JAKARTA, KOMPAS – Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua akhirnya sepakat direvisi dan ditargetkan masuk program legislasi nasional pada 2020. Meski demikian, perlu ada kajian yang mendalam terkait upaya revisi tersebut, terutama pada aspek pengawasan, laporan pertanggungjawaban, dan alokasi penyaluran dana yang lebih terkontrol.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Soni Sumarsono mengatakan, pemerintah dan DPR pada dasarnya sepakat UU Otsus Papua direvisi karena masih ditemui sejumlah kelemahan. Kelemahan utama adalah tidak adanya aturan soal pengawasan pusat kepada daerah dalam pengelolaan dana otsus.
"Jadi, setelah ada UU Otsus Papua, hanya ada satu Peraturan Pemerintah mengenai Majelis Rakyat Papua sehingga turunan UU itu langsung lompat ke Perdasus (Peraturan Daerah Khusus) dan Perdasi (Peraturan Daerah Provinsi). Sementara di lapangan, kami tahu masih ada kelemahan untuk menyusun Perdasu dan Perdasi," ujar Soni di Jakarta, Rabu (12/12/2018).
Padahal, selama ini pengelolaan dan pembagian dana otsus Papua diatur secara detail melalui Perdasus dan Perdasi. Dari situ, Kemendagri masih melihat ada titik lemah pengawasan dari pemerintah pusat dalam pengelolaan dana otsus yang relatif besar dan meningkat tiap tahunnya.
Pada 2017, pemerintah telah mengalokasikan dana otsus Rp 5,58 triliun bagi Papua dan Rp 2,39 triliun bagi Papua Barat. Nilai itu meningkat pada 2018 menjadi Rp 5,62 triliun bagi Papua dan Rp 2,41 triliun bagi Papua Barat.
"Selama ini, kan, kami percayakan sepenuhnya kepada daerah, tetapi faktanya memang harus ada regulasi yang menegaskan secara detail wewenang pusat mengenai tata kelola pemanfaatan dana otsus. Ini semua memang harus ditata-ulang agar optimal dalam pemanfaatannya," tutur Soni.
Selain akan diatur porsi kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, setidaknya ada beberapa hal krusial yang perlu dipertegas dalam revisi UU Otsus Papua, yakni dari aspek pengawasan, pelaporan pertanggungjawaban kepada publik, serta alokasi penyaluran dana ke kabupaten dan kota.
Diperketat
Pengawasan dana otsus nantinya tentu akan diperketat oleh inspektorat daerah. Selain itu, pemda juga harus membuat laporan pertanggungjawaban kepada pemerintah pusat serta publik.
"Diperketat itu pengertiannya lebih terarah. Selama ini, kan, masyarakat tidak tahu dana otsus untuk apa, tahu-tahu sudah sekian triliun. Ini, kan, perlu ada laporan ke publik, disosiasliasikan," ujar Soni.
Kemendagri menargetkan draf dan naskah akademik revisi UU Otsus Papua itu rampung pada 2019. Selama setahun ke depan, UU Otsus itu akan dikaji secara komprehensif dalam pelaksanaannya.
"Nah, tahun 2020 harus sudah selesai. Jadi 2021 bisa langsung dilakukan otsus lanjutan," kata Soni.
Secara terpisah, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi menilai, sejauh ini implementasi dana otsus memang masih belum optimal. Apalagi, belakangan masih didapati kasus kekurangan gizi di Asmat, Papua, serta rentan adanya tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, menurut Achmad, revisi itu perlu didorong agar ada penguatan dalam sistem pengawasan dan pengelolaan dana otsus.
"Jadi soal revisi bukan sesuatu yang tidak mungkin, tetapi tentu perlu kajian yang mendalam. Kira-kira apa yang masih perlu dikuatkan, apakah ditambah pengawasan dari pusat atau jangan-jangan dalam pelaksanaannya yang perlu diatur ulang," kata Achmad.
Achmad menambahkan, apabila proses penyusunan draf dan naskah akademik revisi UU Otsus dapat berjalan cepat, maka tak menutup kemungkinan akan dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional pada tahun 2020.
"Sementara kajian dulu akan dikuatkan di sepanjang tahun 2019. Kalau itu clear dan merasa itu harus dilakukan revisi secepatnya, ya monggo, nanti langsung diprioritaskan masuk untuk 2020," ujarnya.