Menghimpun Data, Bekal Baru Parpol Sebelum Berkontestasi
Partai politik beramai-ramai membuat aplikasi digital untuk pendaftaran anggota secara daring. Memudahkan calon kader terhubung dengan partai, sekaligus membuat partai memiliki basis data yang kuat.
Rohmat Aditiya Utama akhirnya berhasil menjadi kader Partai Demokrat pada Juli 2020. Proses pendaftaran melalui laman sahabatdemokrat.id itu berjalan mulus. Lebih kurang 15 menit mengisi formulir pendaftaran dari laptop, warga Indramayu, Jawa Barat, yang bekerja di Jakarta itu akhirnya terdaftar sebagai anggota partai politik.
Meski ada pilihan untuk mendaftar secara manual, Aditya lebih memilih mendaftarkan diri lewat jalur daring. Bagi pemuda berusia 25 tahun itu, pendaftaran daring lebih efektif dan efisien dari banyak segi.
”Secara teknis, pendaftaran secara daring sangat memudahkan karena memotong jarak dan waktu. Saya juga tidak perlu membawa berkas dan kehadiran fisik di kantor Partai Demokrat untuk mendapatkan kartu tanda anggota (KTA),” katanya dihubungi dari Jakarta, Selasa (29/3/2022).
Setelah resmi menjadi kader, Aditya bergabung ke salah satu organisasi sayap Demokrat, yakni Bintang Muda Indonesia (BMI). Dari sana ia mendapatkan berbagai informasi dan undangan untuk mengikuti agenda-agenda partai.
Namun, tidak semua simpatisan Demokrat bisa mendaftarkan diri semudah Aditya. Pemilik akun atas nama Muhammad Firman, misalnya, menuliskan kekecewaannya pada fitur ulasan aplikasi Sahabat Demokrat di platform Google Play Store. ”Susah benar jadi kader. Saya sudah download tapi enggak bisa masukkan kelurahan, kode kecamatan dll,” tulisnya pada Selasa (15/3/2022).
Hal serupa juga dikemukakan akun bernama Dedi NH dan Bilpo. Mereka mengeluhkan sejumlah kendala teknis saat memanfaatkan aplikasi pendaftaran itu. ”Pilihan daerah-daerah tidak muncul,” kata akun Bilpo pada pertengahan Januari 2022.
Deputi Badan Pemenangan Pemilu Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat Kamhar Lakumani mengatakan, laman dan aplikasi Sahabat Demokrat dibangun sejak kepengurusan partai periode 2015—2020 dan dioperasikan Badan Pembina Organisasi, Kaderisasi, dan Keanggotaan (BPOKK) Demokrat. Tujuannya untuk mempermudah pendaftaran masyarakat menjadi kader. Adapun beberapa kendala teknis yang muncul kemungkinan terjadi karena pendaftaran berbenturan dengan waktu perawatan (maintenance) sistem aplikasi.
Baca juga: Hadiah Paket Data hingga “Rebranding”, Kiat Parpol Ikut Pemilu 2024
Selain mempermudah pendaftaran, aplikasi juga digunakan untuk menghimpun data para pendaftar ke bank data (database) anggota. Bank data itu akan dimanfaatkan untuk membentuk grup-grup percakapan daring di aplikasi WhatsApp. Di dalam grup, pengurus partai akan menginformasikan berbagai agenda, baik di tingkat pusat maupun daerah sesuai domisili para anggota.
Tak hanya Demokrat, hampir semua parpol memiliki aplikasi pendaftaran daring. Misalnya, Partai Golkar dengan Golkar eKTA, Partai Nasdem dengan Nasdem Digital, Partai Amanat Nasional (PAN) dengan SimPAN. Ada pula SIKAPPP milik Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Media Pintar Perjuangan milik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), dan aplikasi PKS milik Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Hal itu diperlukan karena setelah terdaftar, para kader diharapkan tidak sekadar tercatat, tetapi juga berpartisipasi dalam agenda politik partai, baik pada ajang pemilihan anggota legislatif (pileg) maupun pemilihan presiden (pilpres).
”Saat ini penggunaan aplikasi masih terbatas karena sistemnya dibangun kembali untuk disesuaikan dengan kebutuhan kepengurusan periode saat ini, termasuk sinkronisasi dengan sistem yang dioperasikan pengurus daerah,” kata Kamhar.
Baca juga: Adu Siasat Partai Politik, dari Isu Populis hingga ”Big Data” Pemilih
Tak hanya Demokrat, hampir semua parpol memiliki aplikasi pendaftaran daring. Misalnya, Partai Golkar dengan Golkar eKTA, Partai Nasdem dengan Nasdem Digital, Partai Amanat Nasional (PAN) dengan SimPAN. Ada pula SIKAPPP milik Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Media Pintar Perjuangan milik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), dan aplikasi PKS milik Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Sementara itu, aplikasi terkait Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Gerindra sebatas menampilkan anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) dan manifesto partai. Pendaftaran anggota tersebar dalam aplikasi pengurus daerah, misalnya PKB Lampung dan Gerindra EKTA Sumbar (Sumatera Barat).
Pendaftaran pemilu
Ketua Bidang Kaderisasi dan Keanggotaan DPP Golkar Sabil Rachman mengungkapkan, partainya sudah memiliki sistem keanggotaan daring, yakni pada laman anggotapg.com sejak 2017. Sistem yang dikembangkan tim teknologi informasi di bawah koordinasi Sekretaris Jenderal Golkar itu terkoneksi dengan Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan sudah digunakan sejak pendaftaran Pemilu 2019.
”Seperti itu sistem yang Golkar jalankan guna memudahkan partai melakukan audit anggota secara riil dan obyektif di seluruh Indonesia,” ujarnya.
Baca juga: Adaptasi Partai Politik untuk Membidik Pemilih Muda
Menjelang Pemilu 2024, KPU berencana kembali menjadikan Sipol sebagai sarana untuk pendaftaran dan verifikasi parpol peserta pemilu. Ini seperti tertuang dalam rancangan peraturan KPU (PKPU) tentang pendaftaran, verifikasi, dan penetapan partai politik peserta pemilu yang diuji publik pada Senin (21/3/2022).
Selain anggotapg.com, partai berlambang beringin itu juga mengembangkan aplikasi Golkar eKTA. Namun, aplikasi masih diuji coba khusus untuk wilayah DKI Jakarta untuk melihat efektivitasnya dalam perekrutan anggota.
Menjelang Pemilu 2024, KPU berencana kembali menjadikan Sipol sebagai sarana untuk pendaftaran dan verifikasi parpol peserta pemilu. Ini seperti tertuang dalam rancangan Peraturan KPU (PKPU) tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu yang diuji publik pada Senin (21/3/2022).
Meski perekrutan bisa dilakukan secara daring, kata Sabil, partai tetap harus memastikan latar belakang dan menghindari keanggotaan ganda karena kemudahan yang dimungkinkan oleh sistem informasi. ”Salah satu alat kontrolnya adalah dengan rekomendasi pengurus partai untuk lebih akuntabel,” ujarnya.
Ketua DPP Partai Nasdem Willy Aditya menuturkan, pengembangan aplikasi Nasdem Digital juga telah mempermudah pendaftaran partainya dalam pemilu. Sistem digital itu juga dikoordinasikan dengan KPU agar pihaknya tidak bolak-balik mengurus dokumen secara manual.
”Kami merasakan bagaimana verifikasi manual itu capek setengah ampun,” katanya.
Penggunaan aplikasi digital, tambah Willy, juga membuat partai lebih transparan. Contohnya, publik bisa memantau keabsahan status pengurus partai karena mereka wajib mengunggah surat keputusan (SK) pengangkatan sebagai pengurus. Hal ini penting karena dalam banyak kasus, SK kepengurusan kerap dipertanyakan keberadaannya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, setiap parpol memang memerlukan pembaruan bank data. Sebab, selama ini data parpol masih disimpan secara manual. Bahkan, parpol tidak memiliki bank data digital yang rapi.
Kalau parpol punya bank data yang rapi juga memudahkan, misalnya, untuk tahapan pendaftaran pemilih. Parpol bisa memeriksa apakah seluruh anggotanya sudah ada dalam daftar pemilih atau belum. (Khoirunnisa)
Dampaknya, saat pendaftaran peserta pemilu, parpol masih melakukannya secara manual dengan membawa begitu banyak berkas ke kantor KPU. Hal tersebut menyulitkan ketika memasuki proses verifikasi, baik secara administrasi maupun faktual. Selain itu, pendeteksian keanggotaan ganda juga sulit dilakukan.
”Kalau parpol punya bank data yang rapi juga memudahkan, misalnya, untuk tahapan pendaftaran pemilih. Parpol bisa memeriksa apakah seluruh anggotanya sudah ada dalam daftar pemilih atau belum,” kata Khoirunnisa.
Jangka panjang
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana melihat, dengan membangun aplikasi pendaftaran kader secara daring, parpol berusaha mengadaptasi perkembangan teknologi untuk kebutuhan internal mereka. Dalam waktu dekat, hal itu memang akan berguna dalam pendaftaran peserta pemilu dan pencalonan anggota legislatif.
”Partai mulai melihat perkembangan teknologi sebagai sebuah keharusan, itu harus diapresiasi,” katanya.
Akan tetapi, semestinya parpol tidak hanya memanfaatkan teknologi untuk kepentingan jangka pendek. Penggunaan aplikasi digital perlu dilanjutkan secara komprehensif untuk kebutuhan jangka panjang, yakni menarik minat pemilih, terutama pemilih muda. ”Parpol harus berlomba-lomba menarik pemilih dengan masuk ke ranah digital, yakni dengan membuat aplikasi dengan sejumlah fitur yang menguntungkan,” ujar Aditya.
Ia mencontohkan, parpol bisa membuat fitur pengumpulan poin dengan syarat tertentu pada aplikasi daringnya. Bagi kader atau masyarakat yang berhasil mengumpulkan poin dengan jumlah tertentu, misalnya, akan mendapatkan voucher untuk membeli bahan pokok. Perubahan pendekatan kepada calon pemilih itu penting, karena saat ini cara menarik pemilih tidak bisa hanya dilakukan dengan pertemuan langsung, tetapi juga harus memikirkan berbagai konsep kreatif di ranah digital.
Aplikasi parpol juga hendaknya dibuat lebih kompleks dan mendalam untuk mendigitalisasi manajemen partai. Tidak sekadar untuk sosialisasi narasi utama partai, tetapi juga harus bisa memfasilitasi rapat secara daring, pemilihan calon anggota legislatif (caleg), bahkan pemilihan ketua umum.
Lebih jauh lagi, kata Aditya, dengan sejumlah data yang dihimpun, idealnya parpol memiliki mahadata (big data) sebagai kekuatan kampanye. Data tersebut bisa digunakan untuk memengaruhi pergeseran perbincangan di media sosial. Namun, hal itu juga mensyaratkan pembangunan infrastruktur dan ekosistem digital parpol yang mapan. Sebab, untuk memimpin perbincangan di dunia digital, parpol nantinya akan bersaing dengan para pemengaruh (influencer) yang memiliki banyak pengikut serta pengaruh kuat meski bergerak atas nama pribadi.
Sebagaimana diamini hampir semua parpol, perkembangan teknologi memang sebuah keniscayaan. Saat ini, partai cenderung mengadopsinya sebagai instrumen untuk mempermudah politik praktis. Namun, itu saja tidak cukup, mampukah parpol mengadaptasi pola pikir digital untuk memetik keuntungan elektoral di masa mendatang?