Setelah Nasdem, Safari Politik PAN Berlanjut ke Gerindra
Setelah bertemu Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan bertemu Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Banyak hal didiskusikan. Salah satunya omnibus law.
Oleh
Rini Kustiasih/Nikolaus Harbowo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah bertemu dengan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, Selasa (10/3/2020), Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan bertemu dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Selain mengundang Prabowo ke acara pelantikan pengurus PAN, Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang bermetodekan omnibus turut dibicarakan. Kedua partai politik sepakat mencermati setiap pasal.
Zulkifli Hasan bertemu Prabowo Subianto di kediaman Prabowo, di Jakarta, Rabu (11/3/2020) sore. Zulkifli didampingi sejumlah elite PAN seperti Soetrisno Bachir, Eddy Soeparno, dan Yandri Susanto.
”Ya, tadi kami menyampaikan undangan pelantikan untuk tanggal 25 Maret, sekaligus juga membahas ekonomi, pertahanan, dan soal wabah korona, dan lain-lain. Dari semua itu, kesimpulannya, untuk mengatasi persoalan itu, diperlukan kebersamaan saling mendukung, dan menguatkan karena ini bukan persoalan pemerintah saja, tapi masalah kita. Saling menyalahkan tidak akan menyelesaikan masalah,” kata Zulkifli.
Menurut Sekretaris Fraksi PAN di DPR Yandri Susanto, RUU Cipta Kerja termasuk didiskusikan. Kedua belah pihak disebutkannya sepakat untuk mencermati pasal per pasal di omnibus law tersebut.
”Pak Prabowo menekankan agar substansi Pasal 33 UUD 1945 harus dipertahankan, dan ini menjadi roh bagi segala peraturan yang dibuat oleh DPR dan pemerintah. Teman-teman dari PAN juga sepakat untuk mencermati dari pasal per pasal, dan ayat per ayat. Sepanjang tetap berpihak kepada rakyat, kita (PAN dan Gerindra) senapas,” katanya.
Yandri mengatakan, pihaknya juga akan membuka diskusi dengan kelompok yang terkait langsung ataupun tidak langsung dengan RUU Cipta Kerja, termasuk kalangan buruh.
”Tata cara pembuatan UU memang harus melibatkan para pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung akibat UU yang dilahirkan itu. Kalau masalah perburuhan, maka buruh yang diundang. Jika masalah pertanian, maka petani yang diundang, termasuk kampus, dan sebagainya. Semua dilibatkan dan mekanisme tata cara pembentukannya ditaati, termasuk dengan mendengarkan media massa,” katanya.
Diundang parpol
Secara terpisah, Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Kahar Cahyono mengatakan, beberapa partai telah mengundang kalangan buruh untuk membahas RUU Cipta Kerja. Undangan dari parpol itu pun dipenuhi oleh KSPI. Namun, Kahar enggan menyebutkan partai mana saja yang telah mengundang buruh.
Kahar menegaskan tetap menolak RUU Cipta Kerja. Sebagai bentuk penolakan itu, elemen KSPI di sejumlah daerah sudah berunjuk rasa. Kemudian pada 23 Maret saat DPR kembali bersidang, buruh berencana kembali berunjuk rasa di depan Gedung DPR, Jakarta.
”Tuntutannya agar pembahasan omnibus law dihentikan. Artinya, DPR tak membahas RUU Cipta Kerja itu. Kami juga meminta pemerintah mencabut kembali RUU yang diserahkan ke DPR itu,” tutur Kahar.
Penolakan itu, lanjut Kahar, didasarkan isi RUU Cipta Kerja yang secara fundamental bermasalah. RUU tersebut pun dinilai akan mengurangi hak buruh. Mekanisme perumusan RUU juga dinilai bermasalah karena tanpa pelibatan buruh. Bagi KSPI, tak cukup RUU itu diselesaikan di pembahasan DPR.
”Jadi harus disusun ulang agar dipastikan tak ada yang dirugikan. Keterbukaan dan partisipasi publik harus dibuka secara luas,” ucap Kahar.
Waktu 60 hari
Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Negeri Jember Bayu Dwi Anggono menyoroti belum dibahasnya RUU Cipta Kerja. Surat Presiden (Surpres) RUU Cipta Kerja telah diterima DPR pada 12 Februari 2020 dan hingga kini terhitung sudah 30 hari sejak surpres diterima.
Padahal, Pasal 50 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan, DPR memiliki waktu 60 hari untuk membahas RUU yang diusulkan oleh presiden sejak surpres diterima DPR.
”Faktanya setelah hampir 30 hari Presiden mengirimkan Surpres RUU Cipta Kerja ke DPR ternyata DPR belum menindaklanjuti sebagaimana tahapan yang telah ditentukan dalam UU No 12/2011 ataupun peraturan tata tertib DPR. Hal ini tentu saja menimbulkan kebingungan bagi publik karena sesungguhnya jika DPR tidak setuju membahas RUU Cipta Kerja, maka hal tersebut harus diputuskan dalam paripurna,” kata Bayu.
Sekalipun alasan reses bisa dimaklumi sebagai salah satu penyebab RUU Cipta Kerja belum dibahas, belum jelasnya alat kelengkapan DPR yang akan membahas RUU menyiratkan sikap status quo atau diam yang dilakukan oleh DPR. Hal ini, menurut Bayu, rentan menimbulkan kesan adanya kepentingan transaksional di mana suara publik menjadi terabaikan.
Ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakan, MPR terus memantau perkembangan omnibus law.
”Saat ini, komunikasi antar-pimpinan parpol sedang berjalan dan masih berproses terus. Pak Airlangga (Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang juga Ketua Umum Partai Golkar) kemarin sudah bertemu dengan beberapa pimpinan parpol, demikian juga pimpinan partai lainnya. Mudah-mudahan saja terjadi suatu kesamaan pandangan atas beberapa pasal di dalam omnibus law tersebut,” paparnya.