Calon Tunggal Merusak Demokrasi
Peningkatan jumlah calon tunggal dinilai sebagai anomali bagi Indonesia yang memiliki sistem multipartai. Tren ini muncul karena partai enggan melakukan kontestasi.
JAKARTA, KOMPAS - Tren meningkatnya calon tunggal terjadi akibat pragmatisme partai politik untuk menghindari kompetisi. Jika fenomena ini terus berlanjut, kepercayaan publik terhadap partai akan semakin terdegradasi.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, sejatinya calon tunggal merupakan opsi paling terakhir agar tidak terjadi kebuntuan politik. Namun, yang terjadi, kehadiran calon tunggal seolah-olah menjadi jalan keluar untuk memfasilitasi pragmatisme politik karena ingin mengamankan kepastian kemenangan.
"Jadi lebih baik memborong seluruh dukungan parpol ketimbang mengalami ketidakpastian dalam kontestasi. Jadi malah menghindari kompetisi, kontestasi," ujar Titi seusai Diskusi Publik "Urgensi Mewujudkan Pilkada Demokratis dan Berkualitas" di Jakarta, Senin (9/3/2020).
Sebelumnya diberitakan, jumlah pasangan calon tunggal terus bertambah di tiga gelombang pilkada serentak. Tren ini dikhawatirkan akan kembali berlanjut di Pilkada 2020.
Pada Pilkada 2015 yang berlangsung serentak di 269 daerah, tiga daerah menggelar pilkada dengan calon tunggal. Di Pilkada 2017, dari 101 daerah, 9 daerah menggelar pilkada dengan calon tunggal. Jumlah itu meningkat di Pilkada 2018. Dari 171 daerah penyelenggara pilkada di tahun itu, 16 daerah menggelar pilkada dengan calon tunggal.
Titi menilai, tren peningkatan calon tunggal ini merupakan anomali bagi Indonesia yang memiliki sistem multipartai dan jumlah penduduk tinggi. Komitmen partai pun dipertanyakan sebagai institusi rekrutmen dan pengaderan politik.
"Jadi kalau partai terus-terusan memilih calon tunggal, ini makin bisa mendegradasi kepercayaan publik terhadap parpol. Jadi apatisme publik bisa makin menguat dan ujung-ujungnya tidak percaya lagi pada parpol," tutur Titi.
Borongan dukungan terhadap calon tunggal pun, menurut Titi, patut diduga telah terjadi proses transaksi politik. Oleh karena itu, penguatan pengawasan di dalam proses pencalonan sangat dibutuhkan, baik kolaborasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maupun Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
"Pengawasan harus lebih efektif untuk memastikan tak terjadi praktik mahar politik. Itu memang ruang yang gelap. Tetapi justru harus ada cara-cara luar biasa dari pengawas pilkada dan aparat penegak hukum untuk mendeteksi ada tidaknya perilaku itu. Kan aneh, partai banyak, tapi hanya condong calon tunggal," ucap Titi.
Baca juga: Calon Tunggal Berpotensi Meningkat
Ironi demokrasi
Peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menambahkan, kontestasi dan kompetisi merupakan syarat mutlak dari demokrasi. Apabila dua unsur itu tak terpenuhi, berarti demokrasi yang sedang terbangun tak terkonsolidasi, tak substantif dan hanya prosedural.
"Ini karena pilar pentingnya, yaitu parpol, tidak serius dalam membangun fungsinya sebagai pilar demokrasi," ujar Siti.
Siti menyoroti kemenangan kotak kosong di Pilkada 2018 di Makassar, Sulawesi Selatan, sehingga pilkada akan dilaksanakan lagi pada 2020. Menurut Siti, fenomena tersebut merupakan sebuah ironi di dalam demokrasi.
"Bagaimana logikanya, ada calon bernyawa dan dikontestasikan dengan kotak kosong. Dan kotak kosong itu menang di Makassar. Itu menurut saya ironi demokrasi kita atau cacatnya demokrasi kita. Itu sudah tak rasional," ucap Siti.
Dari situ, lanjut Siti, seharusnya parpol mau mereformasi internal organisasi mereka. Parpol harus mampu mempersiapkan dan memetakan kadernya yang kelak akan duduk di tingkatan DPRD, DPR, hingga kepala daerah.
Sementara itu, Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Bahtiar menjelaskan, feonemona calon tunggal di daerah muncul akibat kelonggaran aturan di Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, koalisi partai jangan sampai mengakibatkan partai lain tak bisa mengusung calon. Sedangkan, di UU Pilkada tak mengatur soal itu sehingga koalisi besar mengusung calon tunggal dimungkinkan terjadi.
"Itu kelemahan di UU Pilkada kita. Memang hal ini harus kita perbaiki ke depan supaya pengaturan tentang pilkada, paling enggak sama di pengaturan UU Pemilu. Jadi, parpol enggak bisa melakukan koalisi seluruhnya yang mengakibatkan partai lain tidak bisa mencalonkan kepala daerah," ujar Bahtiar.
Namun, menurut Bahtiar, masyarakat tetap memiliki harapan dengan memilih kotak kosong. Itu bisa menjadi bukti perlawanan rakyat.
Apabila calon tunggal tetap menang melawan kotak kosong pun, kata Bahtiar, hal itu harus tetap menjadi pelajaran bagi calon bahwa ada rakyat yang tak memilihnya.
"Harus tahu diri sebagai kepala daerah. Boleh pada saat pencalonan semua partai mendukung tetapi pada saat pencoblosan tak semua memilih dia. Itu menjadi rem bagi dia ketika memimpin agar tak otoriter," kata Bahtiar.
Baca juga: Maraknya Calon Tunggal Ancam Demokrasi
Batas maksimal dukungan
Revisi atau uji materi terhadap UU Pilkada dinilai menjadi solusi pembenahan regulasi untuk mencegah potensi kenaikan tren pasangan calon tunggal dalam Pilkada serentak 2020. Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta membenarkan bahwa saat ini sebagian elemen masyarakat sipil tengah mengkaji kemungkinkan melakukan uji materi tersebut. Fokusnya ialah syarat bagi partai politik atau gabungan partai politik dengan pembatasan maksimal persentase suara dalam mengusung paslon kepala daerah.
Kaka mengatakan, dasar filosofis kajian itu menyusul adanya kebutuhan adanya kompetisi secara sehat dalam negara demokrasi. Secara yuridis, hal itu juga disebutkan dalam UUD 1945.
Menurutnya, jika memang uji materi dilakukan dan Mahkamah Konstitusi cepat memutuskan, maka aturan tersebut bisa digunakan dalam Pilkada serentak 2020. Atau, jalan lainnya bisa dengan menerbitkan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang).
Lebih jauh Kaka menjelaskan bahwa secara statistik, kegagalan calon tunggal sangat kecil. Bagi kandidat, imbuh Kaka, hal itu dilihat lebih menguntungkan tatkala mesti bersaing dengan kotak kosong. Sementara di sisi lain, partai politik atau gabungan partai politik pendukung semakin mampu mendeteksi potensi kemenangan atau kekalahan.
“Sehingga dukungan parpol cenderung ke calon yang potensial, Khususnya petahana atau bagian dari petahana,’ ujar Kaka.
Akan tetapi menurutnya hal itu mencerminkan buruknya praktik demokrasi. Ia menilai hal itu mestinya jadi kajian partai politik, pemerintah, dan penyelenggara pemilu.
Sehari sebelumnya, pengajar di di Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia Hurriyah mengatakan, keberadaan pasangan calon tunggal disebabkan pula oleh persoalan regulasi. Misalnya saja dengan tidak adanya aturan yang membatasi jumlah maksimal koalisi partai politik. Regulasi yang ada justru memberikan batasan minimal.
Hal ini tercermin di dalam Pasal 40 UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada. Aturan itu menyebutkan bahwa partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan paslon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD. Atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu DPRD daerah bersangkutan.
Menurut Hurriyah, semestinya yang dilakukan adalah pengaturan persentase perolehan maksimal alih-alih minimal. Misalnya saja, imbuh Hurriyah, jika ditetapkan batas maksimalnya 30 persen, hal itu akan membuat partai politik atau gabungan partai politik mengusung paslon-paslon tersendiri. Revisi undang-undang menjadi proses yang mestinya terjadi agar hal itu bisa terwujud.
Namun Hurriyah juga menyebutkan bahwa KPU bisa membuat Peraturan KPU (PKPU) yang mengatur dan memperketat regulasi pembatasan koalisi partai politik. Ia memaparkan, hal itu sekaligus juga untuk menekan biaya politik yang mahal.