Fenomena Proust, Mudik, dan Nostalgia Nasi Liwet Solo
Menyantap hidangan masa kecil melengkapi ikhtiar mudik mempererat ikatan keluarga, kebahagiaan, juga memupus trauma.
Mudik memanggil lagi. Sebagai keluarga dengan kampung asal berbeda pulau, setiap Lebaran tak selalu bisa pulang ke dua kota sekaligus. Kali ini pilihan pulang kampung jatuh ke Kota Surakarta alias Solo di Jawa Tengah.
Terbayang jadwal padat anjangsana ke sanak saudara, berziarah ke makam orangtua, tak lupa pula acara berwisata. Adrenalin kian terpacu dan rasa senang meluap ketika memori tentang nasi liwet solo tak henti menyeruak dalam angan.
Warung nasi liwet solo di emperan jalan. Duduk lesehan, satu tangan menopang pincuk nasi liwet. Satu tangan lagi memegang suru, sendok dari daun pisang. Seporsi nasi gurih yang diolah dengan santan, sayur lodeh labu siam, areh, kumut, suwiran ayam, dan telur pindang siap disantap. Sedapnya.
Menyantap nasi liwet langsung masuk agenda yang harus ditunaikan selama di Solo. Bersamaan dengan itu, memori tentang berbagai makanan berat dan penganan lain ikut muncul.
Baca juga: ”The Nuruls”, antara Stereotipe dan Subkultur
Selama di Solo nanti, jangan-jangan waktu habis untuk mengejar keinginan mencicipi lagi jenang, gudeg, pecel, blusukan ke Pasar Gede, dan semua yang pernah dicecap di masa kecil. Ah, memikirkan itu saja membuat tersenyum dan tertawa sendiri.
Selama mudik, kerinduan akan masakan rumah dan makanan setempat yang dulu menemani selama masa kecil hingga remaja makin menjadi. Mudik memang tak dapat dipisahkan dari jelajah kuliner nostalgia.
Memori tentang masakan ibu, kudapan khas daerah, tak hanya menggelayuti pikiran para pemudik di masa Idul Fitri yang berkorelasi dengan umat Islam semata. Kenangan akan kampung halaman, rumah masa kecil, mengendap di benak semua orang.
Warga Amerika Serikat berlomba pulang ke kota asalnya setiap Thanksgiving dan Natal. Berkumpul bersama keluarga besar yang disatukan oleh kalkun panggang hingga pai labu. Olahan kedua menu bisa memiliki kekhasan tersendiri di setiap keluarga.
Baca juga: Jebakan di Ujung Jari, THR Ludes hingga Terlilit Utang
Gelombang mudik besar-besaran juga terjadi di China setiap menjelang perayaan Tahun Baru China. Aneka mi, pangsit, hotpot, dan sederet lainnya hasil masakan ibu atau nenek menjadi jantung yang menghidupkan acara kumpul keluarga di rumah-rumah warga.
Rasa, aroma, dan tekstur
Ingatan tentang makanan masa lalu terpatri mulai dari jejak rasa, tekstur, sampai aromanya.
Nostalgia lewat makanan itu berarti merasakan emosi yang kuat sebagai respons terhadap makanan atau sekadar baunya saja. Nostalgia ini bagian dari fenomena yang disebut Fenomena Proust.
Fenomena Proust, mengutip Zia Sherrel dalam ulasannya di Healthnews.com pada 14 Maret 2024, adalah memori eksplisit yang tidak disengaja.
”Ini adalah ingatan masa lalu yang tidak terduga dan spesifik yang dipicu oleh rangsangan sensorik seperti rasa, bau, atau tekstur,” tulis Sherrel.
Baca juga: Belajar dari Kota Trieste Memangkas Separuh Angka Bunuh Diri
Ingatan yang datang tiba-tiba tentang momen masa kanak-kanak atau remaja disebut sebagai benjolan kenangan (reminiscence bump).
Disebut demikian karena ingatan kuat tertanam dan muncul sewaktu-waktu kala diterjang rangsangan sensorik itu adalah kejadian menonjol yang terekam dalam memori pada tahun-tahun ketika identitas seseorang dalam proses terbentuk.
Kenangan Proust ini tidak selalu menyenangkan. Memori tentang masa sulit atau yang dengan susah payah dilupakan dapat tiba-tiba terbayang jelas ketika mencium aroma, lidah mencecap sesuatu, atau merasakan tekstur tertentu.
Respons emosional orang-orang dengan gangguan stres pascatrauma (PTSD) disebut para ahli bekerja dengan cara yang sama dengan fenomena Proust.
Fenomena Proust disebabkan oleh amigdala dan hipokampus otak yang bekerja sama dengan bulbus olfaktorius.
Ini adalah ingatan masa lalu yang tidak terduga dan spesifik yang dipicu oleh rangsangan sensorik seperti rasa, bau, atau tekstur.
Penelitian ilmiah menunjukkan hipokampus adalah bagian otak yang menyimpan ingatan dan berperan dalam fenomena Proust. Selebihnya, ada amigdala yang terletak jauh di dalam otak dan mengontrol respons serta regulasi emosional. Amigdala membantu mengaitkan makna emosional dengan ingatan kita.
Baca juga: Proyek Tol Dalam Kota Menantang Logika dan Fakta
Amigdala ikut berpartisipasi dalam pemrosesan bau, khususnya yang berkaitan dengan emosi dan memori.
Kemudian, ada bulbus olfaktorius, penghubung antara indra penciuman dan ingatan emosional. Area otak ini menerima informasi sensorik dari hidung dan terhubung ke amigdala dan hipokampus.
Dalam sebuah riset pada 2015, tulis Sherrel lagi, sebanyak 160 sukarelawan diminta mencium 12 aroma. Beberapa di antaranya merupakan makanan, termasuk pai apel dan permen kapas, pohon natal, dan bedak bayi.
Para peneliti menggunakan pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI) mengukur aktivitas otak saat sukarelawan mencium 12 aroma.
Pemindaian otak menunjukkan amigdala dan hipokampus lebih aktif ketika orang memiliki ingatan terkait bau dibandingkan dengan gambar.
Dengan kata lain, aroma makanan masa kanak-kanak yang sengaja atau tidak sengaja terendus indra penciuman menimbulkan respons emosional jauh lebih kuat dibandingkan dengan melihat wujud asli ataupun gambarnya.
Baca juga: Menepi di Kota Kecil
Warisan kenangan
Selain dari pengalaman sendiri di masa kecil, ingatan tentang makanan kesukaan dan romansa kehangatan di waktu lampau dapat ditransfer atau diwariskan lewat orang-orang terdekat.
Kisah tentang daerah asal orangtua, bahkan kakek nenek kita, yang terus-menerus diceritakan sejak kita masih kanak-kanak bakal mengendapkan kenangan tersendiri. Terlebih jika orang-orang terdekat tersebut kemudian sering memasak atau mengajak anak-anaknya menikmati hidangan dari masa lalu mereka.
Susan Krauss Whitbourne, Profesor Emerita Psikologi di Universitas Massachusetts Amherst di Amerika Serikat, seperti dikutip dari BBC.com pada 2019, berpendapat bahwa ingatan terhadap makanan melibatkan area otak yang sangat mendasar dan dapat melewati kesadaran manusia.
Baca juga: Mudik, Kangen-kangenan sembari Mengakrabi Kota Asal
Berbagai hal tentang makanan, kehidupan orangtua di masa mudanya, lingkungan tempat mereka tinggal dulu yang diceritakan sembari menikmati makanan menjadi medium mentransfer kenangan.
Semua memori itu mengendap di antara lapisan kenangan lain di otak dan kelak bisa kembali jika ada pemicunya.
Seseorang yang tak pernah berkunjung ke kampung halaman ibunya bisa senang dan merasa dekat ketika nama kota asal orangtuanya itu disebut.
Ia bisa begitu menyukai rawon, makanan favorit ayahnya. Padahal, ia tidak pernah ke Surabaya atau kota lain di Jawa Timur, tempat asal sup daging bumbu keluak tersebut dan daerah kelahiran si bapak.
Baca juga: Tarif Murah, Syarat Wajib Angkutan Umum Modern Perkotaan
Mewariskan kesukaan akan makanan beserta kisah suka duka dari kampung halaman kepada anak turut menjadi sarana rekonsiliasi. Kesadaran bahwa waktu berlalu dan kini telah membangun kehidupan lain, berkeluarga sendiri yang menumbuhkan harapan. Luka lama atau setidaknya ingatan tentangnya akan tetap ada, tetapi tak semenyakitkan dulu.
Lewat makanan masa kecil, olahan rumahan, dan santapan di daerah asal, para pemudik kini mulai perjalanan yang memanjakan lidah sekaligus meneguhkan kembali relasi kekeluargaan.
Aroma dan rasa sepincuk nasi liwet solo, misalnya, bisa memupus rindu sekaligus menaburkan kenangan baru kolektif bersama pasangan dan anak-anak dengan lebih menyenangkan.
Selamat mudik!
Baca juga: Catatan Urban