Selain retorika, hal yang diperlukan adalah ketegasan dari pimpinan eksekutif untuk memastikan Jaksa Agung melaksanakan kewajibannya berdasarkan UU 26/2000, yaitu Jaksa Agung sebagai penyidik wajib melakukan penyidikan.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA/INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para pemangku kepentingan menyatakan telah satu suara untuk menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat. Namun, pernyataan tersebut membutuhkan langkah konkret sehingga para pihak terkait pun mendapatkan kepastian hukum.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, di Jakarta, Jumat (24/1/2020), kembali memanggil pihak-pihak yang berkaitan dengan agenda penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu. Setelah memanggil Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin pada Rabu (22/1/2020), kali ini Mahfud memanggil para komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menyampaikan, dalam pertemuan yang berlangsung selama kurang lebih 1 jam tersebut, Mahfud mengklarifikasi pernyataan Jaksa Agung yang menyebut tragedi Semanggi I dan II bukan termasuk kasus pelanggaran HAM berat.
Selain itu, menurut Taufan, Kejaksaan Agung, Komnas HAM, dan Kemenko Polhukam telah satu suara untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
”Sudah diklarifikasi. Kami semua sepakat untuk duduk bersama-sama tanpa mesti menciptakan kehebohan di ruang publik. Agar upaya penyelesaian (kasus pelanggaran HAM) baik yudisial maupun non-yudisial bisa didapatkan,” kata Taufan seusai pertemuan di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta.
Kendati telah satu suara, Taufan mengakui, penyelesaian kasus pelanggaran HAM tidak akan mudah karena melibatkan banyak pihak dan membutuhkan keseriusan serta kejelian. Untuk itu, Taufan berharap komunikasi dengan berbagai pihak semakin diperkuat di bawah koordinasi Kemenkopolhukam.
Taufan menegaskan, Komnas HAM telah menuntaskan penyelidikan kasus pelanggaran HAM. Apabila ada hal-hal yang perlu ditambahkan semisal barang bukti, ia mempersilakan Jaksa Agung untuk melanjutkan. Karena itu, Komnas HAM siap bekerja sama, termasuk apabila sewaktu-waktu dipanggil kembali untuk membahas secara kolektif penyelesaian kasus pelanggaran HAM bersama Kejaksaan Agung.
Ditemui terpisah, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) Hari Setiyono menyatakan, Kejagung dan Komnas HAM dijadwalkan akan bertemu di Komisi III DPR. Ini merupakan salah satu kesimpulan dari rapat kerja Komisi III dan Kejagung beberapa waktu lalu.
Dalam agenda yang mempertemukan Kejagung dan Komnas HAM di Komisi III DPR, Kejagung akan mendiskusikan lagi hasil temuan penyelidikan Komnas HAM.
”Diharapkan mencari titik temu, apa yang menjadi kendala. Masing-masing (Kejagung dan Komnas HAM) akan menyampaikan pandangan,” katanya.
Sejauh ini, menurut Hari, berkas penyelidikan Komnas HAM belum memenuhi syarat formil dan materiil. Berdasarkan aturan undang-undang, penyidik memberikan petunjuk kepada penyelidik jika berkas itu belum lengkap.
”Akan tetapi, alih-alih mencukupi, Komnas HAM malah berargumen,” katanya.
Dia menjelaskan, syarat materiil mencakup tersedianya bukti, keterangan saksi, keterangan ahli, serta adanya petunjuk yang didapat dari keterangan saksi. Sementara kekurangan syarat formil terkait belum adanya pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu.
Tenggat waktu
Mahfud MD mengatakan, tidak ada tenggat waktu penyelesaian kasus. Hal itu karena penyelesaian kasus tergolong rumit dan menyangkut pembuktian, prosedur, dan perbedaan undang-undang (UU) yang digunakan. Komnas HAM menggunakan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sementara Jaksa Agung memakai hukum acara tentang pemeriksaan kasus yang harus dibawa ke pengadilan.
”Masing-masing punya alasan. Jadi, kita cari jalan keluarnya untuk menyelesaikan,” kata Mahfud.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengapresiasi upaya Kemenko Polhukam mempertemukan para pemangku kepentingan dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Hanya saja, ia mengingatkan, pertemuan itu bukan hal yang baru. Pada era pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, pertemuan serupa juga sering dilakukan.
Usman berpendapat, selain retorika, hal yang diperlukan adalah ketegasan dari pimpinan eksekutif untuk memastikan Jaksa Agung melaksanakan kewajibannya berdasarkan UU 26/2000, yaitu Jaksa Agung sebagai penyidik wajib melakukan penyidikan.
Langkah konkretnya dapat diwujudkan dengan membentuk tim penyidik ad hoc. Tim penyidik itu yang nantinya akan menentukan apakah bukti permulaan yang ditemukan Komnas HAM bisa diperkuat dengan bukti-bukti tambahan dari Kejaksaan Agung, bahkan ditemukan siapa yang patut disangka sebagai pelaku pelanggar HAM berat.
Mengacu Pasal 21 Ayat (3) UU 26/2000, dalam pelaksanaan tugas penyidikan, Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat.
Terkait pendapat Amnesty Internasional Indonesia yang menginginkan Kejaksaan Agung membentuk penyidik ad hoc, Hari menjelaskan, kewenangan masing-masing institusi sudah diatur undang-undang. Hasil penyelidikan Komnas HAM diteliti oleh penyidik, dalam hal ini Kejagung. Baru setelah berkas dinyatakan lengkap, kasus itu bisa ditingkatkan menjadi penyidikan.
”Komnas HAM lengkapi saja berkasnya sesuai petunjuk Kejagung,” katanya.