logo Kompas.id
OpiniSenyuman dan Janji-janji di...
Iklan

Senyuman dan Janji-janji di Sepanjang Jalan Raya

Mereka cuek atribut kampanyenya mencelakai warga, yang penting ”nampang” dan mengumbar janji-janji, seperti sebelumnya.

Oleh
NELI TRIANA
· 6 menit baca
Neli Triana
SALOMO TOBING

Neli Triana

Menjelang pemilihan umum seperti sekarang, baru buka pagar rumah saja sudah diserbu poster calon presiden, calon wakil presiden, calon wakil rakyat, atau partai politik. Melaju di jalan raya, poster, spanduk, bendera, sampai stiker bergambar para peserta pemilu itu ditemui nyaris di semua sudut kota.

Atribut kampanye dipaku di batang pohon, ditempel di tembok-tembok, di tiang listrik, di jembatan penyeberangan orang, di lahan tak bertuan, berderet di sepanjang sisi kanan kiri jalan, dan di median jalan. Tiang dan kerangka atribut kampanye yang terbuat dari bambu, kayu, atau baja ringan miring, penyok, ada juga yang patah sebagian. Jauh dari indah.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Banyak warga gerah, pandangan terganggu, bahkan bisa celaka karena pemasangan atribut kampanye serampangan itu.

Polda Metro Jaya telah mengimbau warga melaporkan segala gangguan karena atribut kampanye. Polisi berinisiatif untuk berkoordinasi dengan pihak yang berwenang menertibkan atribut kampanye agar warga tidak terus dirugikan. Namun, tetap saja semrawut.

Baca juga: Megakota, Raksasa yang Serba Setengah-setengah

Badan Pengawas Pemilu dan Komisi Pemilihan Umum saling mendorong agar setiap pihak memperingatkan para peserta pemilu yang abai. Keterbatasan wewenang membuat Bawaslu dan KPU amat bergantung pada pemerintah daerah untuk menertibkan atribut kampanye.

Pemerintah kota di Provinsi DKI Jakarta, seperti halnya pemerintah daerah lain, ketiban sial. Mau tak mau mereka bersepakat menertibkan spanduk, poster, juga bendera peserta pemilu demi kepentingan publik yang lebih luas.

Pengendara melintasi bendera partai politik peserta Pemilu 2024 di HOS Cokroaminoto, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (4/1/2024).
KOMPAS/AGUS SUSANTO

Pengendara melintasi bendera partai politik peserta Pemilu 2024 di HOS Cokroaminoto, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (4/1/2024).

Bagaimana dengan para peserta pemilu yang atribut kampanyenya mencemari kota itu? Sejauh ini respons mereka nihil untuk menggerakkan pendukungnya menertibkan berbagai alat peraga kampanye (APK) sesuai aturan dan tidak membahayakan publik.

Padahal, seperti halnya saat secara mandiri memasangnya, para pendukung caleg dan capres-cawapreslah yang wajib menaati aturan dan mencopoti sendiri APK-nya.

Hari-H pencoblosan pada 14 Februari yang semakin dekat justru membuat para peserta pemilu kian gencar menabur APK. Banyak peserta pemilu yang justru memperbesar ukuran poster atau menambah jumlahnya.

Peserta lain ada yang memasang sebanyak mungkin APK di ruang publik di wilayah pemilihannya. Warna-warni, tetapi tidak menarik.

Baca juga: Inovasi-inovasi Kota yang Dinanti pada 2024

Pada APK itu ada potret wajah peserta pemilu dengan senyum lebar dan berbagai upaya lain agar gambar diri mereka tampak menawan, menarik hati. Mereka ramai-ramai membuat kota kebanjiran atribut kampanye dengan harapan publik terus terpapar oleh wajah, nama, dan nomor urut mereka. Tujuannya, pemilih ingat dan tak ragu mencoblos mereka.

Foto close up salah satu alat peraga kampanye Pemilu 2024 di Kota Jakarta, Rabu (3/1/2024).
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Foto close up salah satu alat peraga kampanye Pemilu 2024 di Kota Jakarta, Rabu (3/1/2024).

Para peserta pemilu itu seperti tak peduli dengan polusi visual yang mereka hasilkan. Apalagi menjelang hari pencoblosan, di masa tenang saat berbagai kegiatan terkait kampanye total dihentikan, peserta pemilu dan pendukungnya banyak yang tak ingat atau pura-pura lupa pada tanggung jawabnya mencopot APK. Lagi-lagi, pemerintah daerah lewat satuan polisi pamong praja yang mendapat limpahan tugas membersihkan semua APK.

”Ah, cuma lima tahun sekali saja, kok,” bisa jadi inilah isi pikiran para peserta pemilu dan pendukungnya.

Jika kelak benar terpilih, pola pikir serupa bisa berlanjut dan tecermin pula dalam kebijakan yang diambil saat menduduki kursi kekuasaan. Pola yang telah terekam dari jejak kebijakan para pemimpin dan anggota legislatif terpilih pada periode-periode pemilu sebelumnya.

Kebijakan pasang surut

Coba lihat, kebijakan apa yang para pejabat publik itu hasilkan, misalnya dalam menghadapi rentetan bencana hidrometeorologi tiap musim hujan. Publik dipaksa menerima saja kala penanggulangannya terasa lambat.

Lebih dari 20 tahun lalu, tepatnya tahun 2002, banjir besar melanda Jakarta dan sekitarnya. Catatan harian Kompas, bencana itu disebut terparah di era kemerdekaan republik ini. Warga terdampak di atas 350.000 jiwa dengan 32 korban tewas.

Baca juga: Nasib ”Abu-abu” Kota Pengembangan KEK dan Kawasan Industri Baru

Petugas Badan Air Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta membersihkan sampah di Waduk Pluit, Jakarta Utara, yang sebagian selesai dikeruk , Kamis (7/12/2023).
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Petugas Badan Air Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta membersihkan sampah di Waduk Pluit, Jakarta Utara, yang sebagian selesai dikeruk , Kamis (7/12/2023).

Buru-buru para pejabat DKI dan pusat berkumpul di medio 2002 itu dan menelurkan Program Penanganan Banjir Jakarta senilai sekitar Rp 16 triliun untuk berbagai upaya jangka pendek, menengah, dan panjang.

Tak lama banjir surut, kehidupan Jakarta kembali bergulir seperti biasa. Pelaksanaan Program Penanganan Banjir Jakarta ikut surut. Jangankan program jangka menengah dan panjang, yang jangka pendek atau program mendesak pun urung dilaksanakan.

Terlebih di 2004 ada perhelatan pemilu, semua pejabat dan mereka yang ingin mencoba peruntungan menjadi pemimpin ataupun wakil rakyat fokus pada strategi kampanye masing-masing.

Iklan

Baca juga: Menitipkan Kota-kota pada (Calon) Presiden dan Wakil Presiden

Pada 2007, banjir besar memporak-porandakan Jakarta lagi. Banjir di awal Februari 2007 melanda 70 persen wilayah Jakarta. Per 10 Februari 2007, seperti dilaporkan harian Kompas, tercatat 48 warga Jakarta tewas karena banjir. Kerugian triliunan rupiah dari sisi yang terdampak langsung dan tak langsung.

https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2020/01/07/202020107-HKT-MasterPlan-Banjir2017-mumed_1578412640_gif.gif

Semua pihak terkesiap. Pemerintah pusat dan DKI Jakarta tertampar. Beberapa proyek infrastruktur besar cepat-cepat diselesaikan.

Kanal Banjir timur (KBT) yang telah direncanakan dalam Rencana Induk Pengendalian Banjir Jakarta pada 1973 akhirnya selesai pada 2010. Sebelumnya KBT mulai dibangun pada 2003 sebelum terhenti dan baru digenjot lagi pada 2007.

Selanjutnya, realisasi penanggulangan banjir Jakarta terus pasang surut. Penataan situ, pembangunan waduk, revitalisasi sungai, perawatan dan peningkatan kapasitas jaringan drainase kota, sampai rumah pompa bergulir walau kadang tersendat. Beberapa kali masih terjadi banjir besar walau belum menyamai bencana di 2002 dan 2007.

Baca juga: Biaya Hidup Tinggi Menggerus Kebahagiaan Keluarga di Perkotaan

Di masa-masa sekarang, publik masih gemas dengan realisasi pembangunan tanggul laut di pesisir Teluk Jakarta. Tanggul ini berfungsi membantu menangkal banjir rob yang potensinya terus naik karena kenaikan muka air laut, mengurangi instrusi air laut, dan ikut mengerem laju penurunan muka daratan Jakarta.

Sampai Januari ini, seperti diungkapkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, baru 11 kilometer dari target 44,2 kilometer tanggul pesisir pantai Jakarta yang telah terbangun.

Kondisi tanggul pantai yang berada di pinggir Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman, Muara Baru, Jakarta, Sabtu (11/3/2023).
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Kondisi tanggul pantai yang berada di pinggir Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman, Muara Baru, Jakarta, Sabtu (11/3/2023).

Realisasi sejumlah kebijakan lain juga mengalami pasang surut yang mirip. Jakarta relatif beruntung. Sebagai ibu kota yang menyabet perhatian secara nasional dan internasional, berbagai masalahnya pun ditangani lebih cepat dan maju dibandingkan daerah lain.

Pembangunan transportasi publik yang tertunda puluhan tahun pun kini dikebut. Buah kebijakan itu mampu memberi alternatif moda angkutan yang cukup memadai bagi masyarakat di tengah kemacetan yang belum terurai.

Di kawasan lain di Indonesia, walaupun ada akselerasi, hasilnya belum maksimal.

Baca juga: Rapuhnya Kota-kota Kita

Di Jakarta dan di kawasan lain, sampai saat ini, kelangsungan suatu program juga masih amat tergantung dari situasi politik di tingkat nasional dan daerah.

Dua Pekan Lebih, Banjir Masih Menggenangi Permukiman di Kerinci, Jambi
KOMPAS/FRENKY TANNI

Dua Pekan Lebih, Banjir Masih Menggenangi Permukiman di Kerinci, Jambi

Pemimpin jelek ini hipokrit alias munafik. Mereka memandang dirinya sebagai pemimpin yang baik padahal sebenarnya buruk. Mereka mengatakan sesuatu tetapi melakukan hal lain yang jelas-jelas berseberangan.

Jika seorang pemimpin terpilih kembali atau digantikan sosok dari ”gerbong” yang sama, kebijakannya sangat mungkin berlanjut. Kalau kubu lawan yang menang, bersiaplah berganti prioritas kebijakan.

Dalam situasi semacam itu, warga sebagai pemilik suara yang membawa para pemimpin dan wakil rakyat mendapatkan kursi incaran justru kerap terombang-ambing.

Baca juga: Kantormu Bukan Keluargamu

Pemimpin hipokrit

Sejumlah pengalaman menunjukkan, pemimpin atau calon pemimpin tidak selalu seperti apa yang terlihat di hadapan publik, apalagi yang dijanjikan. Memakai analogi kepemimpinan dalam sebuah perusahaan, Forbes.com dalam salah satu ulasannya menyatakan ada tiga jenis pemimpin, yaitu pemimpin yang baik (good), jelek (bad), dan satu lagi pemimpin yang buruk (ugly).

Pemimpin yang baik menciptakan warisan hasil luar biasa, sementara pemimpin yang jelek menghancurkan timnya dan gagal mencapai tujuan. Pemimpin yang buruk adalah pemimpin palsu dan bermuka dua.

Pemimpin buruk ini hipokrit alias munafik. Mereka memandang dirinya sebagai pemimpin yang baik meskipun sebenarnya buruk. Mereka mengatakan sesuatu, tetapi melakukan hal lain yang jelas-jelas berseberangan.

Baca juga: Kelas Menengah Aspirasional adalah Kita, Berhati-hatilah...

Alat peraga kampanye pasangan calon presiden dan calon wakil presiden di kawsasan Pondok Pinang, Jakarta Selatan, Selasa (9/1/2024).
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Alat peraga kampanye pasangan calon presiden dan calon wakil presiden di kawsasan Pondok Pinang, Jakarta Selatan, Selasa (9/1/2024).

Publik telah merasakan rupa-rupa pemimpin itu selama puluhan hingga ratusan tahun. Di antara banyak pemimpin baik, selalu ada pemimpin jelek berkuasa. Tak kalah sering pemimpin buruk muncul, bahkan langgeng duduk di kursi dan meneruskan estafet kekuasaan pada kubunya. Pemimpin yang baik pun bisa berubah jelek dan kadang menjadi buruk dalam sekejap.

Di organisasi kecil, perusahaan besar, pengelola kota, sampai negara, situasi serupa bisa terjadi. Anggota organisasi, seperti halnya rakyat, hanya bisa berharap pemimpin terbaiklah yang akan muncul. Namun, takdir suka berkata lain.

Meskipun demikian, apa pun kebijakan prioritas para pemimpin dan wakil rakyat periode terbaru, rakyat berharap akan tetap berbuah hasil baik bagi publik. Setidaknya tidak membuat kondisi warga memburuk atau lebih buruk dari saat ini. Apalagi membuat kota-kota juga negara melangkah mundur. Semoga saja tidak terjadi.

Baca juga: Catatan Urban

Editor:
GESIT ARIYANTO
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000