Putusan Mahkamah Agung beberapa waktu terakhir, yang cenderung meringankan terdakwa atau terpidana korupsi, dinilai belum sesuai dengan kebijakan negara yang berkeinginan memberantas korupsi.
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Putusan Mahkamah Agung beberapa waktu terakhir yang cenderung meringankan terdakwa atau terpidana korupsi dinilai belum sesuai dengan kebijakan negara yang berkeinginan memberantas korupsi. Putusan yang ringan ini bila diteruskan dikhawatirkan akan memicu hilangnya efek jera dari perbuatan korupsi.
Pada 16 Desember 2019, MA menurunkan hukuman terhadap pengacara Lucas, yang didakwa dalam kasus upaya menghalang-halangi penyidikan oleh penegak hukum.
Tiga hakim menangani perkara Lucas, yakni Mohammad Askin, Krisna Harahap, dan Surya Jaya. Dalam putusannya, hakim menolak kasasi jaksa dan menolak kasasi terdakwa dengan perbaikan. Hukuman Lucas diturunkan dari 5 tahun penjara menjadi 3 tahun penjara.
Juru bicara MA Andi Samsan Nganro yang dihubungi dari Jakarta mengatakan, kendati pengacara Lucas dinyatakan terbukti memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan kepadanya, akan tetapi perkara Lucas itu dinilai oleh majelis kasasi berbeda dengan perkara-perkara lainnya yang sejenis.
Lucas didakwa dengan Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni dengan dakwaan menghalang-halangi penyidikan penegak hukum, dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus korupsi yang menjerat kliennya, pengusaha Eddy Sindoro.
Menurut Andi, dalam perkara pengacara Lucas ini, orang yang dianggap dihalang-halangi penyidikannya, yaitu Eddy Sindoro, pada waktu itu tidak dalam status dicekal, dicegah, atau dimasukkan ke dalam daftar pencarian orang (DPO).
”Selain alasan tersebut, Eddy juga dengan kesadaran sendiri telah menyerahkan diri kepada aparat hukum sehingga negara tidak mengeluarkan uang atau biaya untuk mencari dan menghadapkan Eddy guna menjalani proses hukum penyidikan,” kata Andi, Selasa (17/12/2019).
Dua keadaan tersebut, yakni status Eddy yang tidak dalam pencegahan atau pencekalan serta kembalinya Eddy secara sukarela untuk menyerahkan diri kepada penegak hukum, menurut Andi, menjadi pertimbangan bagi majelis hakim kasasi untuk meringankan hukuman terdakwa.
Sebelumnya, Pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan Lucas terbukti menghalang-halangi KPK dalam penyidikan kasus suap Eddy Sindoro kepada mantan panitera PN Jakpus, Edy Nasution. Di Pengadilan Tipikor, Lucas divonis dengan 7 tahun penjara denda Rp 600 juta subsider 6 bulan kurungan.
Hukuman ini menjadi lebih ringan di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menghukum Lucas dengan 5 tahun penjara. Di tingkat kasasi, hukumannya menjadi 3 tahun.
Pidana khusus
Hukuman kepada Lucas ini menambah panjang daftar putusan MA dalam kasasi atau peninjauaan kembali (PK) kasus korupsi yang cenderung lebih ringan daripada putusan pengadilan di bawahnya.
Kondisi ini menjadi keprihatinan sejumlah ahli hukum pidana. Pasalnya, jika tren penghukuman ringan kepada pelaku korupsi diteruskan, efek jera tidak terjadi, dan hukuman ringan tersebut dipandang tidak sesuai dengan program pemberantasan korupsi yang dicanangkan oleh negara.
”Korupsi ini bukan kejahatan biasa, tidak bisa disamakan dengan pencurian ayam, dan pencurian lainnya. Korupsi disebut sebagai kejahatan khusus karena ada alasannya, yakni memiliki spesifikasi tertentu, yang dampaknya sangat merusak, dan kerugiannya tidak semata-mata kerugian materiil,” kata Hibnu Nugroho, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Dengan kesadaran korupsi merupakan tindak pidana khusus, dan ada intensi dari negara untuk memberantas korupsi, sikap pengadilan semestinya tidak bertentangan dengan kebijakan atau politik hukum tersebut. Dasarnya ialah sistem civil law yang dianut di Indonesia, sebagai sistem pengadilan yang ”dilakukan oleh negara”.
”Oleh karena itu, kebijakan pengadilan dengan demikian seharusnya mendukung sikap negara dalam pemberantasan korupsi,” kata Hibnu.
Di sisi lain, sebagai lembaga pengadilan tertinggi, menurut Hibnu, MA tidak lagi mengadili fakta di persidangan, sebab MA adalah judex jurist, atau menilai penerapan hukum dalam kasasi maupun PK.
”Kasasi itu kan artinya pembatalan, sehingga kalau memang ada kesalahan penerapan hukuman baru bisa dibatalkan, atau lepas dan bebas,” katanya.
Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah mengatakan, putusan MA atas suatu perkara selalu memiliki pertimbangan. Di dalam pertimbangan hakim itu termaktub juga keyakinan hakim atau penilaian atas keadilan yang tumbuh di antara majelis. Hal ini tidak dapat diintervensi siapa pun karena merupakan bagian dari prinsip independensi hakim.
Menurut Abdullah, disparitas putusan mungkin saja terjadi karena memang tidak bisa disamakan antara satu putusan dengan putusan lainnya. Semua amat tergantung pada rasa keadilan majelis dalam menilai suatu perkara.
”Sebagai contoh, dalam kasus pencurian, hakim tentu tidak akan sama dalam memutuskan kasus pencurian, yakni bagi mereka ada yang mencuri karena kebutuhan, atau karena alasan lainnya, tentu hukumannya tidak bisa disamakan,” kata Abdullah.