Mengubah Gencatan Senjata Sementara di Gaza Menjadi Permanen, Mungkinkah?
Mulai Jumat ini, gencatan senjata empat hari Hamas dan Israel berlaku. Banyak pihak berharap, kesepakatan ini permanen.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN
·5 menit baca
Akhirnya Israel pada Rabu (22/11/2023) menyetujui kesepakatan gencatan senjata sementara selama empat hari dengan kelompok Hamas melalui mediator Qatar yang dibantu AS dan Mesir. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam keterangan persnya menjelaskan, pemerintahannya menyetujui garis besar tahap pertama kesepakatan pembebasan tidak kurang dari 50 sandera di tangan Hamas, yang terdiri dari perempuan dan anak-anak, selama empat hari. Selama itu pula dilakukan gencatan senjata.
Netanyahu menyebut, pembebasan para sandera di Jalur Gaza dilakukan secara bertahap. Ia mengakui, kesepakatan tukar-menukar tawanan dengan Hamas adalah keputusan sulit, tetapi tepat.
Stasiun televisi Kan 11 Israel mengungkapkan, transaksi kesepakatan gencatan senjata sementara antara Hamas dan Israel itu berupa: Hamas membebaskan 50 sandera, terdiri dari perempuan dan anak-anak, dengan imbalan Israel membebaskan 150 tawanan Palestina di penjara Israel.
Adapun pengumuman Hamas menyebutkan, telah tercapai kesepakatan gencatan senjata kemanusiaan selama empat hari dengan mediator Qatar dan Mesir setelah melalui perundingan panjang dan berliku-liku. Kelompok itu mengungkapkan, kesepakatan gencatan senjata itu juga dengan imbalan diizinkan masuknya ratusan truk pembawa bantuan kemanusiaan, obat-obatan, dan bahan bakar ke seantero wilayah di Jalur Gaza.
Saat melancarkan operasi Badai Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023, Hamas menahan 239 warga Israel. Hamas mengklaim, sedikitnya 60 dari 239 tawanan Israel telah tewas akibat gempuran Israel yang tiada henti atas Jalur Gaza selama lebih dari 40 hari itu. Dalam operasi Badai Al-Aqsa itu, sekitar 1.200 orang, termasuk warga sipil, di Israel tewas.
Israel pun melancarkan serangan balasan terdahsyat dalam sejarah perang Arab-Israel. Israel sejak 27 Oktober 2023 juga melancarkan serangan darat ke Jalur Gaza hingga Kota Gaza kini praktis dikuasai Israel. Militer Israel disinyalir telah mengerahkan 10.000 personel yang didukung 1.100 tank dan kendaraan lapis baja untuk masuk ke Jalur Gaza.
Belum lagi puluhan ribu personel pasukan Israel lainnya yang mengepung dan mengambil posisi di sekitar Jalur Gaza. Ini pengerahan pasukan Israel terbesar sejak serangan Israel ke Beirut untuk melumpuhkan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pada tahun 1982.
Sampai diumumkannya kesepakatan gencatan senjata hari Rabu lalu, telah tewas dari pihak Palestina lebih dari 14.000 jiwa. Ini jumlah korban terbesar di pihak Palestina dan Arab sejak perang Arab-Israel tahun 1948. Ini belum termasuk kerugian gedung-gedung dan infrastruktur Jalur Gaza yang hancur lebur digempur Israel dari udara, laut, dan darat.
Netanyahu pun selalu menolak upaya gencatan senjata dengan Hamas. Qatar, yang memimpin mediasi, sesungguhnya telah memulai misi mediasinya untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata sejak awal pekan berkobarnya perang Hamas-Israel.
Pada pekan awal November 2023 disinyalir hampir tercapai kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas dengan mediasi Qatar, tetapi pada saat-saat terakhir Netanyahu membatalkan rancangan kesepakatan gencatan senjata itu.
Namun, Israel saat itu masih penuh dihinggapi rasa dendam terhadap Hamas dan menolak mentah-mentah upaya Qatar tersebut. Pada pekan awal November 2023, disinyalir hampir tercapai kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas dengan mediasi Qatar, tetapi pada saat-saat terakhir Netanyahu membatalkan rancangan kesepakatan gencatan senjata itu.
Barangkali Netanyahu masih berharap serangan darat Israel yang baru dimulai saat itu bisa membebaskan para sandera di Jalur Gaza. Namun, hampir satu bulan serangan darat Israel ke Jalur Gaza, ternyata pasukan Israel masih gagal menemukan tempat disembunyikannya para sandera itu.
Padahal, sudah sekitar 10.000 anggota pasukan Israel yang kini berada di Jalur Gaza, tetapi masih gagal sampai ke tempat penyekapan para sandera. Ini yang membuat Netanyahu menyerah dan menerima kenyataan bahwa pasukan Israel yang masuk ke Jalur Gaza dalam jumlah besar gagal membebaskan para sandera.
Ini menjadi tekanan yang memaksa Netanyahu menyetujui kesepakatan gencatan senjata dengan Hamas. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya lagi adalah hampir semua sasaran di Jalur Gaza sudah digempur dan dikuasai oleh Israel. Bahkan, semua rumah sakit, termasuk terakhir Rumah Sakit Indonesia, sudah digempur dan dikepung pasukan Israel.
Tidak ada sasaran lagi di Jalur Gaza yang bisa digempur oleh Israel, kecuali rumah-rumah penduduk. Infrastruktur di Jalur Gaza sudah hancur lebur. Sudah cukup, bahkan sudah sangat berlebihan gempuran Israel atas Jalur Gaza.
Opini dunia pun berubah mengarah dan menyebut Israel melakukan genosida, bukan perang di Jalur Gaza. Unjuk rasa pun menjalar di seluruh penjuru dunia untuk menyerukan penghentian genosida di Jalur Gaza. Isu Jalur Gaza pun berubah bukan lagi isu perang semata, tetapi lebih berkumandang sebagai isu kemanusiaan.
AS, yang semula mendukung secara kuat serangan balasan militer Israel atas Jalur Gaza, akhirnya lambat laun mendukung tercapainya gencatan senjata sementara atau jeda pertempuran di Jalur Gaza. Bahkan, AS ikut andil dalam misi mediasi bersama Qatar dan Mesir hingga akhirnya tercapai kesepakatan tersebut.
Perubahan opini dunia dalam dua atau tiga pekan terakhir ini, yang mengarah secara kuat mendukung tercapainya kesepakatan gencatan senjata, menjadi tekanan terhadap pemerintah Israel untuk menyetujui kesepakatan gencatan senjata.
Ditambah pula, gerakan rakyat Israel yang mendukung tercapainya kesepakatan gencatan senjata semakin kuat terakhir ini. Bahkan, keluarga para sandera yang ditahan Hamas dan para pendukungnya hampir tiap hari menggelar unjuk rasa di depan rumah pribadi Netanyahu dan kantor pemerintah Israel untuk mendesak pembebasan sandera di Jalur Gaza. Ini tentu menambah lagi tekanan terhadap Netanyahu untuk menyetujui kesepakatan gencatan senjata.
Akhirnya, faktor-faktor akumulatif tersebut yang memaksa mengubah sikap Israel dan menerima kesepakatan gencatan senjata meskipun sementara.
Tantangan selanjutnya, bagaimana gencatan senjata sementara itu menjadi gencatan senjata permanen. Raja Jordania Abdullah II pada Rabu (22/11/2023) mendadak terbang ke Kairo untuk menemui Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi. Seperti diberitakan, Raja Abdullah II melakukan koordinasi dengan Presiden Sisi untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata permanen antara Israel dan Hamas.
Tentu upaya Mesir-Jordania perlu disempurnakan dengan melakukan koordinasi dengan Qatar, Arab Saudi, dan Turki plus kekuatan internasional, seperti AS, China, Inggris, dan Perancis, untuk bersama-sama menekan Israel agar menerima gencatan senjata permanen.