JAKARTA, KOMPAS - Komisi Pemilihan Umum masih menyiapkan kajian mengenai legalitas penerapan rekapitulasi elektronik atau e-rekap di dalam Pilkada Serentak 2020. Kajian tersebut mencakup apakah e-rekap sudah memadai diatur di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada atau memerlukan revisi dan ketentuan lain.
Anggota KPU Pramono Ubaid Tanthowi, Jumat (26/4/2019) di Jakarta mengatakan, KPU akan melibatkan sejumlah ahli hukum tata negara dan ahli hukum administrasi negara guna membahas kekuatan hukum dari penerapan e-rekap di dalam Pilkada 2020. Dari kajian hukum tersebut, diharapkan keluar satu simpulan apakah penerapan e-rekap cukup dengan Peraturan KPU (PKPU) atau harus mengubah UU Pilkada. Selain itu, kajian hukum tersebut juga dimaksudkan untuk menemukan kemungkinan adanya solusi lain untuk memperkuat aspek hukum penerapan e-rekap.
"KPU baru akan melakukan kajian, terutama dari aspek hukum. Kajian itu dilakukan sambil menyusun alternatif-alternatif model e-rekap yang akan kita terapkan. Minggu ini, baru dilakukan harmonisasi PKPU dengan Kemenkumham (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia)," kata Pramono.
Sejumlah alternatif penerapan e-rekap pun muncul dalam pembahasan PKPU Pilkada 2020. Misalnya, apakah e-rekap dilakukan di tingkat kecamatan ataukah di tingkat kabupaten/kota. Perbedaan tingkat penerapan rekapitulasi suara itu akan membawa konsekuensi yang berbeda.
Selain itu, pembahasan PKPU juga memunculkan pertanyaan tentang apa tindakan yang harus dilakukan bila e-rekap tidak berjalan. Apakah e-rekap bisa didukung juga dengan alternatif rekap manual, serta bagaimana mekanisme penerapannya di lapangan.
Pramono mengatakan, pembahasan mengenai PKPU Pilkada terkait dengan e-rekap itu harus pula dipikirkan terlebih dulu kesiapan daerahnya. "Apakah akan diterapkan secara menyeluruh untuk 270 daerah pilkada, atau masih piloting atau dijalankan sebagian daerah tertentu dulu, itu juga dibahas," katanya.
Dua metode
Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Sigit Pamungkas mengatakan, aspek hukum merupakan salah satu hal yang penting diperhatikan oleh KPU sebelum menerapkan e-rekap. UU Pilkada yang ada saat ini dipandang belum cukup kuat untuk memberikan dasar hukum pelaksanaan e-rekap.
Selain itu, alternatif metode e-rekap pun harus diperjelas. Sedikitnya ada dua metode yang bisa ditempuh, yakni e-rekap berbasis tempat pemungutan suara (TPS) dan e-rekap berbasis kota/kabupaten dengan apikasi Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng).
Dua metode e-rekap itu sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk metode Situng, KPU telah memiliki pengalaman sebelumnya dan infrastrukturnya pun telah tersedia. Penerapan situng untuk e-rekap akan lebih memudahkan bagi penyelenggara.
"Dengan Situng, suara dari TPS, yakni dari formulir C1 Plano dipindahkan atau disalin ke dalam formulir C1. Formulir itu kemudian dikumpulkan ke kecamatan dan dibawa ke kabupaten/kota. Di tingkat kabupaten/kota itulah baru dilakukan pemindaian dan input data C1," kata Sigit.
Namun, ada pula alternatif e-rekap berbasis TPS. Mekanisme ini dilakukan dengan memfoto langsung hasil pemilu yang dicatat dalam C1 Plano di TPS, kemudian dimasukkan ke dalam sistem e-rekap. Mekanisme ini sebelumnya juga dicoba dalam kegiatan Kawal Pemilu Jaga Suara 2019 yang diinisiasi oleh Netgrit dan kelompok masyarakat yang peduli pemilu dalam gerakan Kawal Pemilu.
"Keuntungan metode e-rekap berbasis TPS ini hasilnya lebih cepat diketahui. Tetapi untuk menerapkan metode ini harus banyak mengubah cara kerja di KPU saat ini, sehingga visibilitasnya untuk diterapkan dalam Pilkada 2020 mungkin lebih kecil," kata Sigit.
Menurut Sigit, idealnya KPU tidak langsung menerapkan e-rekap di seluruh daerah yang menyelenggarakan Pilkada 2020. Uji coba secara mendalam perlu dilakukan, yakni dengan memilih daerah tertentu sebagai wilayah percontohan.
"Dengan percontohan ini harapannya KPU bisa mengetahui kekurangan sistem e-rekap yang perlu diperbaiki sebelum penerapannya dilakukan lebih luas dalam skala yang lebih besar," ujarnya.