Gerak Elite Politik Menjalin Politik Silaturahmi
Di bulan Ramadhan, safari politik dilakukan para elite politik dengan bertemu masyarakat, tokoh agama, dan sesama elite politik. Apa dampak yang bisa dirasakan dari silaturahmi politik itu?
Momentum bulan Ramadhan dan Idul Fitri memiliki makna tersendiri bagi elite politik. Terlebih lagi jika hal itu terjadi di tahun politik atau hanya dua tahun jelang pemilu. Kesempatan buka puasa bersama dan halalbihalal juga tak luput dari perhatian elite politik untuk menjadi sarana mengungkapkan sikap dan menjalin kesepahaman mengenai politik dan isu-isu kebangsaan.
Momentum ”bukber” dan silaturahmi antarelite saat pandemi bisa dibilang masih terbatas jika dibandingkan situasi di kala normal. Namun, politisi tak kurang akal untuk menjalin politik silaturahmi. Beberapa tokoh dan elite politik justru safari dan kunjungan ke daerah-daerah untuk mengunjungi masyarakat, tokoh, dan ulama di saat bulan puasa.
Partai Demokrat, salah satunya yang menggelar acara ”Malam Silaturahmi dan Kontemplasi”, 17 April 2022 di Hotel Sultan, Jakarta. Ini merupakan salah satu acara internal kepartaian yang digelar Demokrat dengan dihadiri banyak kader, setelah kongres terakhir mereka tahun 2020, yang menetapkan Agus Harimurti Yudhoyono sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.
Malam itu pun tidak hanya digelar untuk buka puasa bersama, tetapi ada pidato politik yang disampaikan Agus atau AHY, serta Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Agus dalam pidatonya menyinggung adanya gangguan kehidupan berbangsa dan bernegara.
”Tidak ada angin, tidak ada hujan. Tiba-tiba ada sejumlah kalangan yang menyerukan penundaan Pemilu 2024, dengan alasan yang sulit diterima dengan akal sehat, tidak relevan, mengada-ada. Mereka ingin melanggenggarakan kekuasaan tanpa proses pemilu,” kata Agus.
Baca juga: Cek Ombak Dahulu, Arungi Lautan Pilpres Kemudian
Selama bulan puasa, Agus secara maraton melakukan Safari Ramadhan ke daerah-daerah di Indonesia, antara lain Demak, Cirebon, Yogyakarta, Surabaya, Jember, Banyuwangi, Lumajang, dan Aceh. Selain bertemu dengan pengurus Partai Demokrat dan berdiskusi dengan masyarakat, Agus juga berkunjung ke tokoh-tokoh dan ulama setempat.
Tidak hanya Agus, tokoh-tokoh politik lainnya juga melakukan hal serupa, seperti Prabowo Subianto yang berkunjung ke Habib Luthfi bin Yahya di Pekalongan, pekan lalu. Sementara itu, Ketum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suharso Monoarfa berkunjung ke rumah Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar di Surabaya, dan KH Bahauddin Nursalim di Rembang, serta bertemu dengan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir.
Ketum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar juga menemui masyarakat dan melakukan aktivitas di bulan puasa, seperti Nusantara Mengaji yang dipusatkan di titik nol Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur, hingga menemui pekerja migran Indonesia di Arab Saudi.
Sekalipun pemilu masih dua tahun lagi, setiap aktivitas elite politik sulit untuk tidak dikaitkan dengan upaya meraih keunggulan elektoral di pemilu. Silaturahmi dilakukan untuk menyerap aspirasi, masukan masyarakat, hingga petuah dari tokoh.
Baca juga: ”Dunia Hitam” Pasca-pemungutan Suara Pemilu
Batu pijakan 2024
Soal Safari Ramadhan AHY, Deputi Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Demokrat Kamhar Lakumani mengatakan, hal itu bagian dari program Gerilya Nusantara untuk menemui masyarakat. Safari ini merupakan batu pijakan kembali untuk mengonsolidasi dan menyemangati kader di daerah-daerah, sembari bertemu dengan berbagai tokoh, ulama, influencer, dan masyarakat umum.
Safari ini diharapkan bisa menjadi sarana untuk mewujudkan kemenangan Demokrat pada Pemilu 2024. ”Kami berharap apa yang menjadi harapan bersama itu bisa diwujudkan, yakni kembali mempunyai figur internal partai yang tampil di 2024,” katanya, Minggu (24/4/2022) di Jakarta.
Safari ini merupakan batu pijakan kembali untuk mengonsolidasi dan menyemangati kader di daerah-daerah, sembari bertemu dengan berbagai tokoh, ulama, influencer, dan masyarakat umum. (Kamhar Lakumani)
Dengan Agus maju sebagai calon presiden, menurut Kamhar, akan ada efek ekor jas yang diperoleh partainya. Demokrat dapat kembali memegang peranan penting dalam pembuatan kebijakan. Oleh karena itulah, safari menemui masyarakat dan silaturahmi dengan berbagai pihak itu dianggap sangat penting. Tidak terkecuali silaturahmi dengan tokoh-tokoh parpol lainnya.
Juru Bicara Partai Gerindra Habiburokhman mengatakan, pertemuan Prabowo dengan sejumlah ulama, salah satunya dengan Habib Luthfi adalah silaturahmi kebangsaan. ”Pola Pak Prabowo itu ketika bertemu dengan tokoh atau ulama itu selalu dalam konteks kebangsaan. Itu jauh lebih tinggi daripada sekadar pemilu an sich” katanya.
Ini kan Ramadhan, waktu yang baik, sehingga sebisa mungkin silaturahmi antaranak bangsa dimaksimalkan. Silaturahmi itu tidak spesifik untuk minta dukungan. (Habiburokhman)
Sosok Habib Luthfi sebagai ulama yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), menurut Habiburokhman, adalah tempat untuk mengaji dan meminta masukan. ”Ini kan Ramadhan, waktu yang baik, sehingga sebisa mungkin silaturahmi antaranak bangsa dimaksimalkan. Silaturahmi itu tidak spesifik untuk minta dukungan,” katanya.
Pertemuan Prabowo dengan Habib Luthfi, menurut Habiburokhman, juga dalam rangka mendapatkan masukan dan kritik. Pertemuan juga tidak terbatas pada tokoh satu agama tertentu.
Meyakinkan tokoh
Wakil Sekretaris Jenderal PKB Syaiful Huda mengatakan, upaya Muhaimin bertemu banyak tokoh dan kunjungan ke pesantren-pesantren memang sudah menjadi modal utama politik PKB. Dengan potensi suara yang besar, dan banyaknya tokoh yang punya pengikut sendiri-sendiri, hanya politik silaturahmi yang bisa menyatukan hal itu.
Baca juga: Menghimpun Data, Bekal Baru Parpol Sebelum Berkontestasi
Cara berpolitik semacam itu juga sudah menjadi bagian tradisi Nusantara. Kebiasaan silaturahmi dan kemudian halalbihalal setelah Idul Fitri dikenalkan, di antaranya, oleh pendiri Nahdlatul Ulama KH Abdul Wahab Hasbullah. Namun, tidak selalu otomatis pertemuan-pertemuan itu berujung kepada dukungan politik.
Untuk sampai pada titik pemberian dukungan, menurut Huda, komunikasi politik yang dilakukan tidak cukup dengan pertemuan-pertemuan semata. Sebab, harus ada keyakinan diri yang timbul di benak tokoh atau ulama itu terhadap seorang tamu yang menawarkan gagasan atau pendapatnya.
Terlepas dari kepentingan politik, politik silaturahmi semakin faktual dan kontekstual di tengah fragmentasi antaranak bangsa yang terjadi. (Syaiful Huda)
”Ketika tidak ada kedekatan kultural dan kedekatan nilai, silaturahmi itu akan memiliki bobot dan makna yang berbeda,” ucapnya, yang meyakini dengan modal itu, PKB bisa lebih diterima di kalangan pesantren dan tokoh agama dalam meraih dukungan.
Namun, terlepas dari kepentingan politik, menurut Huda, politik silaturahmi semakin faktual dan kontekstual di tengah fragmentasi antaranak bangsa yang terjadi. ”Hanya jalan politik silaturahmi yang bisa mencairkan kebekuan dan relasi yang kurang baik antarpemimpin bangsa,” katanya.
Infrastruktur budaya
Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ahmad Najib Burhani mengatakan, silaturahmi dan halalbihalal memang dikenal dalam kultur Indonesia. Khusus untuk halalbihalal, hal itu mulai dikenal sejak zaman Soekarno. Tujuannya juga untuk mempertemukan kelompok kepentingan dan ideologi yang berbeda saat itu.
”Awalnya, dulu di era itu sulit untuk mempertemukan kelompok kepentingan dan ideologi dalam satu meja. Akhirnya, untuk menjembatani hal itu, dibuatlah forum halalbihalal setelah Idul Fitri untuk mempertemukan kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda tersebut,” kata Najib.
Sejak saat itu, halalbihalal menjadi sesuatu yang umum di masyarakat, karena di sanalah berbagai kepentingan dapat bertemu. Tidak terkecuali untuk urusan politik. Halalbihalal dapat diterima dengan baik bersanding dengan budaya sungkeman atau berkunjung ke orang yang lebih tua saat Lebaran.
”Kebiasaan itu saat zaman Soekarno kemudian menjadi ritual politik tahunan untuk mempertemukan berbagai kepentingan yang berbeda,” katanya.
Dengan latar belakang itu, halalbihalal dan silaturahmi bisa saja menjadi sarana untuk kepentingan politik. Sebab, basis kulturalnya sudah ada. Hanya saja, supaya silaturahmi politik itu tidak kehilangan esensinya yang paling penting, menurut Najib, yang harus diperkuat ialah keberlangsungan komunikasi dialogis yang mau mendengar dan menyerap berbagai aspirasi yang berbeda.
Ketika elite membutuhkan dukungan dan legitimasi, elite datang ke rakyat. Lalu mereka mendengar dan menyerap aspirasi. Namun, ketika sudah mendapatkan kekuasaan politik, mereka lupa, dan bertindak sebagai majikan atau penguasa rakyat. Lebih-lebih kalau menggunakan uang rakyat. Jangan sampai seperti itu. (Najib Burhani)
Orang bisa saja datang berkunjung dan silaturahmi dengan berbagai kepentingan, termasuk politik. Itu sesuatu yang tidak bisa dilarang. Namun, agar tidak kehilangan fungsi simbolik, silaturahmi politik itu harus benar-benar bermakna.
”Ketika elite membutuhkan dukungan dan legitimasi, elite datang ke rakyat. Lalu mereka mendengar dan menyerap aspirasi. Namun, ketika sudah mendapat kekuasaan politik, mereka lupa, dan bertindak sebagai majikan atau penguasa rakyat. Lebih-lebih kalau menggunakan uang rakyat. Jangan sampai seperti itu,” katanya.
Proses komunikasi dialogis harus terus berjalan antara elite politik dan rakyat. Ketika terpilih, mereka harus melayani rakyat sebagaimana mereka dulu datang dan meminta legitimasi dari rakyat. ”Politik silaturahmi haruslah dimaknai untuk kepentingan politik yang adiluhung, bukan kepentingan politik jangka pendek, atau untuk raihan elektoral semata,” kata Najib.