Menanti Perppu Penundaan Pilkada yang Belum Kunjung Terbit
Dua pekan sudah berlalu sejak keputusan untuk menunda Pilkada 2020 akibat Covid-19 diambil secara tripartit oleh penyelenggara pemilu, DPR, dan pemerintah. Namun, belum juga terbit perppu penundaan pilkada tersebut.
Peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang disepakati penyelenggara pemilu, Dewan Perwakilan Rakyat, dan pemerintah sebagai jalan penundaan Pilkada Serentak 2020 belum kunjung diterbitkan. Dua pekan sejak kesepakatan itu muncul, belum juga ada produk hukum penundaan yang bisa memberikan kepastian hukum bagi penyelenggara, peserta, dan pemilih.
Sejumlah persoalan masih dihadapi penyelenggara pemilu setelah kesepakatan penundaan pilkada di 270 daerah sebagai dampak wabah Covid-19 dan penerbitan perppu dicapai pada 30 Maret 2020. Persoalan paling utama ialah belum bisa ditetapannya kapan pilkada setelah masa penundaan dilakukan.
Hingga Senin (13/4/2020) pagi belum juga muncul informasi soal terbitnya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) penundaan Pilkada 2020. Boleh jadi, salah satu penyebabnya karena belum diketahui sampai kapan wabah Covid-19 ini baru dapat teratasi.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari menuturkan, perppu tersebut, jika kelak diterbitkan, tidak perlu menyebutkan kapan waktu pelaksanaan pilkada bakal dilangsungkan. Feri mengatakan, perppu itu bisa menyebutkan penyelenggara pemilu dapat menetapkan waktu penundaan yang tepat. Ini bila sewaktu-waktu pemerintah menyatakan wabah Covid-19 telah teratasi.
Perppu tersebut, jika kelak diterbitkan, tidak perlu menyebutkan kapan waktu pelaksanaan pilkada bakal dilangsungkan.
Hal lain adalah perppu juga disarankan bisa mengatur tentang mekanisme persetujuan oleh DPR secara daring. Risiko relatif besar jika pertemuan fisik dilakukan menjadi penyebabnya. Apalagi, mulai Jumat (10/4/2020), di DKI Jakarta mulai diberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sebagai upaya mengatasi Covid-19. Beberapa daerah lain juga segera menyusul DKI Jakarta. Hal ini membuat interaksi fisik menjadi kian terbatas.
Baca juga: Imbas Penundaan Pilkada 2020, Antisipasi Kekosongan Kepala Daerah
Menurut Feri, apa yang saat ini harus dilakukan adalah Presiden Joko Widodo membahas draf peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pembahasan itu antara lain menyangkut Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang berasal dari KPU. Proses ini untuk memudahkan sehingga pada gilirannya kemudian presiden tinggal mengesahkan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini berpendapat, waktu penundaan sebaiknya dilakukan hingga Juni 2021. Adapun tahapan pemilihan lanjutan ditetapkan berdasarkan otoritas yang dimiliki KPU.
Menurut nggota KPU, Pramono Ubaid Tanthowi, setidaknya ada dua poin yang perlu ada dalam perppu penundaan pilkada. Substansi pertama terkait dengan penyelenggaraan pilkada yang sedianya berlangsung pada 23 September 2020. Kedua, terkait kewenangan untuk menunda dan melaksanakan lagi pilkada.
Pasal 122 UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada, diatur bahwa penundaan pemilihan dilakukan KPU tingkat kabupaten/kota atau KPU tingkat provinisi. Sementara pemetaan pemilihan lanjutan dilakukan menteri atau usulan KPU tingkat provinsi atau oleh gubernur atas usul KPU tingkat kabupaten/kota.
”Kita (KPU) usul kewenangan (keputusan) melanjutkan itu diberikan kepada lembaga yang memutuskan melakukan penundaan,” ujar Pramono.
Tentu saja, menurut dia, proses penentuan itu tetap dengan melakukan konsultasi pada pemerintah daerah setempat. Selain itu, juga konsultasi bersama Bawaslu dan aparat keamanan. Sekalipun demikian, dia juga mengatakan, berdasarkan rapat dengar pendapat pada 30 Maret, Komisi II DPR dan Kemendagri hanya akan fokus pada penundaan pilkada.
Pertanyakan anggaran
Kesepakatan penundaan pilkada dan pengalihan anggaran untuk menangani wabah Covid-19 juga masih menyisakan sejumlah pertanyaan. Khususnya terkait dengan mekanisme pengembalian dan pengalihan anggaran serta jaminan keberadaan anggaran tersebut kelak manakala akan dilakukan pilkada lanjutan.
Sebagian pihak mengusulkan agar dana pilkada dibiayai APBN alih-alih lewat ABPD setelah sebelumnya didahului dengan kesepakatan NPHD (Naskah Perjanjian Hibah Daerah). Sebagian usulan lain yang mengemuka, dana penyelenggaraan berasal dari APBD dengan sebagian di antaranya dari APBN.
Hal tersebut muncul dalam diskusi daring yang digelar pada Minggu (5/4). Pada kesempatan itu, Ketua KPU Sulawesi Utara Ardiles Mewoh dan Ketua Bawaslu Sumatera Barat Surya Efitrimen mempertanyakan langkah teknis untuk melakukan pengalihan anggaran.
Ketua KPU Arief Budiman dalam kesempatan itu menyatakan agar menanti penyikapan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan. Adapun sementara ini dilakukan penghentian anggaran yang belum dipergunakan dan mempertanggungjawabkan yang sudah dipakai.
KPU hingga pekan lalu masih mempertajam tiga usulan waktu penyelenggaraan yang digagas setelah penundaan Pilkada 2020 dipastikan. Masing-masing pada 9 Desember 2020, 17 Maret 2021, dan 29 September 2021.
Anggota KPU, Viryan Azis, mengatakan bahwa gambaran teknis terhadap tiga alternatif tersebut rencananya akan dibahas dalam rapat dengar pendapat bersama DPR dan pemerintah yang dilangsungkan Rabu pekan lalu. Akan tetapi, rapat tersebut lantas ditunda hingga pekan ini.
”Namun, prinsip pokoknya adalah, semuanya bergantung kepada kapan wabah Covid-19 akan berakhir,” kata Viryan.
Sejauh ini sudah empat tahapan pilkada yang ditunda oleh KPU, yakni pelantikan Panitia Pemungutan Suara (PPS), verifikasi syarat dukungan calon perseorangan, pembentukan Panitia Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP), serta kerja pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih. Sejumlah konsekuensi berbeda akan dihadapi tergantung pada masing-masing waktu pemungutan dan penghitungan suara yang akan bakal dipilih.
Viryan menambahkan, jika seandainya pemerintah menyatakan status darurat hingga 29 Mei, sesuai dengan keputusan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, maka tahapan pemilihan juga perlu dilanjutkan. Jika demikian, sejumlah penyesuaian teknis perlu dilakukan.
Misalnya, tahapan pemutakhiran data pemilih yang mestinya dilakukan dengan mendatangi langsung setiap pemilih kemungkinan akan dibuah menjadi berbasis RT (rukun tetangga). Viryan mengatakan, jika tidak ada pihak yang menolak gagasan tersebut sebagai bentuk kehati-hatian, KPU akan melakukan revisi Peraturan KPU. Namun, perubahan di tingkat undang-undang juga dibutuhkan.
Selain itu, tahapan kampanye yang selama ini sarat interaksi dan persentuhan fisik juga bakal dicarikan substitusinya. Salah satunya ialah dengan mengatur kampanye secara daring.
Akan tetapi, pandemi Covid-19 yang terjadi secara global mesti dipertimbangkan pula efeknya secara global. Penyelenggara pemilu mesti mempertimbangkan efek global pandemi Covid-19 dalam menyelenggarakan pilkada setelah penundaan dilakukan.
Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi August Mellaz mengingatkan, jikapun misalnya wabah di Indonesia sudah berhenti, tetap perlu dipertimbangkan adanya potensi virus pencetus Covid-19 masih akan ada di sejumlah negara. Kondisi yang berkemungkinkan terjadi tatkala Indonesia mungkin sudah keluar dari krisis tersebut.
Pada sisi lain, August juga mengatakan adanya konsep yang saling bertabrakan antara pelaksanaan pilkada dan penanganan pandemi Covid-19. Pilkada, imbuh August, dicirikan dengan kehadiran dan interaksi fisik secara langsung. Interaksi fisik ini terdapat dalam tahapan pemutakhiran data pemilih, bertemunya kandidat dan konstituen, dan sebagainya.
Sementara itu, prinsip penanganan pandemi Covid-19 adalah sebaliknya, yakni membatasi pertemuan fisik guna memutus mata rantai penyebaran virus.
”Ini problemnya,” ujar August.
Jadi, kapan perppu itu terbit, dan apa saja isinya? Kita tunggu kebijakan pemerintah.