Mengejar Pemilih di Luar Basis Tradisional Parpol
Parpol Islam ramai-ramai bergerak ke tengah, mengejar suara di luar basis tradisional. Apalagi ceruk pemilih Islam disasar parpol nasionalis. Bagaimana kiat ”rebranding” parpol Islam, tetapi basis tradisional tak hilang?
Musyawarah Nasional V Partai Keadilan Sejahtera atau PKS di Bandung, 29 November 2020, terasa begitu istimewa. Selain mengumumkan kepengurusan PKS periode 2020-2025, Presiden PKS Ahmad Syaikhu juga memperkenalkan logo, himne, dan mars partai yang sudah bertahan sejak 2003. PKS yang identik dengan warna hitam kini tampil lebih segar dengan dominasi warna oranye.
Perubahan logo, himne, dan mars PKS dilakukan karena adanya kebutuhan partai lima tahun ke depan. Perubahan itu juga mempertimbangkan bonus demografi dan tingginya jumlah pemilih milenial pada Pemilu 2024. ”Esensi perubahan ini ialah agar PKS tampil lebih segar, lebih dekat, dan terbuka untuk semua kalangan,” ujar Sekretaris Jenderal PKS Aboe Bakar Al Habsyi kala itu.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Peningkatan suara menjadi target utama dari seluruh partai politik (parpol) di setiap pemilu. Ada yang memperkuat basis pemilih tradisionalnya, tetapi tak sedikit yang mencoba merebut ceruk pemilih baru di luar basis tradisional, tak terkecuali bagi parpol-parpol berbasis pemilih Islam yang dalam tiga pemilu terakhir akumulasi suaranya stagnan di kisaran 30 persen.
Data Litbang Kompas menunjukkan, total suara dari parpol berbasis pemilih Islam dalam beberapa pemilu terakhir tak pernah mengungguli suara di Pemilu 1955. Saat pemilu pertama itu, suara dari seluruh parpol Islam mencapai 43,5 persen. Namun di pemilu berikutnya hingga era Reformasi, suaranya terus tergerus di kisaran 16 persen hingga 30 persen.
Baca juga: Adaptasi Partai Politik untuk Membidik Pemilih Muda
Suara parpol berbasis pemilih Muslim sempat meningkat pada Pemilu 1999 (36,7 persen) dan Pemilu 2004 (38,3 persen). Namun, kembali menyusut di pemilu selanjutnya hingga terakhir pada Pemilu 2019. Dalam tiga pemilu terakhir itu, parpol berbasis massa Islam, seperti PKS, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Bulan Bintang (PBB) suaranya fluktuatif, ada yang bertambah dan berkurang, tetapi persentase keseluruhan suaranya tetap di kisaran 30 persen.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat PKS Mardani Ali Sera mengatakan, semua parpol berupaya menjaga basis pemilih tradisional. Namun, ekspansi terus dilakukan untuk menjaga eksistensi partai di masyarakat. PKS pun berusaha menarik simpati pemilih di luar basis tradisionalnya dengan berbagai pendekatan, salah satunya melalui perubahan logo, himne, dan mars partai dua tahun silam.
PKS pun berusaha menarik simpati pemilih di luar basis tradisionalnya dengan berbagai pendekatan, salah satunya melalui perubahan logo, himne, dan mars partai dua tahun silam.
Pemilih yang disasar PKS, antara lain, kelompok informal perkotaan yang tinggal di sekitar kota-kota yang menjadi basis suara PKS serta kelompok perdesaan. Kelompok pemilih tersebut dinilai merupakan pemilih pragmatis yang ikut mendapatkan manfaat ketika memilih PKS. ”Mereka bukan dari kelompok santri, melainkan kelompok Islam abangan yang mulai dekat dengan PKS,” ujar Mardani saat dihubungi Jumat (29/4/2022).
Kelompok lain yang kini menjadi target PKS memperluas ceruk pemilihnya berasal dari kalangan anak muda yang ”melek” media sosial. Kader dan pengurus PKS mendekati kelompok tersebut secara langsung melalui media sosial. Secara rutin, pengurus, anggota legislatif, maupun organisasi sayap Gerakan Pemuda Keadilan berinteraksi dan menjaga kedekatan dengan anak-anak muda di media sosial hingga akhirnya mereka bersedia bergabung menjadi kader PKS.
Mantan Wakil Sekretaris Jenderal PKS itu menuturkan, secara umum ada dua strategi yang dijalankan PKS untuk merebut simpati pemilih di luar kelompok Muslim perkotaan. Pertama, PKS membentuk Rumah Keluarga Indonesia (RKI) yang fokus pada kelompok keluarga. RKI sudah terbentuk di 6.000 kecamatan dengan fokus pada kegiatan konseling serta pemberdayaan ekonomi. Kedua, PKS membentuk Sekolah Pengusaha dengan sasaran kelompok pemuda.
Meski demikian, pemilih tradisional PKS tetap dijaga karena banyak pemilih PKS yang mengutamakan ideologi dalam memilih parpol. Untuk ini, PKS merawatnya melalui kegiatan rutin pengajian dan penyerapan aspirasi.
”Buat PKS, kegiatan-kegiatan ini bukan hanya sekadar kepentingan politik, tetapi amal dan dakwah. Kegiatannya pun tidak berlangsung sepanjang waktu, tidak hanya mendekati pemilu karena tidak membutuhkan biaya yang besar,” kata Mardani.
Baca juga: Kursus Memasak hingga Tata Rias, Cara Parpol Gaet Emak-emak
Di sisi lain, efek ekor jas, yaitu limpahan suara bagi parpol yang dipengaruhi calon presiden (capres) yang diusung parpol, juga menjadi perhatian PKS untuk menarik pemilih, terutama yang belum menentukan pilihannya. Oleh sebab itu, dukungan kepada capres pada pemilu presiden (pilpres) selanjutnya pada 2024, harus disesuaikan dengan keinginan pendukung di akar rumput agar PKS mendapatkan dampak kenaikan suara yang signifikan.
”PKS tetap menegaskan diri sebagai partai Islam karena kami yakin Islam kompatibel dengan demokrasi, Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta, serta punya pasar yang jelas dan kuat. Tinggal kami mencoba membuat branding baru sebagai partai Islam yang moderat, siap dialog, bahkan mau membangun koalisi dengan partai nasionalis,” ucapnya.
Geliat parpol Islam lain
Kata nasionalis seakan menjadi magnet bagi parpol-parpol berbasis Islam. PKB, PAN, dan PPP pun menarasikan hal yang relatif sama untuk memperluas pemilih di luar basis pemilih tradisionalnya. Mereka cenderung bergeser ke tengah dan memperebutkan suara dari pemilih nasionalis.
Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid mengungkapkan, PKB merupakan partai nasionalis religius yang bervisi kebangsaan dan berbasis agama. Selama ini, ceruk pemilih utama dari kelompok Nahdlatul Ulama tetap dijaga melalui kegiatan-kegiatan kultural keagamaan yang dijalankan oleh kadernya.
Sementara untuk menunjukkan PKB sebagai partai nasionalis, kader didorong untuk menduduki kursi kepala daerah. Kader potensial mesti maju sebagai calon kepala daerah saat pemilihan kepala daerah sehingga jika kelak terpilih, memiliki kewenangan yang lebih kuat dalam berkontribusi bagi pembangunan negara. Melalui kebijakan-kebijakan para kepala daerah dari PKB itu, warna nasionalis dari PKB bisa ditunjukkan.
Selain itu, tingginya pemilih milenial di Pemilu 2024 mendorong PKB untuk tak melewatkan ceruk pemilih milenial. Pendekatan melalui media sosial diperkuat untuk menarik simpati kelompok tersebut. ”Pendekatan pemilih mulai bergeser ke tengah dengan memanfaatkan teknologi,” kata Jazilul.
PAN juga tak hanya mengandalkan basis pemilih tradisional dari kelompok Muhammadiyah. Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mauladi mengungkapkan, PAN merupakan partai nasionalis religius yang berdasarkan Pancasila dan berasaskan moral politik berdasarkan agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Oleh karena itu, PAN menjadi jalan tengah sebagai partai inklusif, modern, moderat, dan menjadi titik temu bagi seluruh kelompok.
Perluasan basis itu ditandai dengan penetrasi PAN ke kelompok-kelompok di luar basis tradisional Muhammadiyah. Beberapa adalah Al Washliyah di Sumatera Utara, Al Khairaat di Sulawesi, Nahdlatul Wathan di Nusa Tenggara Barat, dan Persatuan Islam di Jawa Barat. Selain itu, PAN membuka diri bagi kelompok-kelompok masyarakat dari beragam profesi di lintas wilayah, seperti kelompok milenial, petani, buruh, nelayan, dan kelompok perempuan.
Baca juga: Pindah Partai Politik, Kursi Tak Hilang
Pergeseran itu tak jarang memunculkan beragam ungkapan kepanjangan PAN, seperti Partai Anak Nahdliyin, Partai Anak Nagari, Partai Anak Nelayan, Partai Anak Nongkrong, dan Partai Artis Nasional. Narasi-narasi itu dikembangkan untuk menegaskan bahwa PAN milik seluruh rakyat dari berbagai golongan.
”PAN ingin menjadi alat perjuangan politik bagi warga Muhammadiyah, ormas-ormas Islam yang lain, serta kekuatan masyarakat sipil yang lain karena PAN adalah partai nasionalis religius yang terus membangun sebagai partai modern,” ungkap Viva.
Sekretaris Jenderal PPP Muhammad Arwani Thomafi mengatakan, pola pemilu pascareformasi terus berubah seiring sistem pemilu yang terus direvisi. Hal ini membuat tantangan baru bagi PPP untuk menjaga suara agar tidak terus berkurang. Narasi politik mesti disesuaikan dengan perkembangan politik yang berlangsung saat itu.
Sama seperti parpol berbasis pemilih Islam lain, PPP pun bergerak ke tengah menjadi partai nasionalis religius. Narasi yang dikembangkan adalah merawat persatuan dengan pembangunan yang salah satunya ditunjukkan melalui kontribusi Ketua Umum PPP Suharso Manoarfa yang menempati posisi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. PPP pun selalu memunculkan narasi untuk mencegah terjadinya pembelahan politik di masyarakat.
Di sisi lain, tantangan untuk merawat basis pemilih tradisional PPP pun tak mudah karena juga diperebutkan oleh parpol lain. Untuk itu, PPP berupaya memperkuat kembali jejaring kesejarahan PPP dengan Nahdlatul Ulama melalui kegiatan dan pertemuan dengan pengurus maupun warga Nahdliyin.
”Segmentasi pemilih nasionalis dan religius justru tidak menguntungkan dalam perkembangan masa depan politik Indonesia. PPP ingin peng-kotakan ini sebagai masa lalu, ke depannya kita harus perkuat kesejarahan bahwa umat Islam adalah nasionalis sejati,” ucap Arwani.
Perubahan suara
Peneliti Senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor mengatakan, parpol berbasis pemilih Islam antara tahun 1950-an dengan sekarang jauh berbeda. Pada awal 1950-an, suara parpol Islam cukup tinggi karena banyak pemilih parpol Islam berpandangan bahwa negara harus dikelola secara keislaman. Oleh karena itu, memberikan dukungan kepada parpol Islam dipandang sebagai jalan yang tepat.
Namun mulai akhir Orde Lama hingga Orde Baru, muncul tekanan pada gerakan Islam melalui deideologisasi dan deparpolisasi. Parpol berbasis Islam pun mulai tersingkir karena dianggap tidak mampu mengejar modernisasi sehingga narasi yang menguat saat itu adalah berpolitik tidak harus melalui partai Islam. Umat Islam dengan keislamannya bisa masuk ke berbagai parpol, bukan hanya ke parpol Islam.
Baca juga: Gerak Elite Politik Menjalin Politik Silaturahmi
”Muncul fenomena Islam substansial yang menyebabkan orang secara umum tidak lagi melihat ketika berpolitik harus melalui partai Islam. Akhirnya banyak yang bergabung ke partai nasionalis dengan tetap menjaga substansi nilai-nilai keislaman,” kata Firman.
Menurut Firman, upaya parpol-parpol berbasis pemilih Islam yang menunjukkan sisi nasionalismenya hanya mampu menjawab satu dari tiga tantangan yang dihadapi. Nasionalis religius yang dibangun parpol itu sebagai bentuk upaya pencitraan untuk memperluas ceruk pemilih di luar basis tradisional.
Namun, mereka mesti memperkuat ketokohan di parpol Islam seperti era awal Reformasi. Di Pemilu 1999 dan 2004, suara parpol berbasis Islam sempat meningkat karena faktor ketokohan Abdurrahman Wahid dan Amien Rais. Ketokohan itu menjadi pertimbangan pemilih sekaligus menjadi penjuru soliditas pemilih Islam, apalagi kini banyak pemilih yang mempertimbangkan ketokohan dibandingkan ideologi partai.
Selanjutnya, parpol berbasis Islam perlu memperkuat dukungan media massa untuk meningkatkan paparan ke masyarakat.
Yang perlu diperhatikan pula, pergeseran basis pemilih tradisional tak hanya dilakukan parpol berbasis Islam.
Partai nasionalis seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Golkar pun mencoba menggaet ceruk pemilih Islam dan untuk itu, mereka mendirikan sayap partai khusus guna melakukan pendekatan-pendekatan. Bahkan kerap terlihat pula mereka merekrut figur-figur tersohor di kalangan Muslim untuk masuk dalam kepengurusan parpol atau mengusung mereka di ajang kontestasi pilpres, pemilu legislatif, ataupun pemilihan kepala daerah.
Baca juga: Cek Ombak Dahulu, Arungi Lautan Pilpres Kemudian
Meski demikian, tren parpol yang semakin ke tengah dengan mengusung ideologi nasionalis religius pun akan menguat karena semenjak Reformasi belum ada partai berbasis pemilih Islam yang memenangi pemilu.
”Saat ini setiap partai mencoba ke tengah, artinya kalangan Islam sadar mereka harus mendapatkan dukungan di luar basis tradisional dengan mengubah citra sebagai partai yang lebih plural,” tutur Firman.