Gratifikasi di PN Jakarta Barat Coreng Nama Baik Peradilan
Meskipun jumlahnya tidak besar, temuan dugaan gratifikasi di PN Jakarta Barat bisa merusak kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Apalagi, citra lembaga peradilan saat ini relatif turun.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Adanya dugaan penerimaan uang sebesar Rp 15 juta oleh oknum pegawai Pengadilan Negeri Jakarta Barat dapat mencoreng nama baik institusi peradilan di Indonesia. Selain menindaklanjuti temuan tersebut, Mahkamah Agung juga didorong memperketat pengawasan kelembagaan.
Apalagi, lembaga peradilan masih harus memperbaiki kinerja dan citra institusi agar dipercaya publik. Hasil survei Litbang Kompas pada Oktober 2019 dengan melibatkan 2.000 responden di 34 provinsi menunjukkan hanya 58,6 persen responden yang menilai baik citra Mahkamah Agung. Persentase itu turun 0,8 persen dibandingkan dengan survei serupa Maret 2019. Adapun pada survei Januari 2015, citra positif Mahkamah Agung sempat mencapai di atas 65 persen.
Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Abdullah menjelaskan, pada Kamis pekan lalu ada informasi bahwa ada pegawai Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat yang menerima uang Rp 15 juta. ”Dari informasi tersebut, kami periksa CCTV keesokan harinya. Dari rekaman CCTV tersebut, akhirnya kami panggil orang yang terlibat,” kata Abdullah saat dihubungi di Jakarta, Kamis (13/2/2020).
Dari temuan, Tim Pemeriksa Badan Pengawasan (Bawas) memeriksa semua pihak yang diindikasi terlibat dalam pemberian uang tersebut. Proses tersebut masih berlangsung hingga sekarang. Abdullah mengatakan, kasus ini baru terjadi sekali pada tahun ini. Ia berharap para pegawai pengadilan tidak lagi melakukan tindakan serupa karena mereka telah mendapatkan tunjangan.
”Pada dasarnya semua pegawai agar tidak melakukan hal serupa. Kami sedang bersih-bersih dan tahun ini baru pertama kali kejadian. Meskipun demikian, kasus ini telah mencoreng nama baik institusi pengadilan,” ujar Abdullah.
Pelaksana Tugas Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Ali Fikri mengatakan, tim Pengaduan Masyarakat KPK telah membantu Bawas MA untuk melakukan operasi mendadak (sidak) di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. ”Bawas telah menerima laporan tentang adanya dugaan penerimaan sejumlah uang oleh oknum pegawai PN Jakarta Barat pada Jumat,” kata Ali.
Kami sedang bersih-bersih dan tahun ini baru pertama kali kejadian. Meskipun demikian, kasus ini telah mencoreng nama baik institusi pengadilan.
Dari operasi tersebut ditemukan barang bukti Rp 15 juta. Meskipun jumlah tersebut terbilang kecil, sidak itu tetap perlu dilakukan untuk memperkuat aparat pengawasan intern pemerintah yang ada di Mahkamah Agung.
KPK berharap, dengan semakin kuatnya Bawas MA, hal itu dapat mencegah kasus yang sama terulang kembali. Sebagai tindak lanjut, operasi tersebut sepenuhnya menjadi wewenang Bawas MA. Bawas MA dapat memeriksa pihak terkait yang diduga sebagai penerima ataupun pemberi uang. Meskipun demikian, KPK tetap siap membantu.
KPK mengingatkan kepada semua aparatur yang bertugas di kekuasaan kehakiman agar menghindari praktik suap, gratifikasi, pemerasan, atau penerimaan dalam bentuk apa pun yang berhubungan dengan jabatan.
Harus diperketat
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan, adanya gratifikasi dan suap di wilayah pengadilan adalah hal yang umum terjadi meskipun saat ini sudah mulai diperketat, seperti pengacara tidak dapat masuk ke ruang hakim.
”Saya menyaksikan ada klien YLBHI yang sedang mengajukan kasus di pengadilan ditelepon beberapa kali oleh panitera yang meminta sejumlah uang. Bahkan, ketika kami disumpah menjadi saksi pun dimintai biaya sumpah,” kata Asfinawati.
Meskipun biaya yang diminta tidak terlalu besar, ujarnya, kebiasaan itu terjadi di pengadilan. Biaya yang lebih besar sering diminta dalam perdagangan kasus, salah satunya sidang perceraian.
Pola yang terjadi, pegawai pengadilan akan meminta uang kepada pihak yang menang. Mereka akan melihat dari berkas perkara. Dari ilmu hukum, melalui berkas perkara tersebut sudah dapat dilihat siapa yang menang.
”Ketika pemberi uang mempertanyakannya, pegawai pengadilan tersebut akan bilang, kalau tidak dikasih maka akan kalah,” ujar Asfinawati.