Penyerapan aspirasi publik terkait RUU Cipta Kerja yang dilakukan secara virtual dikhawatirkan tidak dapat mengakomodasi secara maksimal keinginan rakyat. DPR diminta menunda pembahasan RUU tersebut.
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Aspirasi publik terancam dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang dilakukan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat di tengah pandemi Covid-19. Pembahasan RUU yang akan dilakukan secara virtual dikhawatirkan tidak mampu mengakomodasi aspirasi publik pihak-pihak yang berkepentingan secara luas dalam prosesnya.
Di sisi lain, keberatan dari banyak elemen publik terus mengemuka terhadap tahapan pembahasan RUU Cipta Kerja yang dibentuk dengan omnibus law tersebut. Keberatan antara lain juga disampaikan oleh Dewan Pers, terkait dengan sejumlah pasal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kemerdekaan pers yang diatur di dalam UU Pers.
Pengajar hukum tata negara dari Universitas Andalas Khairul Fahmi, Jumat (17/4/2020) yang dihubungi dari Jakarta mengatakan, dalam kondisi darurat saat ini perhatian rakyat tersedot untuk memikirkan keselamatan dan kebutuhan hidup mereka sehari-hari akibat pandemi Covid-19. Dalam kondisi yang demikian, aspirasi publik berpotensi tidak bisa optimal disampaikan kepada anggota DPR dalam tahapan uji publik.
RUU Cipta Kerja dinilai mengandung banyak materi kontroversial, yang meliputi dimensi luas, baik lingkungan hidup, hak asasi manusia (HAM), perundang-undangan, pemerintahan daerah, ketenagakerjaan, dan persoalan lain.
“Semua itu membutuhkan pemikiran yang fokus dan tenang. Dalam kondisi darurat dan kesulitan ekonomi, rakyat tidak bisa tenang memikirkan substansi RUU Cipta Kerja, sehingga masukan-masukan yang diharapkan DPR pun tidak akan maksimal,” ujar Fahmi.
Semua itu membutuhkan pemikiran yang fokus dan tenang. Dalam kondisi darurat dan kesulitan ekonomi, rakyat tidak bisa tenang memikirkan substansi RUU Cipta Kerja, sehingga masukan-masukan yang diharapkan DPR pun tidak akan maksimal
Untuk memastikan publik dapat menyampaikan aspirasinya dengan baik dan maksimal, menurut Fahmi, sebaiknya DPR dan pemerintah menunda pembahasan RUU Cipta Kerja.
Sebelumnya, dalam rapat kerja antara pemerintah dan DPR, Selasa (14/4) lalu, disepakati agar pembahasan diawali dengan uji publik, yakni untuk mendengarkan masukan dari publik seluas-luasnya melalui rapat yang dihadiri fisik maupun virtual. Sejumlah pihak telah menyurati DPR dan meminta untuk mengadakan audiensi terkait RUU Cipta Kerja. DPR juga merencanakan untuk mengundang para pakar atau ahli. Hasil pembicaraan dengan publik itu akan menjadi bahan bagi fraksi-fraksi menyusun daftar inventarisasi masalah (DIM).
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Nasdem Willy Aditya mengatakan, upaya untuk menunda pembahasan DIM dari fraksi merupakan respons DPR atas kondisi pembahasan di masa darurat Covid-19. Ia tidak sependapat bila pembahasan ditunda, karena kondisi darurat yang berdampak pada kondisi ekonomi yang memburuk itu justru makin menguatkan perlunya RUU Cipta Kerja dibahas. Dengan demikian, krisis ekonomi itu bisa cepat diantisipasi setelah Covid-19.
“Kondisi Covid-19 itu memperburuk situasi ekonomi, yang sebelumnya berusaha diatasi dengan RUU Cipta Kerja. Dengan pertimbangan itu, pembahasan RUU Cipta Kerja saat ini semakin relevan dilakukan, karena kondisi yang semakin memburuk,” katanya.
Tawaran alternatif
Ia mengatakan, DPR terbuka atas pendapat alternatif terkait dengan RUU Cipta Kerja. Pendapat itu pun sebaiknya tidak hanya penolakan semata, tapi perlu disertai usulan atau tawaran lain dalam mengatasi problem ekonomi yang terjadi.
“Kami membuka diskursus tentang hal ini. Oleh karena itu, pihak yang menolak boleh saja mengajukan argumentasinya. Tetapi harus ada tawaran lain, tidak bisa sekadar menolak,” kata Willy.
Pembahasan di masa darurat melalui virtual, menurut Willy, diyakini memadai dan mampu mengakomodasi pendapat publik. Perwakilan dari pihak-pihak terkait bisa berdebat dan menyampaikan pendapatnya di dalam uji publik.
Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Negeri Jember Bayu Dwi Anggono, mengatakan, pembahasan virtual di DPR itu dipertanyakan dasar hukumnya. Alasannya, pembahasan itu dilakukan hanya didasarkan pada peraturan internal DPR, yakni tentang tata tertib (tatib). Adapun pengaturan persidangan dan rapat legislasi di DPR diatur secara rinci dan ketat di dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dengan hanya diatur melalui tatib lembaga, dasar hukum pembahasan legislasi secara virtual itu lemah, dan UU yang dihasilkannya berpotensi digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Fungsi legislasi diatur secara ketat di dalam UU No 12/2011, dan tidak bisa ketentuan itu hanya diubah melalui perubahan tatib di internal DPR. Yang bisa mengubahnya ialah ketentuan yang setara dengan UU. Jika pembahasan ini dipaksakan, UU yang dihasilkan melalui mekanisme itu berpotensi cacat formil, dan bisa digugat ke MK,” ujar Bayu.
Fungsi legislasi diatur secara ketat di dalam UU No 12/2011, dan tidak bisa ketentuan itu hanya diubah melalui perubahan tatib di internal DPR. Yang bisa mengubahnya ialah ketentuan yang setara dengan UU
Untuk memastikan DPR dan pemerintah tidak menyalahi prosedur pembentukan UU, sebaiknya ada perubahan terhadap UU No 12/2011, sehingga pembahasan legislasi secara virtual dimungkinkan. Jalan yang bisa ditempuh ialah meminta pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti UU (Perppu).
“Dalam kondisi darurat, DPR bisa meminta pemerintah menerbitkan Perppu untuk mengubah UU No 12/2011. Namun, logikanya untuk apa juga memaksakan membahas suatu UU yang saat ini tidak dibutuhkan oleh rakyat. Kalau pun tidak ada RUU Cipta Kerja pun, masih ada aturan lama yang masih bisa berlaku dengan baik,” kata Bayu.
Dihubungi terpisah, anggota Dewan Pers Agus Sudibyo mengatakan, beberapa pasal masih problematik di dalam RUU Cipta Kerja, termasuk pasal yang tidak sesuai dengan prinsip kemerdekaan pers.
“Masih ada konten yang bermasalah, sehingga diperlukan proses dialog dan tukar pendapat yang komprehensif. Dewan Pers berharap baik dari sisi konten maupun prosesnya harus memiliki legitimasi,” katanya.
Agus mengatakan, pemerintah dan DPR harus fokus pada penanganan pandemi. Pembahasan RUU Cipta Kerja sebaiknya ditunda, sehingga lebih banyak pihak yang dapat diundang dan dimintai masukan.