Aparatur Sipil Negara Dilibatkan, Tatanan Birokrasi Dipertaruhkan
Oleh
Nikolaus Harbowo
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kepala daerah yang mencalonkan diri kembali dalam pemilihan kepala daerah berpotensi mengikis netralitas aparatur sipil negara atau ASN. ASN harus ikut membantu memenangkan petahana jika tidak ingin terancam jabatannya. Hal ini dapat berdampak pada tatanan birokrasi yang kemudian sangat bergantung pada penyelenggaraan pemilihan.
Berdasarkan data Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sejak masa kampanye pada 15 Februari hingga akhir April lalu, jumlah pelanggaran ASN dalam pilkada di seluruh Indonesia mencapai 278 kasus. Kasus pelanggaran tertinggi terdapat di Sulawesi Selatan (60 kasus), kemudian disusul Sulawesi Tenggara (28 kasus), Sumatera Utara (26 kasus), Jawa Barat (26 kasus), dan Sulawesi Utara (26 kasus).
Adapun tren pelanggaran ASN di antaranya terlibat aktif dalam kegiatan kampanye, menyumbang dana kampanye, dan bertindak tidak netral. ASN yang telah terbukti melanggar aturan tersebut telah direkomendasikan untuk diberi sanksi kepada Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). KASN nantinya memberikan rekomendasi hukuman kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) dalam hal ini kepala daerah.
Tenaga Ahli Divisi Hukum Bawaslu Sulastyo mengatakan, tren pelanggaran oleh ASN akan sulit dihilangkan apabila sanksi yang diberikan berdasarkan keputusan PPK. Hal itu disebabkan kerapkali pelanggaran yang dilakukan oleh ASN untuk membantu PPK yang ingin maju dalam Pilkada.
“Jadi hukuman yang diberikan sangat bias kepentingan. KASN seharusnya diberikan wewenang untuk langsung memberikan hukuman. Ini yang saya kira menjadi keprihatinan kita bersama karena ada beberapa potensi pelanggaran yang tidak diberikan hukuman yang maksimal,” ujar Sulastyo usai Focus Group Discussion (FGD) bertemakan “Netralitas Aparatur Negara (Polri, TNI, dan ASN) dalam Pilkada 2018 dan Pilpres 2019”, di Jakarta, pada Selasa (8/5/2018).
Menurut Sulastyo, keterlibatan ASN yang melanggar mayoritas disebabkan petahana yang mencalonkan dirinya kembali. Petahana tersebut merasa memiliki kuasa untuk dapat melakukan promosi kepada pihak-pihak yang telah membantunya, atau sebaliknya akan melakukan demosi jika berbeda pandangan dengannya.
“Tentu sebagai kepala daerah yang mau maju, dia harus mengamankan posisinya. Kami khawatir tujuan mutasi itu dalam rangka pemenangan pemilu,” ucap Sulastyo.
Padahal, lanjut Sulastyo, hal itu telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Pasal 71 Ayat (2) UU tersebut ditegaskan, larangan bagi petahana untuk melakukan perombakan/rotasi kabinet enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan.
“Kejadian seperti itu terjadi di kabupaten Parepare di Sulawesi Selatan. Ada dua pasangan calon yang telah kami diskualifikasi karena melakukan mutasi dua bulan sebelum penetapan,” ujarnya.
Tak punya wewenang
Anggota KASN Prijono Tjiptoherijianto membenarkan bahwa KASN selama ini kesulitan untuk menindak tegas ASN yang melanggar kode etik karena tidak ada kuasa langsung. Padahal, apabila keputusan pelanggaran dipegang PPK dapat merusak tatanan birokrasi.
“Pilkada ini bisa menjadi arena balas jasa dan balas dendam bagi kalangan birokrasi,” kata Prijono.
Prijono juga menuturkan, kehadiran UU Nomor 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara selama ini juga telah melanggengkan pelanggaran yang terjadi di ASN dan membuat pelanggaran ini menjadi sistematis mendukung partai politik tertentu. Dalam UU tersebut, PPK memiliki kewenangan untuk memutasi ASN di mana PPK tersebut merupakan bagian dari partai politik. Kemudian, anggota legislatif juga anggota partai politik.
“Jadi, Undang-Undang pun mengakomodir itu sehingga kepala daerah punya wewenang untuk menekan hingga ASN. ASN jadi ketakutan karena ada wewenang itu,” ungkap Prijono.
Jual beli jabatan
Dosen filsafat dari Universitas Indonesia (UI) Donny Gahral Adian mengatakan, fenomena pertarungan politik yang berdampak pada ASN, baik mutasi, maupun demosi, dapat mengancam tatanan birokrasi. Posisi yang seharusnya diisi oleh ASN yang berkompeten, namun posisi tersebut dapat dijual-beli demi pertaruhan politik.
“Ini penyalahgunaan kekuasaan untuk politik praktis. Sebuah ancaman karena seorang petahana harus mempermainkan jabatan ASN untuk mempertahankan posisinya. Padahal setiap manusia punya preferensi politik sendiri,” ujar Donny.
Ini penyalahgunaan kekuasaan untuk politik praktis
Sementara itu, Staf Ahli Kapolri Bidang Sosial Ekonomi Inspektur Jenderal (Pol) Gatot Eddy Pramono mengatakan, Polri membuka diri terhadap pelaporan dari masyarakat apabila terdapat anggotanya yang ikut ambil bagian dalam proses tahap pemilihan pasangan calon.
“Kalau terbukti ada anggota yang tidak netral, laporkan. Kami akan melakukan tindakan tegas terhadap yang bersangkutan,” ujarnya.