logo Kompas.id
OpiniPemilih Ekspresif dan...
Iklan

Pemilih Ekspresif dan Demokrasi

Rasa penasaran publik kini bergeser dari pertanyaan ”siapa unggul, siapa tertinggal” ke pertanyaan peluang satu putaran.

Oleh
KUSKRIDHO AMBARDI
· 6 menit baca
Ilustrasi
KOMPAS/HERYUNANTO

Ilustrasi

Gambaran prediktif tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024 yang disajikan oleh berbagai rilis pollsters relatif jernih. Meskipun tingkat kepastiannya belum penuh, urutan kans kemenangan para kandidat sudah terlihat terpola dalam dua bulan terakhir.

Pasangan nomor urut dua, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, mengungguli dua pasangan calon presiden (capres)-calon wakil presiden (cawapres) lainnya, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar serta Ganjar Pranowo dan Mahfud MD.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Rasa penasaran publik pun kini bergeser dari pertanyaan ”siapa unggul, siapa tertinggal” ke pertanyaan tentang peluang pilpres berlangsung satu putaran. Pertanyaan sampirannya, jika terjadi dua putaran, pasangan mana yang akan berlaga dengan pasangan Prabowo-Gibran?

Namun, hitungan kuantitatif yang bersifat probabilistik itu masih menyimpan sebuah misteri tentang perilaku pemilih.

Jika peluang probabilistik itu terang-benderang, mengapa masih saja banyak pemilih keras kepala yang bertahan memberikan suaranya ke pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud?

Pemilih rasional

Model pemilih rasional adalah salah satu model baku untuk menjelaskan perilaku pemilih yang merangkum dua keputusan elektoral mereka.

Pertama, pemilih membuat keputusan untuk berpartisipasi dengan mendatangi tempat pemungutan suara (TPS); dan kedua, pemilih membuat keputusan untuk memberikan dukungan terhadap calon atau partai politik pilihannya.

Meskipun tingkat kepastiannya belum penuh, urutan kans kemenangan para kandidat sudah terlihat terpola dalam dua bulan terakhir.

Basis perhitungan pemilih rasional adalah perhitungan untung-rugi personal. Keputusan seorang pemilih untuk memberikan suaranya pada sepasang kandidat capres-cawapres dibentuk oleh perhitungan itu.

Kepentingan ekonomi menjadi pertimbangan utama sehingga pemilih akan memberikan suaranya jika mereka percaya bahwa kebijakan yang ditawarkan pasangan tersebut akan membawa atau meningkatkan kesejahteraannya kelak, ketika sang pasangan itu memenangi pilpres.

Kita bisa membedakan mekanik pilihan rasional itu menjadi dua berdasarkan jenis insentif ekonominya, yakni insentif tidak langsung dan insentif langsung.

Perhitungan imajinatif di benak pemilih tentang efek kesejahteraan dari kebijakan pasangan yang didukungnya bersifat tidak langsung dan umum. Kebijakan tentang penanggulangan problem pengangguran melalui kebijakan pembukaan wilayah industri baru, misalnya.

Jika kelak dieksekusi, kesejahteraan itu secara tidak langsung akan memberikan kesejahteraan pada para pemilih yang mampu mendapatkan pekerjaan di sana. Dan bersifat umum, karena itu berlaku pada semua pemilih yang memenuhi kriteria kualifikasi pekerjaan yang sedang dibuka.

https://cdn-assetd.kompas.id/J2SccTxw0CfDqa6UaX0P7wPhsHk=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F02%2F6d8edda0-a70f-431e-917d-de3ac80869ad_jpg.jpg

Insentif jenis kedua bersifat langsung. Langsung di sini berarti pemilih mendapatkan keuntungan yang segera dapat dinikmati. Contohnya beragam. Misalnya, insentif tersebut bisa berwujud penerimaan BLT (bantuan langsung tunai), pembagian paket sembako, pasar murah, makan siang gratis, sampai dengan pembagian amplop yang berisi uang.

Dari beberapa contoh ini, sebagian memasuki wilayah putih, sebagian abu-abu, dan sisanya hitam jika dilihat dari kriteria legalitas dan muatan etisnya. Pembagian amplop yang populer dengan sebutan politik uang berwarna hitam, tetapi praktiknya diterima secara sosial.

Perhitungan insentif langsung dan tidak langsung itulah yang mendorong pemilih untuk datang ke TPS, dan sekaligus mencoblos pasangan capres dan cawapres favoritnya.

Namun, berbagai survei yang dirilis sebelum pemilu membentangkan sebuah situasi baru yang mengharuskan pemilih rasional menghitung ulang keputusannya.

Jika distribusi dukungan pada ketiga pasangan itu masih berdekatan, sangatlah rasional jika kelompok pemilih masing-masing pasangan tetap bertahan dan mengupayakan konversi pada kelompok pemilih lain untuk memindahkan dukungan suara mereka ke kubunya.

Akan tetapi, dalam sebulan terakhir, rilis-rilis survei mendemonstrasikan bahwa distribusi dukungan itu makin mengerucut ke Prabowo-Gibran, tetapi tidak menghabiskan dukungan atas Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud.

Mestinya, keunggulan Prabowo-Gibran segera melampaui ambang 50 persen. Itu bukan disebabkan oleh konversi atau perpindahan suara, tetapi karena seharusnya terjadi penurunan proporsi pemilih yang mendukung Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud.

Jika kekalahan sang jagoan sudah terlihat di horizon, mengapa pemilih pasangan nomor satu dan nomor tiga itu tetap keras kepala dan tak melihat kesia-siaan itu? Model rasional pemilih sepenuhnya tak mampu menjawab pertanyaan itu.

Gejala pemilih ekspresif adalah gejala protest-voting untuk menunjukkan jati diri atau identitas diri di tengah-tengah kemelut ketidakadilan elektoral.

Pemilih ekspresif

Iklan

Tesis pemilih ekspresif mampu lebih jauh menjelaskan perilaku pemilih yang tetap mempertahankan dukungannya pada pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud.

Intinya, tesis ini percaya bahwa, pemberian suara memiliki makna tersendiri bagi pemilih, yang tidak harus berkaitan dengan gambaran prediktif rilis-rilis survei. Pemilih terpandu oleh alasan-alasan di luar rasionalitas ekonomi.

Dengan ungkapan teknis, pilihan ekspresif itu bersifat intransitif. Mengekspresikan pilihan adalah tujuan itu sendiri. Pilihan politik menjadi sebuah pernyataan personal, yang mencerminkan nilai yang diyakini memiliki harga khusus secara perseorangan atau secara kolektif. Pilihan ekspresif ini berkebalikan dengan pilihan rasional bersifat transitif.

Pada pilihan transitif, pemilih memberikan dukungan suaranya untuk mencapai tujuan yang lain seperti aspirasi kesejahteraan. Bagi pemilih rasional, hasil akhir pemilu menjadi prioritas pertimbangan dalam membuat keputusan.

Sebaliknya, bagi pemilih ekspresif, hasil akhir perhitungan pilpres itu kurang penting atau tidak penting sama sekali.

Pilihan ekspresif itu berada pada rumpun yang sama dengan perilaku politik ekspresif lainnya, seperti melakukan protes sosial, berdemonstrasi di jalanan, mogok, gerakan tak memilih politisi busuk, dan aneka perilaku ekspresif lainnya.

Jadi, misalnya, ketika seorang pemilih menyaksikan jomplangnya pendanaan politik antar pasangan capres-cawapres, mereka akan memproses informasi untuk memahami kesenjangan pendanaan itu.

https://cdn-assetd.kompas.id/WanOq96N44FfDVsNvk-GuGIryJk=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F14%2F077d30da-ff8c-4f2a-ae32-0b2291af70d7_jpg.jpg

Perbandingan proporsi billboard kampanye pilpres pasangan kandidat yang terpampang di berbagai perempatan menunjukkan perbedaan kemampuan pendanaan masing-masing pasangan yang berlaga.

Perbedaan kemampuan itu bisa mengindikasikan perbedaan profesionalitas tim kampanye, tetapi bisa juga terbentuk dari penafsiran bahwa sumber- sumber pendanaan para kontributor dipilah dan dikunci secara politik. Jika akar penyebabnya bersifat politik, pemahaman tersebut akan menumbuhkan rasa ketidakwajaran di hati pemilih.

Pendistribusian BLT yang bersumber dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan pengasosiasiannya pada pasangan Prabowo-Gibran menjadi alasan kuat bagi pemilih untuk memprotes dengan cara tetap bertahan pada pilihan ke pasangan Anies-Muhaimin atau Ganjar-Mahfud. Anasir ketidakadilan yang dirasakan pemilih memformat pilihan itu.

Pemberitaan berbagai media tentang ketidaknetralan sebagian aparat yang mencopoti poster dan baliho pasangan nomor satu dan nomor tiga, dan mobilisasi pemasangan baliho nomor dua, menyulut simpati pemilih pasangan nomor satu dan nomor tiga, serta memberi energi pemilih untuk tetap bertahan pada dua pasangan yang terlunta-lunta itu.

Kontroversi keperbihakan Presiden untuk berkampanye mendukung pasangan nomor dua juga memproduksi antipati yang melahirkan militansi para pendukung pasangan nomor satu dan nomor tiga.

Argumen legal formal yang menyatakan bahwa undang-undang membolehkan presiden berkampanye di banyak lingkaran dibantah dengan argumen etis dan ekonomi-politik yang membuat para pendukung pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud bersikukuh di kubunya masing-masing.

Tesis pemilih ekspresif mampu lebih jauh menjelaskan perilaku pemilih yang tetap mempertahankan dukungannya pada pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud.

Kita bisa memperpanjang daftar alasan ini dengan memasukkan isu merosotnya etika dan moralitas, isu terpinggirnya masyarakat lokal dalam kasus- kasus pertambangan, isu utang luar negeri, dan seterusnya.

Akan tetapi, esensinya sama: pilihan mereka bertolak dari sebuah keyakinan tentang nilai esensial keadilan, kejujuran dan kesetaraan dalam pemilu, pentingnya prinsip etis netralitas penyelenggara pemilu dan aparat, serta pentingnya komitmen untuk menegakkan legitimasi pemilu. Dengan memilih secara ekspresif, mereka sesungguhnya sedang menyusun dan menulis sebuah narasi biografis tentang martabat mereka masing-masing.

Martabat dan demokrasi

Kekeraskepalaan itu pada akhirnya menjadi masuk akal. Gejala pemilih ekspresif adalah gejala protest-voting untuk menunjukkan jati diri atau identitas diri di tengah-tengah kemelut ketidakadilan elektoral.

Dalam khazanah sosiologi, pemilih ekspresif itu dikenal sebagai pemilih yang menerapkan rasionalitas berbasis nilai.

Nilai etislah yang memandu pilihan politik mereka—bukan semata nilai atau kepentingan material. Dalam situasi tertentu nilai etis dan kepentingan material itu bisa berdamai, tapi dalam situasi lainnya keduanya bisa bertabrakan.

Perkembangan sebulan terakhir menggambarkan proses yang bertabrakan, yang itu terekam dalam kemacetan kampanye riuh pilpres satu putaran.

Apakah dukungan suara yang diberikan pemilih kepada pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud itu sebuah kesia-siaan? Dalam konteks Pilpres 2024 yang segera berlangsung, pilihan itu menjadi sebuah pilihan yang memberikan sepotong martabat.

Justru, pada pilihan ekspresif mereka itulah demokrasi Indonesia mendapatkan basis sosiologisnya. Mereka sedang dan akan menjadi penyeimbang untuk mengoreksi kemerosotan kualitas demokrasi kita—sebelum dan sesudah pemilu.

Baca juga : Ketika Kampus Mulai Bersuara

Kuskridho Ambardi, Dosen Departemen Sosiologi Fisipol Universitas Gadjah Mada.

Kuskridho Ambardi
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO

Kuskridho Ambardi

Editor:
SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000