JAKARTA, KOMPAS - Peta dukungan partai politik untuk Pemilihan Presiden 2019 diyakini akan berubah jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi penghapusan syarat ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden. Sebab, partai politik diduga akan berupaya mengajukan calon sendiri demi meningkatkan elektabilitas dan perolehan suara partai di Pemilihan Legislatif 2019.
Pekan lalu, sejumlah akademisi dan elemen masyarakat sipil mengajukan kembali uji materi pasal ambang batas pencalonan presiden/wakil presiden di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka meminta ambang batas dihapuskan. Adapun saat ini, syarat ambang batas pencalonan presiden adalah 20 persen perolehan kursi di DPR atau 25 persen perolehan suara sah nasional di pemilu legislatif.
Pengamat Politik dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, Selasa (19/6/2018), meyakini, peta dukungan partai akan berubah jika ambang batas dihapuskan. Setiap partai pasti berupaya untuk mengajukan calonnya sendiri.
Peta dukungan partai akan berubah jika ambang batas dihapuskan. Setiap partai pasti berupaya untuk mengajukan calonnya sendiri.
Partai akan melakukan hal tersebut karena dalam sistem pemilu serentak, capres/cawapres yang diusung partai bisa memberikan efek ekor jas (coattail effect) pada peningkatan elektabilitas partai. Partai tidak peduli sekalipun capres/cawapres yang mereka usung tidak akan menang.
”Jadi, pertimbangannya bukan capres/cawapres itu menang atau kalah. Yang terpenting elektabilitas partai bisa meningkat dan lolos dari ambang batas parlemen,” tambah Arya Fernandes.
Perubahan peta dukungan tersebut terutama akan terjadi pada koalisi partai-partai yang kini telah menyatakan akan mendukung pencalonan kembali Presiden Joko Widodo di 2019. Apalagi, jika melihat hasil survei sejumlah lembaga survei, partai yang memperoleh efek ekor jas dari pencalonan kembali Jokowi hanya PDI-P, mengingat Jokowi merupakan kader PDI-P.
”Jadi, tidak ada untungnya bagi partai lain untuk tetap mengusung Jokowi,” katanya.
Tak sebatas itu, dihapuskannya ambang batas presiden juga akan berimplikasi pada perubahan sikap partai-partai politik pendukung pemerintahan saat ini. Partai bisa saja berubah sikap menjadi kontra dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah demi meraih suara atau kemenangan di 2019.
”Suasana baru berubah saat hasil pilpres diketahui. Partai-partai akan mendekat ke capres terpilih dan partai pengusungnya untuk mendapat jatah kursi menteri atau jabatan lain dengan imbalan dukungan partai ke pemerintahan,” ujarnya.
Namun, pandangan ini dibantah oleh sejumlah elite partai yang telah menyatakan akan mendukung Jokowi di 2019. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Nasdem Johnny G Plate mengatakan, partainya akan konsisten mendukung Jokowi sekalipun nanti MK menghapuskan ambang batas pencalonan presiden/wapres.
”Dengan atau tanpa ambang batas, kami tetap konsisten. Sebab, dukungan kami kepada Pak Jokowi itu karena programnya, keberpihakannya untuk masyarakat, dan kepemimpinannya,” katanya.
Dengan atau tanpa ambang batas, kami tetap konsisten. Sebab, dukungan kami kepada Pak Jokowi itu karena programnya, keberpihakannya untuk masyarakat, dan kepemimpinannya
Dia pun melihat partai lain yang telah menyatakan akan mendukung Jokowi di 2019 akan berpikiran sama. Ia yakin partai lain pun akan tetap konsisten mendukung Jokowi.
Senada dengan Plate, Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang juga mengatakan, Hanura tidak akan mengubah arah dukungannya di 2019 jika pun MK menghapus ambang batas pencalonan presiden. ”Kami kan sudah memilih, jadi kami tetap konsisten. Kamu mau cari Presiden kayak apa lagi sekarang ini?” katanya.
Argumentasi baru
Uji materi terkait syarat ambang batas pencalonan presiden sebelumnya sudah diajukan ke MK sebanyak 10 kali. Terakhir, pada 11 Januari 2018, MK tidak menerima enam permohonan serupa. MK menyatakan, ambang batas pencalonan presiden tidak bertentangan dengan konstitusi.
Untuk menghindari permohonan ditolak karena argumentasi dan norma gugatan yang sama, pemohon uji materi pun mengajukan sejumlah poin argumentasi baru. Para pemohon menyiapkan sembilan poin argumentasi baru.
Salah satu pemohon, Hadar Nafis Gumay, yang juga Komisioner Komisi Pemilihan Umum 2012-2017, mengatakan, alasan permohonan itu di antaranya terkait kedudukan Pasal 222 Undang-Undang Pemilu sebagai wilayah kebijakan hukum yang terbuka atau open legal policy yang bisa berubah. Menurut dia, pengaturan Pasal 6A UUD 1945 merupakan closed legal policy. Sebab, sudah jelas dalam konstitusi bahwa yang dapat mencalonkan presiden dan wapres adalah partai atau gabungan partai yang menjadi peserta pemilu.
”Sesuatu menjadi open legal policy jika di UUD aturannya belum jelas sehingga otomatis harus dibuat penjelasannya di undang-undang. Kedua, jika memang diperintahkan demikian oleh UUD. Namun, aturan ini di konstitusi sebenarnya sudah jelas. Selain itu, perintah di UUD untuk pengaturan lebih lanjut adalah untuk tata cara pencalonan, bukan sebagai syarat pencalonan,” katanya.
Menurut dia, redaksional Pasal 222 UU Pemilu merupakan syarat pencalonan bukan tata cara pencalonan. Padahal, Pasal 6A UUD 1945 memerintahkan bahwa yang perlu diatur dalam undang-undang adalah tata cara pelaksanaan pemilihan presiden dan wapres. Perbedaan terminologi tersebut, ujarnya, dapat menjadi pembeda dasar bahwa Pasal 222 UU Pemilu bukan open legal policy.
“Pasal 222 adalah terminologi syarat pencalonan, karena ada sesuatu yang harus dipenuhi, yakni ambang batas sebesar 20 persen perolehan kursi DPR atau 25 persen perolehan suara sah nasional di pemilu legislatif,” kata Hadar.
Argumentasi lain, tambahnya, ambang batas pencalonan presiden berpotensi menghilangkan esensi pemilihan presiden karena berpotensi memunculkan pasangan calon tunggal.