Pembahasan Harus Mempertimbangkan Upaya Pencegahan
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pencegahan harus menjadi bahan pertimbangan dalam pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Selama ini, UU ini juga terlalu menekankan upaya penindakan.
Kepala Divisi Pembela Hak Asasi Manusia Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Arif Nur Fikri mengatakan, UU Antiterorisme selalu berfokus pada penindakan pada pelaku teror. ”Agar terorisme tidak berkembang, perlu ada pencegahan sejak dini,” kata Arif saat ditemui di Jakarta, Sabtu (19/5/2018).
Arif mengatakan, RUU Antiterorisme, yang telah dibahas setelah serangan bom bunuh diri di Starbuck Cafe, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, pada 2016, masih berkutat pada soal penindakan yang diwujudkan melalui penangkapan, penahanan, dan penyadapan oleh aparat penegak hukum.
Menurut Arif, penindakan terhadap terorisme tidak akan efektif jika bahan baku untuk pembuatan materi aksi teror masih diperjualbelikan secara bebas. Ia mencontohkan, bahan kimia hidrogen klorida (HCl) sebagai bahan baku pembuatan bom dijual bebas dan mudah diperoleh di pasaran. Hal itu membuat para teroris mudah mendapatkannya dan mudah pula merangkai bom.
Selain membatasi penjualan bahan peledak, pemerintah juga perlu secara penuh fokus pada upaya deradikalisasi. ”Salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah ialah melindungi keluarga dari teroris,” kata Arif.
Pembiaran terhadap keluarga teroris akan membuatnya ikut radikal karena stigma yang tertanam kepada dirinya. Menurut Arif, keluarga teroris juga termasuk korban yang harus dilindungi untuk mencegah bibit teroris baru.
Upaya pencegahan tersebut tidak dapat dilakukan melalui jalan militer. Oleh karena itu, keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam pemberantasan terorisme hanya akan menyisakan persoalan pelanggaran HAM. ”Banyak kasus pelanggaran HAM yang dilakukan TNI dalam menangani kasus terorisme hingga mengakibatkan korban meninggal dunia,” kata Arif.
Ia mengatakan, dalam upaya pencegahan tindak pidana terorisme dibutuhkan proses panjang sehingga rencana pelibatan TNI dan pengeluaran peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) tidak dapat menjadi jalan keluar yang efektif. Perppu dipandang sebagai bentuk kesewenang-wenangan pemerintah.
Ketua Presidium Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Juventus Prima Yoris Kago mengatakan, nilai-nilai kemanusiaan perlu diutamakan dalam RUU Antiterorisme. Oleh karena itu, upaya pencegahan lebih efektif daripada penindakan.
Salah satu upaya pencegahan tindak pidana terorisme dapat dilakukan melalui pendidikan. Menurut Juventus, bibit radikalisasi sering muncul di perguruan tinggi melalui pemahaman ideologi yang melanggar nilai-nilai Pancasila. Untuk mencegah berkembangnya radikalisasi di tingkat perguruan tinggi, perlu ada peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Transparansi
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan, perkembangan pembahasan RUU Antiterorisme perlu dibuka kepada masyarakat. ”DPR harus transparan dan mendengarkan aspirasi rakyat,” kata Lucius.
Menurut dia, selama ini DPR terkesan menutup-nutupi proses pembahasan RUU Antiterorisme tersebut. Pada awal proses pembahasan, DPR selalu meminta pendapat Kontras atau lembaga perlindungan HAM lainnya. Namun, pada praktiknya, mereka tidak diikutsertakan dalam proses pembuatan revisi undang-undang tersebut.
Polemik rencana pengeluaran perppu hanya akan memperkeruh suasana. DPR dan pemerintah perlu bekerja sama agar dapat segera menyelesaikan RUU Antiterorisme tersebut.