Elite Makin Pragmatis, Jiwa Kepahlawanan Masyarakat Memudar
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Nilai kepahlawanan yang dijunjung oleh masyarakat Indonesia dinilai mengalami kemunduran. Nilai kepahlawanan, seperti menghargai perbedaan, yang ada di Indonesia akhir-akhir ini semakin terkikis oleh perilaku elite politik yang menggunakan isu perbedaan suku, ras, dan agama untuk meraih kemenangan dalam ajang perebutan kekuasaan.
”Terjadi kemunduran jiwa kepahlawanan di masyarakat kita saat ini. Dahulu para pahlawan Indonesia bergerak maju meninggalkan hal yang sifatnya chauvinistik (memercayai sesuatu secara berlebihan tanpa mempertimbangkan pandangan lain) dan kesukuan ke arah persatuan atau nasionalisme. Akhir-akhir ini cenderung bergerak mundur, masyarakat kita malah meninggalkan nasionalisme ke arah kesukuan yang sifatnya chauvinistik,” ujar sejarawan JJ Rizal dalam acara Sarasehan Kepahlawanan bertema ”Perkokoh Persatuan Membangun Negeri” yang diselenggarakan di kompleks Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis (16/11).
Dalam acara yang menjadi puncak rangkaian kegiatan peringatan Hari Pahlawan, juga hadir sebagai pembicara anggota Dewan Perwakilan Rakyat Komisi VIII Desy Ratnasari, tenaga profesional Lemhannas Dadan Umar Daihani, dan Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Kementerian Sosial Hartono Laras. Pakar komunikasi politik dari Universitas Indonesia Effendi Gazali tampil sebagai moderator.
Menurut JJ Rizal, kemunduran itu disebabkan perilaku elite politik yang bersifat pragmatis. Para elite politik cenderung senang menjual isu suku, agama, dan ras untuk memenangkan suatu pertarungan politik, misalnya pemilihan kepala daerah. Padahal, selama ini dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tidak pernah memiliki masalah ataupun sentimen negatif terhadap perbedaan yang ada.
”Perbedaan di masyarakat yang dipermasalahkan itu dipicu oleh para elite politik. Elite politik saat ini cenderung tidak memiliki prestasi yang dapat dijadikan masyarakat sebagai panutan sehingga memunculkan isu perbedaan, baik itu suku ataupun ras, agar dirinya dapat memenangkan suatu pertarungan politik. Ini berbahaya bagi persatuan Indonesia,” kata JJ Rizal.
JJ Rizal mencontohkan sentimen terhadap istilah asing. Menurut dia, para pahlawan Indonesia tidak pernah takut dan menutup diri dengan hal yang sifatnya asing bagi mereka. Hal asing yang ada dikelola dengan baik demi kepentingan bangsa.
”Berbicara asing, Indonesia dan Bahasa Indonesia itu asing bagi para pahlawan Indonesia di sejumlah daerah. Mereka belum mengenal itu sebelumnya. Namun, mereka mau menerima itu dan mengelolanya sehingga bisa berdiri negara Indonesia seperti sekarang. Mereka tidak pernah takut akan hal yang bersifat asing,” tutur JJ Rizal.
Ihwal persaingan politik di Indonesia, Effendi Gazali berharap, tim sukses setiap calon kepala daerah memiliki tanggung jawab dalam menjaga persatuan. ”Tahun depan akan ada 171 daerah yang mengikuti pilkada serentak. Biasanya jargon putra daerah akan muncul. Itu ulah tim sukses biasanya. Itu tidak benar karena yang terpenting pemimpin suatu daerah ialah warga Indonesia,” tutur Effendi.
Sementara itu, Dadan Umar Daihani mengingatkan betapa berbahayanya Indonesia apabila mengedepankan perbedaan. Keutuhan negara Indonesia dapat terpecah dan terbagi-bagi sesuai dengan jumlah suku yang ada.
”Mari kita belajar dari kasus yang menimpa Yugoslavia pada tahun 1980-an. Satu negara itu, saat ini sudah tidak ada dalam peta karena telah terbagi menjadi tujuh negara, di antaranya Kroasia, Kosovo, dan lainnya. Mereka berpisah karena perbedaan suku dan agama. Apakah kita mau Indonesia menjadi terpecah-pecah seperti itu?” tutur Dadan.
Menurut Dadan, perbedaan yang ada di Indonesia harus dimaknai sebagai kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia. Hal yang tidak dimiliki oleh negara lain. Jika perbedaan dimaknai sebagai suatu masalah, negara tersebut berada dalam bahaya.
Desy Ratnasari menilai, perbedaan di masyarakat akan dapat dikelola dengan baik apabila setiap orang memiliki rasa empati publik. Empati publik dapat menjadi solusi menghadapi semua perbedaan yang ada, khususnya saat ajang pemilihan umum ataupun pilkada. Masyarakat harus menghormati siapa pun pemimpinnya, begitu juga pemimpin politik yang harus peduli terhadap semua masyarakat, tidak memilih apakah masyarakat itu memilih dirinya atau tidak saat pemilu.
”Jika saat pemilu terus melihat perbedaan yang ada di masyarakat, itu dapat menjadi bom waktu bagi kehidupan masyarakat,” ujar Desy.
Desy mengajak masyarakat, khususnya generasi muda yang masih duduk di bangku sekolah, untuk mencintai pahlawan Indonesia. Cara mencintai pahlawan Indonesia tidak perlu dengan menghafal semua nama pahlawan, tetapi mencintai beberapa pahlawan yang dikagumi dan menjadikannya contoh dalam bersikap dan bertindak. (DD14)