Bekas Ketua DPR Setya Novanto tertunduk lesu usai mendengar vonis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Selasa (24/4). Meski belum berkekuatan hukum tetap, putusan tersebut mampu menenggelamkan karir politik yang dibangunnya sejak masa Orde Baru, bahkan dukungan terhadapnya pun perlahan pudar.
Hanya Melki Lakalena, satu-satunya rekan politisi dan koleganya di Partai Golkar yang duduk di dalam Ruang Sidang Oemar Seno Adji yang terletak di lantai dasar Gedung Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Melki sempat menghampiri Novanto di ruang tahanan tipikor yang berada di basement. Hanya istrinya, Deisti Astriani Tagor, yang berbaju putih dan berkerudung abu-abu tampak duduk di barisan paling depan bersama tiga kerabatnya.
Sedangkan barisan bangku lainnya, hanya diisi media dan orang-orang yang bukan dari kalangan politik. Padahal sejak sidang dengan terdakwa Novanto dimulai pada 13 Desember 2017, silih berganti para politisi Golkar hadir untuk melihat jalannya persidangan.
Para politisi itu antara lain, Aziz Syamsuddin, Agung Laksono, Yahya Zaini, dan Idrus Marham. Aziz hadir sekali saat dakwaan Novanto dibacakan, bertepatan dengan beredarnya surat Novanto yang menunjuknya sebagai pengganti Ketua DPR. Sebelumnya, Aziz juga bersedia datang ke KPK sebagai saksi meringankan untuk Novanto.
Sementara itu, Agung Laksono dan Yahya Zaini hadir saat sidang pembacaan tuntutan yang digelar pada 29 Maret 2018. Saat itu, Agung menyampaikan bahwa kehadirannya untuk memberikan dukungan moril kepada Novanto. Agung bahkan mengatakan istrinya juga sesekali hadir di persidangan untuk menemani istri Novanto.
Berbeda dengan Idrus yang rutin hadir untuk menjenguk Novanto di rumah tahanan hingga terlihat dalam tiap persidangan. Idrus pun menyebut dirinya sebagai sahabat yang hakiki bagi Novanto karena tidak pernah absen datang ke persidangan. Namun saat momen krusial dalam penanganan perkara Novanto, Idrus justru tidak terlihat dengan alasan sedang bertugas ke Jawa Tengah.
Jauh sebelum Novanto ditetapkan tersangka oleh KPK, Idrus yang menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Partai Golkar selalu mendampingi Novanto yang saat itu merupakan Ketua Umum Partai Golkar. Selain Idrus, ada juga fungsionaris Golkar Nurul Arifin. Namun, ketika Novanto mulai menjalani persidangan, Nurul tak lagi terlihat.
Dukungan surut
Sinyal lunturnya dukungan ini terasa ketika Novanto mengajukan sejumlah nama sebagai saksi meringankan saat proses penyidikan. Hanya Maman Pesmana dan Aziz Syamsuddin yang hadir memenuhi panggilan. Melki yang juga diminta menjadi saksi meringankan beralasan sedang keluar kota. Sedangkan, nama lain seperti Anwar Poegeno, Robert Kardinal, dan Erwin Siregar tidak ada kabar.
Nama lain pun hanya datang ke persidangan karena diminta hadir sebagai saksi, seperti Agun Gunanjar Sudarsa, Freddy Latumahina, dan Mahyudin.
Namun menanggapi hal itu, Novanto menyatakan dukungan terhadap dirinya masih ada. Bahkan, para politisi Golkar dinilainya tetap loyal dan menemaninya pada sidang pembacaan putusan.
“Banyak (politisi) yang hadir di belakang, tapi tidak pakai seragam,” kata Novanto.
Beberapa kali, pernyataan Novanto di pengadilan menyudutkan Partai Golkar. Salah satu contohnya, ada aliran dana senilai Rp 5 miliar dari Irvanto Hendra Pambudi Cahyo yang diduga dari proyek pengadaan KTP-elektronik, digunakan membiayai Rapat Pimpinan Nasional Golkar. Ada juga tudingan ke Agun dan Melchias Markus Mekeng yang disebut menerima uang dari Irvanto.
Kondisi serupa pernah dialami Anas Urbaningrum. Rekan sejawatnya di Partai Demokrat tidak banyak yang hadir sejak dirinya berstatus tersangka hingga menjadi terdakwa. Bahkan, Anas sempat berseteru dan beradu pendapat dengan rekan dari partainya mengenai perkara Hambalang yang menjeratnya dan pernyataannya yang menyudutkan Partai Demokrat.
M.R Irepo dalam buku \'\'The Cycle of Corruption\'\' menilai kondisi ini wajar. Ada sebagian pihak yang enggan terlibat dalam suatu kasus sehingga memilih menjauh. Ada sebagian orang yang terlatih untuk memihak sisi yang menguntungkan bagi posisi politis mereka saat ini. Hal ini merupakan siklus yang tidak mengherankan terjadi dalam dunia politik.
Novanto sesungguhnya telah membaca pergerakan semacam ini sejak konflik antara dirinya dan KPK, yang berawal dari praperadilan hingga meruncing melalui peristiwa upaya penangkapan dan kecelakaan pada 16 November 2017. Dukungan dari partai maupun politisi tak lagi gencar. Terlihat dari gerakan maju mundur partai beringin ini dalam menggelar Musyawarah Nasional Luar Biasa untuk mengganti pucuk pimpinan.
Kini, Novanto yang selalu tampak jumawa harus menghadapi kesendirian di balik jeruji besi. Seperti pepatah, siapa yang menabur angin maka akan menuai badai. Gagasan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya dalam proyek KTP-el sekarang menjerumuskannya dalam kesepian.