Lantaran wabah Covid-19, KPK memperpanjang batas waktu pelaporan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) periodik selama satu bulan, yaitu dari batas waktu 31 Maret 2020 menjadi 30 April 2020.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi memperpanjang waktu penyampaian laporan harta kekayaan penyelenggara negara tahunan atau yang dikenal dengan pelaporan LHKPN periodik untuk tahun laporan 2019. Perpanjangan waktu diberikan selama satu bulan, yaitu dari batas waktu 31 Maret 2020 menjadi 30 April 2020.
Pelaksana Tugas Juru Bicara Pencegahan KPK Ipi Maryati Kuding, di Jakarta, Jumat (20/3/2020) mengatakan, perpanjangan tersebut dilakukan karena bertepatan dengan situasi dan perkembangan terkini terkait pandemi coronavirus disease2019 (Covid-19).
”Hal itu sesuai pernyataan resmi Presiden RI, agar masyarakat menghindari kontak dekat sebagai upaya pencegahan penyebaran Covid-19,” ujar Ipi.
Terkait hal tersebut, KPK telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 100 Tahun 2020 tentang Perpanjangan Masa Penyampaian Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara Periodik Tahun Laporan 2019 pada 19 Maret 2020.
Masa perpanjangan pelaporan tersebut juga berlaku untuk kewajiban penyampaian LHKPN jenis khusus, yakni bagi penyelenggara negara yang baru pertama kali menjabat atau diangkat kembali dalam jabatan publik ataupun yang berakhir masa jabatannya sebagai penyelenggara negara yang jatuh pada periode 1 Januari 2020 sampai dengan 31 Maret 2020.
Diinformasikan sebelumnya, terkait pandemi Covid-19, KPK menutup sementara beberapa layanan publik secara tatap muka. Meskipun masih membuka layanan tatap muka untuk LHKPN, KPK mengimbau kepada wajib lapor untuk lebih memanfaatkan saluran tidak langsung terkait pelaporan LHKPN, yaitu melalui https://elhkpn.kpk.go.id dan e-mail lhkpn@kpk.go.id.
Dihubungi terpisah, Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Oce Madril mengatakan, pelaporan LHKPN tidak seperti Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak sehingga tak perlu diulur-ulur.
”LHKPN ini kewajiban untuk pejabat tertentu. Mereka wajib membuat laporan sehingga tidak ada alasan untuk menunda,” ujarnya.
Menurut Oce, seharusnya KPK tidak ada kebijakan untuk memberikan perpanjangan waktu untuk batas akhir pengumpulan. Ketika ada penyelenggara negara (PN) yang tidak patuh dalam pembuatan LHKPN, harus diberi sanksi administratif. KPK dapat mengumumkan siapa saja yang tidak patuh.
Menurut Oce, penambahan satu bulan yang dilakukan KPK menunjukkan penegak hukum tidak konsisten sebab pembuatan LHKPN merupakan salah satu syarat yang wajib dilakukan oleh PN.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, mennyebutkan, adanya pandemi Covid-19 seharusnya tidak berpengaruh pada pembuatan LHKPN.
”Sejak beberapa tahun lalu, KPK sudah memiliki aplikasi daring. Seharusnya tidak ada kelonggaran. Bagi instansi terkait, seharusnya mereka memberikan sanksi administrasi (pada penyelenggara yang tidak membuat LHKPN),” ujarnya.
Tingkat kepatuhan
Ipi menjelaskan, tingkat kepatuhan LHKPN secara nasional per 18 Maret 2020 tercatat 71,47 persen. Dari total 361.579 wajib lapor yang berasal dari 1.397 instansi di Indonesia, sebanyak 258.437 wajib lapor telah menyampaikan laporannya. Ipi merincikan, bidang eksekutif sekitar 70,42 persen atau sebanyak 205.609 telah melapor dari total 291.961 wajib lapor.
”Terkait kepatuhan lapor di bidang eksekutif, di antaranya meliputi menteri, wakil menteri, dan pejabat setingkat menteri lainnya yang berjumlah total 51 (penyelenggara negara), tercatat total 34 penyelenggara negara telah lapor atau sekitar 67 persen. Sisanya sebanyak 17 orang yang belum lapor merupakan wajib lapor kategori periodik,” tutur Ipi.
Untuk 13 orang staf khusus Presiden, ada tiga orang yang merupakan wajib lapor periodik yang belum menyampaikan laporannya. Dari total delapan orang staf khusus wakil presiden, tercatat dua penyelenggara negara yang termasuk kategori wajib lapor periodik dan empat PN yang tergolong wajib lapor khusus belum menyampaikan LHKPN-nya.
Untuk Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), KPK mencatat masih ada dua penyelenggara negara yang masing-masing merupakan wajib lapor periodik dan wajib lapor khusus yang belum menyampaikan laporannya. Tujuh orang lainnya tercatat telah menyampaikan LHKPN-nya.
Adapun penyelenggara negara di bidang legislatif yang sudah melapor mencapai 66,46 persen atau 13.390 orang dari total 20.147 wajib lapor. Bidang yudikatif mencapai 94,62 persen atau 17.932 orang telah melapor dari total 18.951 wajib lapor. Sementara itu, di bidang badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah, tercatat 70,47 persen atau 21.506 orang telah melapor dari total 30.520 wajib lapor.
Ipi mengimbau penyelenggara negara segera membuat LHKPN. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN mewajibkan penyelenggara negara untuk bersedia melaporkan, mengumumkan, dan diperiksa kekayaannya sebelum serta setelah menjabat.
”Penyelenggara negara yang melanggar ketentuan tersebut dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata Ipi.