sisi lain, menurut Refly, banyak substansi di dalam RUU Cipta Kerja yang berdampak pada kehidupan masyarakat dan memengaruhi berbagai bidang kehidupan mereka. “Kalau sampai pengambilan keputusan terlalu terburu-buru di tengah pandemi Covid-19, partisipasi publik kemungkinan tidak bisa diserap dengan baik, dan UU yang dihasilkan dari pembahasan itu akan cacat hukum,” katanya.
Refly juga mengkritik asumsi pemerintah dan DPR yang menilai RUU Cipta Kerja merupakan salah satu solusi untuk mengatasi dampak ekonomi yang timbul akibat Covid-19. Asumsi-asumsi yang dibangun oleh RUU yang dibentuk dengan metode omnibus law tersebut sudah tidak relevan dengan kondisi ekonomi saat ini yang terpukul karena faktor lain, yakni Covid-19. Oleh karena itu, jangan sampai Covid-19 dijadikan alasan pembenar dilakukannya pembahasan yang meminimalisir partisipasi publik.
“Kita harus menjaga betul pembahasan RUU Cipta Kerja ini dari free riders, atau penunggang-penunggang gelap di tengah wabah Covid-19. Karena RUU ini sangat menguntungkan pengusaha, memangkas birokrasi, tetapi dampaknya merugikan buruh, lingkungan, dan termasuk pengelolaan hak milik atas tanah, serta tema kehidupan masyarakat lainnya yang problematik,” ujarnya.
Kita harus menjaga betul pembahasan RUU Cipta Kerja ini dari free riders, atau penunggang-penunggang gelap di tengah wabah Covid-19
Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi mengatakan, DPR sejak awal memastikan pembahasan RUU Cipta Kerja dilakukan secara terbuka. Jalannya rapat itu pun disiarkan secara langsung melalui media sosial DPR maupun televisi parlemen. Adapun publik yang diundang di dalam RDPU dapat mengikuti secara langsung melalui aplikasi Zoom atau aplikasi rapat virtual lainnya yang disiapkan oleh kesekretariatan DPR.
Sejumlah kendala teknis dalam rapat virtual, menurut Baidowi, tidak dapat dihindari karena teknologi itu memiliki keterbatasan saat diakses oleh banyak orang pada saat bersamaan. Kondisi sinyal dan jaringan internet antara lain yang dapat menjadi sumber terjadinya kendala teknis. Namun, pada pokoknya, DPR membuka partisipasi publik seluas-luasnya dalam pembahasan RUU Cipta Kerja, termasuk dengan menyelenggarakan uji publik melalui RDPU sebagaimana disepakati di dalam Baleg DPR.
Terhadap rapat panja RUU Cipta Kerja, 20 April 2020, yang berlangsung tertutup, sejumlah masyarakat sipil yang mengatasnamakan Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) mengutarakan kritiknya. Mereka menilai rapat panja yang tertutup itu menandakan pembahasan RUU Cipta Kerja yang tertutup dari aspirasi publik. Mereka antara lain ditolak untuk masuk dan bergabung di dalam rapat itu.
Sementara Baidowi mengatakan, rapat panja itu bersifat internal. Orang di luar panja tidak diperkenankan hadir di dalam rapat dan ikut berbicara. “Nanti khusus publik akan diberikan saluran khusus untuk menampung aspirasi mereka. Ikut di Zoom Meeting itu posisinya sama dengan ikut di ruang rapat. Maka yang khusus ya yang bisa bicara, karena ada fasilitas untuk bicara. Kalau mau dilibatkan dalam RDPU ya sebaiknya bersurat saja kepada Baleg,” katanya.
Kawal pembahasan
Menurut rencana, Panja RUU Cipta Kerja akan menggelar RDPU perdana dengan publik, Rabu ini. Pakar dan pihak terkait yang sifatnya pro maupun kontra RUU Cipta Kerja itu dijanjikan untuk didengarkan pendapatnya.
Secara terpisah, Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Rieke Diah Pitaloka mengatakan, semua pihak harus ikut mengawal jalannya pembahasan RUU Cipta Kerja.
“Saya menilai masukan dari publik yang komprehensif sangat penting untuk menilai sekaligus membuka ruang untuk dihasilkannya draf RUU yang benar-benar berpihak pada kepentingan nasional, yakni kepentingan rakyat, bangsa dan negara, bukan untuk kepentingan pribadi, kelompok atau golongan yang dapat membahayakan kepentingan dan keselamatan nasional NKRI,” katanya.
Jalannya RDPU, Rabu ini, menurut Rieke, bukan hanya menjadi masukan bagi DPR, tetapi sekaligus masukan bagi pemerintah.
“Saya yakin Pemerintah tidak menutup diri dari masukan publik untuk melakukan perbaikan terhadap draf RUU Cipta Kerja yang disusun sebelum Covid-19,” ujarnya.