JAKARTA, KOMPAS – Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali meminta para ketua pengadilan tingkat banding agar rajin turun ke lapangan untuk mengcek dan mengawasi kinerja hakim dan aparat pengadilan di wilayahnya. Sebagai pimpinan hakim pengawas di daerah, ketua pengadilan banding memiliki tanggung jawab memastikan para hakim dan aparat peradilan di wilayahnya bekerja optimal, dan dan tidak menerima suap atau melakukan pelanggaran.
Para ketua pengadilan tingkat banding atau Pengadilan Tinggi (PT) pun harus mau pusing atau bekerja keras memastikan pengawasan dan pembinaan terhadap hakim dan aparat peradilan berjalan beriringan. Teknologi informasi yang dibangun oleh MA selama ini bisa dioptimlakan untuk melakukan kerja-kerja pengawasan dan pembinaan hakim itu.
“Mereka harus mau pusing. Kalau tidak mau pusing, jangan jadi pimpinan. Pembinaan dan pengawasan harus jalan sekaligus. Pengawasan pun bisa dilakukan melalui aplikasi SIPP (Sistem Informasi Penanganan Perkara), dan mereka bisa memantau jalannya penanganan perkara itu melalui teknologi yang sudah ada. Dari SIPP itu, mereka bisa melihat berapa lama penyelesaian perkara, berapa banyak tunggakan perkara, sampai tingkat kehadiran pegawai pengadilan,” kata Hatta, Kamis (24/1/12019) di Jakarta seusai melantik 29 ketua PT baru.
Ketua pengadilan tingkat banding yang dilantik kemarin terdiri atas 12 ketua PT, 14 ketua PT Agama, 1 ketua Pengadilan Militer Tinggi, dan 2 ketua PT Tata Usaha Negara (PT TUN). Mereka yang dilantik antara lain Ketua PT Bangka belitung, Maluku Utara, Palangkaraya, Bengkulu, Semarang, Banten, Yogyakarta, dan Palembang.
Hatta mengatakan, pengawasan menjadi hal yang paling ditekankannya kepada para ketua pengadilan tingkat banding itu. Mereka pun dipilih melalui serangkaian tes, serta harsu melalui uji kelayakan dan kepatutan (fit dan proper test) yang dipimpin oleh pimpinan MA.
“Mereka ini semua yang dilantik menjadi pimpinan adalah orang-orang pilihan, dan telah melalui seleksi dan fit and proper test, serta ada assesment (penilaian). Mereka yang KW 4 (tidak berkualitasn) kami singkirkan. Oleh karenanya, mereka yang terpilih ini jangan sampai mengecewakan,” katanya.
Tim promosi dan mutasi (TPM), menurut Hatta, aktif bekerja memilih orang-orang terbai untuk menjadi pimpinan lembaga. Peran pengawasan mereka bisa dioptimalkan dengan memantau aplikasi elektronik, sekaligus dengan turun ke lapangan melakukan inspeksi mendadak (sidak). “Seharusnya dengan aplikasi itu dia bisa memantau. Sekali-kali, saya bilang, mereka harus turun, yakni mengadakan sidak. Harus turun juga, supaya mereka melihat situasi dan kondisi yang sebenarnya,” ujarnya menegaskan.
Selektif
Juru bicara MA Andi Samsan Nganro mengatakan, promosi dan mutasi kali ini dilakukan dengan sangat selektif, mengingat situasi saat ini dengan banyaknya hakim yang tertangkap dalam kasus korupsi. Saat dibahas di dalam rapat TPM yang dihadiri oleh para ketua kamar, dan pimpinan MA, rekam jejak para kandidat dilihat satu per satau oleh panitia khusus.
“Di samping ada persyaratan khusus yang harus mereka penuhi untuk menjadi ketua pengadilan tingkat banding, yakni minimal dua kali menjabat sebagai wakil ketua PT, rapat pimpinan juga akan melakukan fit and proper test. Dari situ nanti dilihat rankingnya,” kata Andi.
Promosi dan mutasi di lingkungan peradilan pun merupakan hal yang biasa terjadi untuk kepentingan penyegaran dan regenerasi. Mereka yang mendapatkan jabatan baru memiliki tugas lebih berat, karena mereka harsu juga menjaga kredibilitas lembaga di tengah maraknya hakim tertangkap kasus korupsi.
“Kalau terjadi sesuatu di bawah kepemimpinannya, dia akan dimintai tanggung jawab karena ada peran pengawasan melekat yang harus dia lakukan kepada hakim dan aparat peradilan di lingkungannya,” kata Andi.
Deputi Direktur Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar mengatakan, pengawasan melekat ambigu secara konseptual, karena idealnya pengawasan melekat itu berlaku di dalam struktur birokrasi yang berjenjang. Adapun prinsip kerja yang dianut di dalam struktur birokrasi itu berbeda dengan lingkungan peradilan. Sebab, di lingkungan peradilan hakim memiliki independensinya sendiri, dan tidak menjadi bawahan dari hakim lainnya, baik dalam kinerja maupun dalam memeriksa dan memutus perkara.
“Sebenarnya yang perlu dibangun oleh MA ialah sistem pengawasannya. Selama ini pengawasan melekat sepmacam itu belum cukup efektif untuk menangkal hakim-hakim nakal yang menerima suap, kendati gaji dan tunjangan mereka telah dinaikkan,” kata Erwin.
Menurut Erwin, kalau sistem pengawasannya dibangun, secara otomatis hakim akan mengawasi dirinya sendiri. Isu pengawasan di peradilan pun bukan kali ini saja mengemuka, melainkan sejak empat atau lima tahun lalu. “Sayangnya, pengawasan melekat sifatnya hanya imbauan moral, tetapi bukan berupa sistem pengawasan,” ujarnya.