Tiga Lembaga Menilai RKUHP Menimbulkan Ketidakpastian Hukum
Oleh
Riana A Ibrahim
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Keberatan terhadap masuknya delik tindak pidana khusus dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dari sejumlah lembaga, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Narkotika Nasional, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia telah sudah berulangkali disampaikan, baik secara langsung hingga surat kepada Presiden Joko Widodo. Ketentuan peralihan yang dimunculkan dalam RKUHP tersebut juga berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, Kepala BNN Heru Winarko, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, dan dosen Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Asep Iwan Iriawan menyampaikan sikap dan pandangannya, Rabu (6/6/2018) di Gedung KPK, Jakarta. Mereka sepakat menolak diadopsinya delik tindak pidana khusus (tipidsus) ke dalam RKUHP. Akan tetapi masukan dan keberatan yang disampaikan baik secara langsung maupun lewat surat, tidak ditanggapi oleh pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan tetap masuknya norma tipidsus ke dalam RKUHP.
KPK telah mengirimkan lima kali surat yang ditujukan pada Panitia Kerja perumus RKUHP, Kementerian Hukum dan HAM, DPR, hingga Presiden Jokowi. BNN juga menyampaikan surat dengan tujuan serupa sebanyak tiga kali. Begitu pula Komnas HAM yang langsung bersurat kepada Presiden.
“Surat kami kepada Presiden tersebut sudah cukuplah, tidak perlu sampai ada langkah lain. Kami juga bersedia untuk duduk bersama membicarakan. Institusi kami ini berkepentingan langsung, terutama implementasi dari RKUHP. Dampaknya kami yang rasakan langsung, suara kami penting didengar. Bolanya saat ini, saya rasa ada di Presiden,” tutur Anam.
Laode berpendapat senada. Hingga saat ini, KPK merasa upaya mengirim surat dan mengingatkan kepada tim pemerintah untuk mencermati masukan tersebut dinilai cukup. KPK pun bersedia hadir jika diminta untuk membahas bersama terkait persoalan ini.
“Sebenarnya sudah disampaikan berulangkali, bahkan saat pembahasan. Tapi selalu yang kami sampaikan ini tidak diakomodir. Kalau memang diundang bertemu, kami akan hadir,” ujar Laode.
Terkait penolakan ini, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukkam) Wiranto mengatakan akan memanggil seluruh pihak yang berkepentingan untuk membicarakan persoalan tersebut. Pertemuan akan dilakukan dalam waktu dekat.
Ketentuan peralihan masih bermasalah
Laode menilai, keberadaan Pasal 729 dalam ketentuan peralihan di RKUHP yang disebut tim pemerintah sebagai jaminan tidak melemahkan penanganan tindak pidana khusus, termasuk tindak pidana korupsi diakuinya merupakan usaha untuk mengakomodir keberatan KPK, BNN, Komnas HAM, dan lembaga lain yang berwenang menangani tindak pidana khusus.
Pasal 729 itu menyatakan, “Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, ketentuan bab tentang tipidsus dalam UU ini tetap dilaksanakan berdasarkan kewenangan lembaga yang telah diatur dalam UU masing-masing."
Akan tetapi, masih terdapat terdapat sejumlah masalah dalam aturan peralihan tersebut. Pertama, pengaturan soal kewenangan penanganan tindak pidana tersebut tidak masuk dalam ranah KUHP, melainkan hukum acara. Kedua, pasal tersebut justru menimbulkan ketidakpastian hukum karena ada dua regulasi yang akan berlaku yaitu KUHP dan undang-undang khusus.
“Ada dua undang-undang yang berlaku dan ancamannya berbeda. Ada asas hukum yang harus menguntungkan terdakwa. Berarti kan KUHP itu. Padahal disebutkan KUHP tidak akan mengganggu gugat. Ini kan tidak mungkin. Justru muncul kebingungan dalam penanganan perkara yang berdampak ketidakpastian hukum dan berujung sulitnya memperoleh keadilan,” tutur Syarif.
Namun jika ditelaah lebih dalam, keberadaan Pasal 729 RKUHP menuntaskan kebingungan tapi sangat berbahaya dampaknya.
“Sesaat, itu menimbulkan kenyamanan. Namun berdasarkan bunyi yang ada dalam pasal tersebut, ditegaskan kembali tindak pidana khusus dalam KUHP yang dilaksanakan. Jadi, ini sangat berbahaya. Karena tindak pidana khusus yang berlaku, pada akhirnya yang di KUHP tersebut,” ujar Laode.
Dengan kata lain, justru menguatkan sejumlah pasal seperti Pasal 3 ayat 1, Pasal 205, dan Pasal 723 yang menerangkan penanganan tindak pidana khusus, termasuk tindak pidana korupsi, tindak pidana narkoba, tindak pidana pencucian uang, dan tindak pidana HAM pada akhirnya harus mengacu ke KUHP. Padahal pemberlakuan penanganan tindak pidana HAM dalam KUHP ini berpotensi memiliki masa kadaluwarsa.
“Penanganan perkara HAM itu tidak bisa dibatasi, apalagi dikejar waktu kadaluwarsa,” ujar Anam.
Heru pun menyayangkan sikap pemerintah yang tetap pada pendiriannya. Menurut dia, sikap ini merugikan bangsa ini ke depan, terutama terkait persoalan narkoba. Perkembangan jenis narkoba hingga persoalan pengembalian uang negara yang maksimal hanya Rp 15 miliar dipermasalahkannya. Padahal kasus narkoba banyak yang mencapai triliunan rupiah.
“Bonus demografi yang diagung-agungkan pada 2040 mungkin tidak akan bisa didapat. Karena penanganan perkara narkoba malah dibatasi melalui RKUHP,” ujar Heru.
Penerapan RKUHP ini juga menutup kewenangan KPK untuk menangani upaya merintangi penanganan perkara yang tertuang dalam Pasal 21 UU Nomor 31/1999 tentang tindak pidana korupsi. Pasal tersebut kini masuk dalam RKUHP bukan dalam bab tindak pidana khusus melainkan bab tindak pidana terhadap proses peradilan.