Otokrasi Elektoral dan Demokrasi ”Cacat”
Setelah dua dekade lebih, eksistensi dan peran partai ternyata tidak sebagaimana diharapkan pada awal reformasi.
Penyelenggaraan pemilihan umum secara berkala memang syarat minimal dari proses demokrasi prosedural. Persoalannya, apakah pemilu berkala itu sudah memenuhi prinsip free and fair election (bebas dan adil)?
Kalau belum memenuhi prinsip free and fair election, penyelenggaraan pemilu berkala tersebut hanyalah wujud formalisme demokrasi prosedural belaka, belum memenuhi syarat sebagai demokrasi substansial.
Apalagi, kalau diduga sejak awal sistem pemilu itu sudah didesain sedemikian rupa untuk kepentingan politik tertentu, misalnya dengan mengerahkan semua sumber daya publik yang memungkinkan.
Desain ini bisa mencakup rekayasa regulasi dalam praktik legalisme otokratik, pemanfaatan dana publik untuk kepentingan elektoral hingga pengerahan aparat birokrasi. Termasuk juga upaya mobilisasi massa rakyat atau mobilized participation seperti dimaksud Huntington dan Nelson (1977).
Demokrasi cacat
Beberapa kajian menunjukkan penerapan sistem multipartai dan pemilu berkala di enam negara di Afrika tidak dengan sendirinya menjamin terwujudnya proses demokrasi di negara-negara tersebut. Sebaliknya, itu memperlihatkan ciri negara totaliter (Eritrea, Etiopia, dan Rwanda) atau godaan ke arah totaliter (Guinea, Sudan, dan Zimbabwe).
Setidaknya secara keseluruhan praktik politik di negara-negara itu menunjukkan adanya kecenderungan ke arah munculnya rezim-rezim otokratis.
Dalam konteks ini, penting mendengar penilaian mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla bahwa Pemilu 2024 sebagai pemilu terburuk dalam sejarah Indonesia setelah Pemilu 1955.
Kajian atas penyelenggaraan pemilu di negara-negara Afrika di atas juga menunjukkan bahwa penerapan politik elektoral multipartai sejak 1990-an melalui pemilu berkala justru menghasilkan apa yang disebut ”rezim otokrasi elektoral”, yakni rezim yang menggabungkan praktik-praktik politik otoriter dengan pemilu reguler (Foreign Affairs, Februari 2020).
Bagaimana dengan pemilu di Indonesia? Para ilmuwan politik dan pengamat umumnya sepakat, pemilu pertama di Indonesia 1955 adalah yang terbaik dilihat dari segi pelaksanaannya ataupun dari kriteria demokrasi substansial. Kajian Herbert Feith, Indonesian Elections of 1955, mengungkapkan secara lengkap bagaimana Pemilu 1955 dikategorikan pemilu yang sukses dalam ukuran demokrasi (Feith, 1957).
Memang, dengan mengacu pada keberhasilan Pemilu 1955 sebagai patokan, dan juga mengacu pada karakter kepemimpinan politik Indonesia periode itu yang umumnya kaum intelektual berpendidikan Barat, banyak ilmuwan politik Barat percaya dan menaruh harapan besar atas prospek pertumbuhan demokrasi di Indonesia, yaitu demokrasi mengikuti model Barat yang liberal.
Kajian-kajian dari Kahin, Feith, dan John Legge, misalnya, menunjukkan karakteristik kepemimpinan politik di Indonesia sejak perjuangan kemerdekaan hingga dekade 1950-an adalah tipe kepemimpinan cendekiawan-politik, yaitu kaum cendekiawan yang dengan sadar terjun ke gelanggang politik sebagai pemimpin.
Mereka ini mencerminkan tipe kepemimpinan yang oleh Eric Hansen disebut intellectual of political type.
Kahin dan Feith juga diikuti penerus mereka para Indonesianis di Barat umumnya yakin bahwa di bawah tipe kepemimpinan semacam ini, Indonesia pasca-kemerdekaan akan berkembang menjadi nation-state modern dan menjadi negara demokrasi berbasis konstitusi (constitutional democratic state). Bahkan, Indonesia bisa jadi model bagi negara-negara baru merdeka (post-colonial states) di kawasan Asia Tenggara pasca-Perang Dunia II.
Keyakinan itu semakin kuat ketika Indonesia mengadopsi model demokrasi liberal-parlementer yang diterapkan sejak akhir 1940-an dan selama dekade 1950-an. Berbagai praktik politik dan dinamikanya pada periode itu memperkuat indikasi bahwa kehidupan politik demokratis sedang tumbuh di Indonesia, dengan salah satu indikatornya Pemilu 1955.
Namun, ketika eksperimen demokrasi liberal-parlementer ternyata tidak mampu diteruskan, bahkan sebaliknya terhenti pada tahun 1959 ketika Indonesia menerapkan model ”Demokrasi Terpimpin”, berbagai harapan yang semula tinggi tentang prospek demokrasi di Indonesia menjadi sirna.
Dalam kajian terkenalnya, The Decline of Indonesia Constitutional Democracy in Indonesia (1962), Herbert Feith mengkaji mengapa eksperimen demokrasi liberal-parlementer yang semula menjanjikan prospek demokrasi malah merosot ke praktik politik non-demokratis. Setelah kajian ini diterbitkan, dalam berbagai kesempatan Feith masih sering menyampaikan kekecewaannya: mengapa eksperimen demokrasi di Indonesia akhirnya gagal?
Para ilmuwan politik dan pengamat umumnya sepakat, pemilu pertama di Indonesia 1955 adalah yang terbaik dilihat dari segi pelaksanaannya ataupun dari kriteria demokrasi substansial.
Adalah sejarawan Harry J Benda yang kemudian mengkritik tesis Feith. Bagi Benda, demokrasi itu suatu model Barat yang coba dicangkokkan dan ternyata tidak cocok dengan karakter asli Indonesia yang patrimonial otoritarian dan feodal paternalistik. Eksperimen demokrasi di Indonesia, kata Benda, adalah ...a deviation, we might almost say, from that history in that it subjected the country to alien dictation.
Karakteristik politik periode demokrasi terpimpin (1959-1965) yang digambarkan Benda sebagai contoh kembalinya Indonesia ke tambatan sejarahnya di masa lalu (…once Indonesian especially Javanese history found a way back to its own mooring), dengan watak aslinya yang patrimonial-feodal-paternalistik, ternyata berlanjut selama 30 tahun pemerintahan Orde Baru (1966-1998).
Mewarisi karakter patrimonial yang sama dengan rezim sebelumnya, era Orde Baru justru lebih menonjol dengan karakter represif-otoritarian walaupun rezim ini telah menyelenggarakan pemilu secara berkala (1971-1977) sebagai syarat demokrasi prosedural. Dalam beberapa hal, Orde Baru memperlihatkan kesamaan dengan rezim otokrasi elektoral.
Enam kali pemilu Orde Baru tercatat jauh dari pemenuhan syarat demokrasi sebab berlangsung dalam sistem pemilu yang didominasi satu partai (one party dominance) dan sistem kepartaian yang tak kompetitif, bahkan secara sinis disebut ”sistem satu setengah partai” (one and half party system).
Sementara tingginya jumlah suara dalam setiap pemilu Orde Baru bukan cerminan tingginya tingkat partisipasi politik rakyat, melainkan hasil mobilisasi terselubung atau mobilized participation, seperti disebutkan oleh Huntington.
Kemunduran demokrasi
Reformasi tahun 1999 pasca-berakhirnya rezim represif-otoriter Orde Baru awalnya memang memberikan harapan besar kembalinya Indonesia kehidupan politik demokratis, seperti pada awal kemerdekaan hingga pertengahan 1950-an, dengan Pemilu 1955 sebagai tonggaknya.
Reformasi berbasis empat kali amendemen konstitusi UUD 1945 telah mengubah desain ketatanegaraan dan praktik politik dengan mengedepankan partai politik sebagai aktor penting dalam sistem kepartaian yang kompetitif.
Semua itu mengisyaratkan adanya kebutuhan untuk menyempurnakan sistem pemilu dan reformasi sistem kepartaian sebagai dua instrumen utama demokrasi. Demokrasi modern memang ditandai oleh kehadiran dan peran strategis dari partai politik. ”Modern democracy is party democracy”, kata Richard Katz.
Namun, setelah dua dekade lebih, eksistensi dan peran partai ternyata tidak sebagaimana diharapkan pada awal reformasi. Sistem multipartai yang bergandengan (yang biasanya tidak kompatibel) dengan sistem presidensialisme saat ini justru menghasilkan suatu model kompromi politik yang tidak berimbang, dengan kekuatan mayoritas di parlemen justru kehilangan daya kritisnya.
Di sisi lain, kedudukan presiden (pemerintah) semakin kuat, ditopang menguatnya partai-partai pendukung Presiden (presidentialized parties).
Sering diungkapkan bahwa demokrasi di Indonesia sejak reformasi masih dalam proses transisi, belum mengarah ke demokrasi yang terkonsolidasi. Indikatornya, antara lain, kekuasaan cenderung terkonsentrasi pada pemerintah (presiden), sedangkan oposisi dan civil society lemah, bahkan terkooptasi, sehingga tidak ada kontrol atas kekuasaan.
Berbagai kajian terbaru justru menunjukkan gejala kemunduran demokrasi terjadi di Indonesia.
Proses kemunduran itu tak bisa ditutupi hanya dengan penyelenggaraan pemilu berkala walaupun itu salah satu syarat minimal demokrasi prosedural.
Dengan menggunakan lima kategori untuk mengukur demokrasi (yaitu proses elektoral, pluralisme, kebebasan sipil, partisipasi politik, dan budaya politik), The Economist Intelligence Unit dalam laporannya (2019) menyatakan, yang berkembang saat ini di Indonesia adalah ”demokrasi cacat” (flawed democracy).
Studi Slater (2004) menemukan parpol di Indonesia gagal menciptakan mekanisme check and balance yang jadi esensi demokrasi dan terjadinya accountability trap yang mendorong tumbuhnya perilaku kartel dengan segala implikasi negatifnya, seperti perburuan rente (rent seeking) dan menguatnya perilaku koruptif.
Studi Dodi Ambardi (2009) menunjukkan fenomena kartelisasi partai disebabkan kepentingan kolektif mereka dalam menjaga sumber-sumber rente di lembaga eksekutif dan legislatif demi kelangsungan hidup mereka.
Pada sisi lain, sistem pemilu proporsional terbuka tidak memperkuat pelembagaan partai politik, antara lain karena minimnya kaderisasi internal disertai menguatnya kecenderungan politik uang yang menyebabkan high-cost politics.
Studi Aspinall dan Berenschot (2019) mencatat, pemilu nasional dan lokal semakin mahal biayanya dan ini berdampak pada meluasnya praktik korupsi pada berbagai jenjang.
Baca juga: Pemilih Ekspresif dan Demokrasi
Berbagai kajian di atas memperlihatkan kesimpulan yang sama bahwa proses demokratisasi politik tak berkembang sebagaimana diharapkan banyak orang pada awal reformasi. Bahkan, dalam kajian terbaru Thomas Power dan Eve Warburton, terungkap demokrasi di Indonesia bukan hanya stagnan, malahan mundur, seperti judul buku mereka, Democracy in Indonesia: From Stagnation to Regression? (2020).
Pemilu terburuk
Hasil berbagai kajian di atas sudah mengungkap proses kemunduran demokrasi di Indonesia pascareformasi. Proses kemunduran itu tak bisa ditutupi hanya dengan penyelenggaraan pemilu berkala walaupun itu salah satu syarat minimal demokrasi prosedural.
Tanpa disertai keterbukaan tentang desain sistem pemilihannya atas prinsip free and fair election, maka pemilu (dan pilpres) berkala hanya akan mengukuhkan rezim otokrasi elektoral yang bisa semakin memperbesar ”demokrasi cacat”.
Dalam konteks ini, penting mendengar penilaian mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla bahwa Pemilu 2024 sebagai pemilu terburuk dalam sejarah Indonesia setelah Pemilu 1955. Dalam diskusi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 7 Maret 2024, ia mengkhawatirkan jika pemilu terburuk ini terus dibiarkan, kemungkinan Indonesia akan kembali ke masa otoriter.
Ataukah memang seperti dikatakan Benda, demokrasi itu alien dictation yang tidak cocok dicangkokkan dalam budaya politik Indonesia yang watak aslinya adalah patrimonial-feodal dan otoriter ?
Manuel Kaisiepo,Pakar Aliansi Kebangsaan