Masyarakat sedang tertekan karena pandemi. Saatnya DPR berbela rasa dengan fokus bekerja membantu untuk mengatasi Covid-19 dan menunda pembahasan RUU problematik.
Petugas pemakaman membawa peti jenazah pasien Covid-19 di TPU Pondok Rangon, Jakarta Timur, Minggu (29/3/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu berbela rasa dengan mendengar aspirasi publik. Rakyat tak menghendaki rancangan undang-undang (RUU) problematik dibahas di tengah pandemi Covid-19. Masyarakat tengah menghadapi tekanan sosial ekonomi dan psikologis akibat Covid-19. Mereka terpantik amarah saat para wakilnya tak memedulikan suasana hati.
Sebaliknya, masyarakat akan mengapresiasi jika DPR mengerahkan energinya membantu pemerintah dan rakyat memenangi pertempuran melawan Covid-19 yang disebabkan virus korona baru.
Sosiolog Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo, yang dihubungi dari Jakarta, Minggu (5/4/2020), mengatakan, akan menjadi catatan sejarah pada saat masyarakat bahu-membahu mengatasi dampak wabah Covid-19, anggota DPR masih terus membahas sejumlah RUU kontroversial. Hal itu menandakan DPR tak peduli terhadap apa yang terjadi di masyarakat.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Sosiolog Universitas Indonesia, Imam Prasodjo
Apalagi, saat ini relatif banyak jatuh korban jiwa akibat Covid-19, serta tenaga medis juga berjuang antara hidup dan mati melawan Covid-19. Sebagian di antaranya gugur.
Rapat Paripurna DPR, Kamis (2/4), menyerahkan pembahasan RUU Cipta Kerja yang dibentuk dengan metode hukum sapu jagat (omnibus law) ke Badan Legislasi (Baleg) DPR. Paripurna juga menyetujui tindak lanjut pembahasan RUU Pemasyarakatan dan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana ke tingkat II atau rapat paripurna serta tinggal menunggu koordinasi dengan Komisi III DPR.
Sejumlah konten RUU Cipta Kerja ditolak kelompok masyarakat. Sementara itu, RUU Pemasyarakatan dan RKUHP termasuk RUU yang ditolak pada unjuk rasa September 2019. Saat itu jatuh korban jiwa.
Kompas/Wawan H Prabowo
Anggota DPR mengikuti Rapat Paripurna Pembukaan Masa Persidangan III di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (30/3/2020). Rapat Paripurna DPR kali ini mengikuti protokol pencegahan Covid-19, yang salah satunya menerapkan anjuran jaga jarak secara fisik atau physical distancing.
Apabila memaksakan pembahasan RUU bermasalah, Imam menambahkan, publik akan melihat DPR tak bisa melihat skala prioritas. Selain itu, DPR juga bisa dianggap seperti mencuri kesempatan melakukan sesuatu di tengah kesibukan orang-orang bertaruh nyawa memerangi Covid-19.
Hal ini, katanya, bisa menjadikan DPR sebagai kambing hitam atas seluruh masalah yang terjadi dalam penanganan wabah Covid-19. Persepsi publik itu bisa muncul walaupun tak semua persoalan itu disebabkan kesalahan DPR.
Kemarahan
Profesor Riset Bidang Sosiologi pada Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Henny Warsilah, mengatakan, secara sosiologis, masyarakat Indonesia sedang mengalami perubahan radikal pada tatanan sosial ekonomi.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Aktivitas tenaga medis dalam tes cepat pemeriksaan Covid-19 di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Sabtu (4/4/2020). RSUD Pasar Minggu ditetapkan menjadi salah satu rumah sakit rujukan di Jakarta yang bisa melayani pasien dengan gejala terinfeksi, diduga terinfeksi, ataupun terinfeksi Covid-19.
Sektor informal yang berbasis relasi sosial kini kolaps karena jaga jarak secara fisik harus dilakukan guna mencegah penyebaran Covid-19. Karena itu, DPR seyogianya berbela rasa dengan masyarakat. Pembahasan RUU sebaiknya ditunda karena akan membuat masyarakat menganggap DPR dan pemerintah tak pro-rakyat.
Guru Besar Psikologi Politik UI Hamdi Muluk mengingatkan langkah DPR memaksakan pembahasan RUU bermasalah akan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada DPR. Bisa jadi pula, kata Hamdi, akan terjadi kemarahan. Selain itu, dia juga mengingatkan DPR bakal terus menjadi musuh masyarakat.
Ekspresi terbesar bakal tercurah di media sosial. Hal ini menyusul tak memungkinkannya demonstrasi saat pandemi.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Para mahasiswa berusaha menghindari gas air mata yang ditembakkan oleh petugas kepolisian saat berunjuk rasa di depan Gedung DPR Senayan, Jakarta, Selasa (24/9/2019). Mereka menuntut dibatalkannya Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang baru saja direvisi dan menolak Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, Charles Simabura, mengatakan, sejumlah RUU yang disebutkan di rapat paripurna tak mendesak dibahas. Padahal, prinsip utama pembentukan UU ialah untuk menjawab kebutuhan publik.
”Semua RUU yang urgensinya tak penting ditunda dulu. DPR fokus saja pada fungsi pengawasan dan anggaran. Jangan membahas legislasi di tengah kondisi darurat, seolah- olah ingin memanfaatkan kondisi ini memuluskan kepentingan tertentu,” kata Charles.
Ketua Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif Veri Junaidi mendorong pemerintah dan DPR menarik diri dari pembahasan RUU Cipta Kerja, revisi UU KUHP, dan RUU Pemasyarakatan. Dia berharap pemerintah dan DPR mendengar aspirasi masyarakat.
Anggota Baleg dari Fraksi PDI-P, Hendrawan Supratikno, mengatakan, pembacaan surat presiden tentang RUU Cipta Kerja dalam rapat paripurna, pekan lalu, ialah prosedur formal yang harus dilakukan DPR ketika menerima surat apa pun dari lembaga lain. Surat itu harus dibacakan dalam rapat paripurna. Namun, pembahasan RUU Cipta Kerja akan berkembang di internal Baleg. ”Dinamikanya akan luar biasa di Baleg. Teman-teman fraksi tentu akan menyuarakan aspirasi konstituennya, termasuk PDI-P,” katanya.
KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Hendrawan Supratikno
Sementara itu, anggota Baleg dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Zainuddin Maliki, mengatakan, fraksinya sepakat berkonsentrasi dulu membantu pemerintah mengatasi pandemi Covid-19. Di samping itu, menurut dia, pengawasan kebijakan pembahasan sosial berskala besar dan stimulus ekonomi Rp 405,1 triliun perlu lebih dikedepankan.