Telah hampir satu bulan aparatur sipil negara bekerja dari rumah akibat Covid-19. Pelayanan publik pun terdampak. Budaya kerja perlu diubah agar pelayanan tetap optimal.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan aparatur sipil negara bekerja dari rumah untuk mencegah penyebaran virus korona baru penyebab Covid-19 berdampak pada terganggunya pelayanan publik. Kreativitas dan perubahan budaya kerja di kalangan aparatur sipil negara amat dibutuhkan saat mereka bekerja dari rumah agar layanan publik tetap berlangsung optimal. Pasalnya, ada kebutuhan mendesak masyarakat terhadap pelayanan publik tersebut.
Saat mengeluarkan kebijakan aparatur sipil negara (ASN) bekerja dari rumah pada 17 Maret 2020, pemerintah sebenarnya juga meminta pelayanan publik tak terganggu.
Namun, realitasnya sebaliknya. Dari laporan publik yang masuk ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB), pada 17 Maret hingga 9 April 2020, tak sedikit masyarakat yang mengeluhkan terganggunya pelayanan publik.
Keluhan paling banyak terkait tidak tertanganinya pelayanan administrasi kependudukan. Dari total 348 laporan yang diterima Kemenpan dan RB, hampir separuhnya atau sebanyak 153 laporan mengenai hal itu. Berada di urutan kedua, keluhan terkait kelistrikan (116 laporan). Kemudian soal perpajakan (40 laporan), perizinan (20 laporan), keimigrasian (11 laporan), serta minyak dan gas (8 laporan).
Termasuk dalam administrasi kependudukan ini adalah pengurusan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el).
Pengaduan soal tak optimalnya layanan administrasi kependudukan juga masuk ke Ombudsman RI (ORI) Perwakilan Kepulauan Riau (Kepri). Menurut Kepala ORI Kepri Lagat Siadari, pelayanan dokumen kependudukan, seperti pembuatan KTP-el dan kartu keluarga, berhenti pada tahap pendaftaran. Setelah mendaftar, pemohon diminta kembali saat pelayanan normal. Namun, tak jelas kapan pelayanan normal kembali.
”Padahal, bisa saja masyarakat membutuhkan dokumen itu untuk kepentingan mendesak yang lain. Pelayanan yang menjadi kebutuhan dasar bagi masyarakat seharusnya diprioritaskan,” katanya, pekan lalu.
Kebutuhan akan KTP elektronik, misalnya, penting sebagai syarat mengurus mengikuti program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat guna mendapatkan pelayanan kesehatan.
Maynar Azhari (31), warga Kelurahan Kelapa Dua Wetan, Ciracas, Jakarta Timur, pun kesulitan mengurus kartu keluarga. Sebab, ia memperoleh informasi kantor kelurahan tutup sejak Covid-19 merebak. Padahal, kartu keluarga dibutuhkan untuk pengurusan akta kelahiran anaknya yang diperkirakan lahir akhir bulan ini.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh melalui surat ke seluruh kepala dinas dukcapil di daerah meminta agar pelayanan tetap berjalan baik sekalipun di tengah pandemi Covid-19.
Pelayanan diminta diutamakan secara daring, mulai dari permohonan sampai terbitnya dokumen, sehingga pemohon dapat mencetaknya sendiri di rumah. Namun, khusus layanan perekaman untuk KTP-el hanya bisa di kondisi mendesak. Perekaman harus menjalankan protokol pencegahan Covid-19.
Layanan perizinan
Selain dokumen kependudukan, juga ada keluhan terkait terhentinya pengurusan perizinan. Keluhan itu terutama disampaikan pengusaha.
Andy Agata (32), warga Kampung Baru, Bareng Lor, Klaten, misalnya, ingin segera memulai usahanya, tetapi tak kunjung mendapatkan izin prinsip pengelolaan air dari pemerintah. Padahal, ia telah memenuhi seluruh persyaratan.
Saat Andy ingin mengurus ke kantor Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM-PTSP) Klaten, tak ada ASN yang melayani. Di depan kantor tertulis pelayanan di DPM-PTSP ditunda, tetapi tak ada penjelasan sampai kapan. Dia hanya diberikan empat nomor telepon pusat krisis.
”Saya coba hubungi empat nomor itu, tetapi tak ada yang mengangkat telepon. Padahal, kami butuh kepastian,” keluhnya.
Kepala ORI Perwakilan Jawa Tengah Siti Farida, yang menerima laporan itu, menyampaikan, Andy sebetulnya tinggal membutuhkan sidang antar-organisasi perangkat daerah (OPD) sebagai penentu izin itu disetujui atau tidak. ”Sidang OPD bisa secara telekonferensi. Jadi, sebenarnya tak ada alasan untuk menunda-nunda pelayanan tersebut,” ujarnya.
Menurut Siti, kebijakan ASN bekerja dari rumah mestinya juga diiringi perubahan kultur kerja. Apalagi di tengah kondisi saat ini yang menyulitkan pengurusan izin secara tatap muka. ”Kultur ASN harus didorong terbiasa memutuskan sesuatu dalam sebuah pertemuan yang sifatnya virtual,” katanya.
Deputi Bidang Pelayanan Publik Kemenpan dan RB Diah Natalisa mengatakan, pengaduan publik itu akan dijadikan bahan evaluasi. ”Bekerja dari rumah seharusnya bukan alasan untuk tidak melakukan pelayanan. Tugas pimpinan memimpin bawahan, memberi arahan dan mengawasi agar pelayanan dasar kepada publik tetap berjalan baik,” ujarnya.
Menurut dia, ada tiga model pelayanan publik selama pandemi Covid-19 yang berlaku di sejumlah instansi pemerintah dan bisa dijadikan contoh.
Pertama, pelayanan publik berjalan seperti biasa, tetapi ASN dan pemohon harus menjalankan protokol pencegahan Covid-19, seperti menjaga jarak fisik. Kedua, pelayanan langsung dikombinasikan dengan pelayanan secara daring, dengan pembagian jadwal bagi ASN yang bekerja di rumah dan di kantor. Ketiga, pelayanan publik hanya secara daring.
Dari ketiga model itu, Diah berharap, instansi pemerintah, khususnya yang secara langsung melayani publik, mengutamakan pelayanan secara daring.
”Ini momen yang baik untuk lebih mengintensifkan penggunaan teknologi. Yang dulu sudah ada, tetapi belum digunakan optimal, sekarang harus dipaksa. Sudah saatnya, semua itu benar-benar dioptimalkan,” tambahnya.
Ia menyadari tak semua daerah memiliki infrastruktur dan kualitas internet yang baik.
"Tetapi, inilah tantangan, bukan hambatan, mulailah dari yang sederhana. Dalam kondisi seperti sekarang, ASN dipaksa kreatif dalam menyelesaikan permasalahan dengan tak menurunkan semangat dalam melayani masyarakat,” tutur Diah. (NAD/DEA/NSA/DIT/NIA)