DPR berencana merevisi UU MK. Dalam draf RUU tersebut, diatur perpanjangan masa jabatan pimpinan MK dan masa pensiun hakim MK hingga berusia 70 tahun.
Oleh
Rini Kustiasih/ Dian Dewi Purnamasari
·3 menit baca
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Petugas kebersihan tengah bekerja di lobi Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (23/3/2020). Masa reses DPR yang harusnya berakhir 29 Maret 2020 diperpanjang hingga 29 Mei 2020 akibat wabah virus korona baru, Covid-19. Meski demikian, beberapa alat kelengkapan DPR, seperti Badan Anggaran dan Komisi DPR, masih menggelar rapat secara daring.
JAKARTA, KOMPAS— Motif Dewan Perwakilan Rakyat yang berencana merevisi Undang- Undang Mahkamah Konstitusi dipertanyakan. Selain dibahas di masa yang tidak tepat karena perhatian semua elemen masyarakat sedang tertuju pada Covid-19, substansi draf revisi yang beredar juga dinilai tidak menyentuh kepentingan publik.
Di dalam draf revisi UU MK diatur tentang hakim konstitusi akan menjabat hingga umur 70 tahun tanpa periodisasi masa jabatan (Pasal 87 Huruf c), perpanjangan masa jabatan ketua dan wakil ketua MK dari 2,5 tahun menjadi 5 tahun (Pasal 4), pengurangan jumlah pengawas hakim (Pasal 27 Huruf a), dan lainnya.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, menambahkan, motif DPR untuk tetap membahas sejumlah RUU, termasuk revisi UU MK, layak dipertanyakan.
Di masa darurat kesehatan seperti ini, DPR terkesan mencuri-curi kesempatan untuk mengegolkan paket UU kontroversial.
Menurut Feri, ada kecenderungan DPR ingin memuluskan paket UU yang kontroversial di masyarakat seperti saat mereka memuluskan revisi UU KPK.
Di masa darurat kesehatan seperti ini, DPR terkesan mencuri-curi kesempatan untuk mengegolkan paket UU kontroversial. Feri menduga ada transaksi dan lobi-lobi politik dalam pembahasan paket UU tersebut.
Terkait draf revisi UU MK, kata Feri, tidak ada relevansi revisi undang-undang tersebut untuk kepentingan publik. Selama ini, masalah yang banyak disoroti pencari keadilan adalah terkait hukum acara yang berubah-ubah yang menimbulkan rasa ketidakadilan di masyarakat.
Persidangan lanjutan di Mahkamah Konstitusi terhadap enam permohonan pengujian formal dan material Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Rabu (4/3/2020) berfokus pada keterangan tiga ahli. Salah satu yang dibahas ialah tentang prosedur sebagai jantung hukum.
Dalam sengketa hasil Pilpres dan Pileg 2019, misalnya, pola sidang dan pembuktian- pembuktiannya sangatlah berbeda. Jika ingin membenahi MK, seharusnya DPR memperhatikan soal hukum acara ini. Bukan malah menyenangkan hakim konstitusi yang menjabat saat ini dengan memperpanjang masa jabatannya.
”Motif DPR mengajukan revisi UU MK ini sangat mencurigakan. Dengan pasal-pasal yang ada di draf RUU MK, terutama Pasal 4 dan Pasal 87, kental nuansa transaksional ketimbang membuat perubahan di MK untuk para pencari keadilan,” kata Feri.
Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi Universitas Negeri Jember Bayu Dwi Anggono menyoroti tentang usulan perpanjangan pensiun yang tidak diimbangi dengan penjagaan akuntabilitas MK yang baik sebab jumlah anggota majelis etik MK dikurangi dari tiga orang (mantan hakim MK, tokoh masyarakat, dan pakar/akademisi) menjadi dua orang (hakim konstitusi dan Komisi Yudisial).
”Sangat aneh kalau jumlah majelis etik hanya dua orang. Seharusnya majelis itu berjumlah ganjil supaya ada keputusan yang bisa diambil bilamana ada dilema keputusan di antara dua anggota majelis. Selain itu, tidak ada wakil dari tokoh masyarakat dari dua anggota majelis etik,” kata Bayu.
Kompas/Wawan H Prabowo
Para anggota DPR RI mengikuti Rapat Paripurna Pembukaan Masa Persidangan III di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (30/3/2020). Rapat Paripurna DPR RI kali ini mengikuti protokol pencegahan COVID-19, yang salah satunya menerapkan anjuran jaga jarak atau physical distancing.
Bukan prioritas
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Achmad Baidowi mengatakan, RUU MK merupakan usulan anggota DPR dan telah diharmonisasi di Baleg. Namun, RUU tersebut tidak masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), tetapi merupakan RUU kumulatif terbuka. Artinya, RUU tersebut bisa diajukan jika dipandang perlu dibahas.
Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, mengatakan, pembahasan RUU MK tersebut diserahkan kepada Komisi III. Namun, belum ada pembahasan mendalam di Komisi III sebab naskah akademik dan drafnya dibuat oleh Baleg.
Arsul menilai, UU MK memang perlu diubah, antara lain terkait dengan cara perekrutan yang mestinya sama antara DPR, presiden, dan MA. ”Juga soal benturan kepentingan antara hakim MK dari MA (Mahkamah Agung) ketika mengadili judicial review yang terkait dengan UU MA, UU lembaga peradilan lainnya, dan UU KY,” katanya.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah yang juga mantan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, menyarankan agar DPR seharusnya lebih peka dan bersolidaritas. Solidaritas tersebut dapat ditunjukkan dengan tidak membahas RUU apa pun, terutama yang memicu polemik di masyarakat.