Rapat membahas tahapan, program, dan jadwal Pemilu 2024, 13-15 Mei mendatang, harus jadi rapat konsultasi yang terakhir. Setelah itu, KPU harus menetapkan. Ini penting karena Juni mendatang, tahapan pemilu akan dimulai.
Oleh
IQBAL BASYARI, ANITA YOSSIHARA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah fraksi di Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat sudah menyiapkan beberapa catatan untuk rapat konsinyering membahas Rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum mengenai Tahapan, Program, dan Jadwal Pemilu 2024. Konsinyering mesti dipahami sebagai forum untuk memberi masukan, bukan mencari kesepakatan, agar pembahasan peraturan tersebut tidak berlarut-larut.
Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Guspardi Gaus, menyatakan, rapat konsinyering yang semula diagendakan pada 21-23 April 2022 dijadwalkan ulang pada Jumat-Minggu (13-15/5/2022). Pihaknya pun sudah menyiapkan beberapa catatan yang akan disampaikan saat konsinyering tersebut.
Ia menuturkan, anggaran dan durasi masa kampanye akan menjadi perhatian Fraksi PAN saat konsinyering. Penyelenggara pemilu harus mengutamakan efektivitas dan efisiensi dalam penganggaran karena situasi ekonomi masih belum membaik. Oleh sebab itu, anggaran yang sempat diusulkan oleh Komisi Pemilihan Umum sebesar Rp 86 trilun dan turun menjadi Rp 76 triliun dan terakhir Rp 62 triliun mesti tetap dihitung ulang.
Guspardi menyatakan, usulan KPU untuk menaikkan honor petugas ad hoc akan didukung, tetapi kenaikannya harus rasional. Sementara anggaran lain, seperti pengadaan kantor dan gudang yang mencapai Rp 3,1 triliun serta kendaraan operasional sebesar Rp 287 miliar, mesti ditunda. Rapat koordinasi sebaiknya dilakukan secara daring dan kurangi kegiatan-kegiatan seremonial yang memboroskan anggaran.
”Jangan sampai besarnya anggaran kembali dijadikan alasan untuk penundaan,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (23/4/2022).
Selain itu, lanjut Guspardi, durasi kampanye sebaiknya dipangkas. Ia menilai, dari berbagai usulan masa kampanye dari KPU selama 203 hari, pemerintah selama 120 hari, dan fraksi-fraksi di DPR yang menginginkan 60 hari hingga 75 hari perlu dicarikan jalan tengah.
Menurut dia, usulan pemerintah yang menginginkan duasi masa kampanye selama 120 hari perlu dipertimbangkan. Durasi tersebut cukup adil bagi parpol lama maupun baru dalam melakukan sosialisasi kepada pemilih. Sebab, parpol baru pun biasanya sudah melakukan kampanye secara informal di luar tahapan resmi KPU.
Komisi II DPR siap menginisiasi pertemuan dengan Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, maupun Mahkamah Konstitusi untuk mempersingkat durasi sengketa pemilu. Pemerintah juga menyatakan siap untuk menerbitkan aturan yang mendukung percepatan tender logistik pemilu untuk mendukung pemangkasan masa kampanye tersebut.
Senada dengan PAN, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera juga akan memberikan catatan perihal efektivitas masa kampanye, anggaran yang fokus untuk pemilu, serta pemilu berkualitas. Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS, Mardani Ali Sera, mengatakan, usulan itu sudah sering kali dibahas dalam rapat dengar pendapat antara Komisi II DPR dengan penyelenggara pemilu dan pemerintah.
PKS akan mengusulkan durasi masa kampanye 90 hari. Mereka mengusulkan agar mengajak Mahkamah Agung serta Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah untuk membuat proses sengketa yang pendek dan mempercepat proses pengadaan logistik pemilu. Apalagi, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam berbagai kesempatan menyatakan pemerintah siap memberikan dukungan aturan untuk mengakomodasi usulan tersebut.
”Jika dua hal ini selesai, hambatan aturan bisa diatasi,” tuturnya.
Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Ihsan Maulana memperkirakan, DPR dan pemerintah pasti akan banyak memberikan usulan kepada KPU sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Maka, sebaiknya mereka memberikan catatan di tahapan mana saja yang tidak sepakat agar konsinyering tidak berlarut. Catatan itu kemudian menjadi pertimbangan bagi KPU sebagai penyelenggara pemilu yang bersifat mandiri dalam membuat PKPU Tahapan, Program, dan Jadwal agar segera dilakukan uji publik dan disahkan.
”KPU harus menempatkan konsinyering sebagai bentuk menerima masukan, bukan mencari kesepakatan. Kalau peserta konsinyering menempatkannya sebagai bentuk mencari kesepakatan, saya yakin PKPU Tahapan, Program, dan Jadwal tidak akan pernah selesai,” katanya.
Oleh sebab itu, ia berharap konsinyering itu akan menjadi yang pertama dan terakhir dalam membahas PKPU Tahapan, Program, dan Jadwal. Setelah mendapatkan masukan, KPU harus berani mengambil sikap untuk menyelesaikan PKPU tersebut karena waktu menjelang tahapan pertengahan Juni kian dekat. Apalagi, setelah konsinyering kemungkinan masih akan dibahas di forum rapat dengar pendapat di DPR sehingga pembahasannya akan kembali berulang dengan peserta yang sama.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Nurlia Dian Paramita bahkan mendesak agar pembahasan rancangan peraturan KPU tentang tahapan antara Komisi II DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu tak perlu menunggu sampai pertengahan Mei mendatang.
Sebab, jika hal itu yang terjadi, kian sempit waktu persiapan yang dimiliki penyelenggara pemilu sebelum tahapan pemilu dimulai Juni mendatang.
”Meskipun tanggal telah ditetapkan, jika tahapan belum ditetapkan, KPU dan Bawaslu belum bisa memulai tahapan apa pun. Tidak boleh pihak mana pun mengganjal proses penetapan tahapan Pemilu 2024,” ujarnya.