Tudingan genosida dan pembersihan etnik oleh Israel pada warga Gaza menggema di berbagai belahan dunia.
Oleh
MUHAMMAD SAMSUL HADI
·4 menit baca
Pada Senin (20/11/2023), tepat 45 hari atau sekitar 1,5 bulan perang Hamas-Israel berkobar di Jalur Gaza. Jumlah korban jiwa dan malapetaka yang ditimbulkannya tak terkira masifnya. Di pihak Palestina, menurut otoritas kesehatan di Gaza, korban tewas sudah mencapai 12.300 orang, lebih dari 5.000 orang adalah anak-anak.
Di pihak Israel, menurut pejabatnya, sekitar 1.200 orang tewas dan sekitar 240 orang disandera dalam serangan Hamas, 7 Oktober 2023. Militernya kehilangan 58 personel per Sabtu (18/11/2023) sejak melancarkan serangan darat ke Gaza.
Dari enam pekan terakhir, pertempuran telah mengakibatkan sekitar 1,6 juta—lebih dari separuh penduduk Gaza—menjadi pengungsi. Mereka dipaksa meninggalkan rumah (forced displacement) di wilayah utara Gaza ke selatan lewat ultimatum yang ditebar militer Israel.
Foto-foto warga Gaza utara berjalan kaki massal, beberapa keluarga naik gerobak ditarik keledai atau mobil tua penuh muatan, dan ada yang bersepeda, mengingatkan peristiwa Nakba, 75 tahun silam.
Peristiwa itu merujuk pada tragedi terusirnya warga Palestina secara massal dari tempat tinggal mereka, bersamaan dengan berdirinya negara Israel tahun 1948. Kala itu, sekitar 700.000 warga Palestina—separuh dari populasi Arab di wilayah Palestina di bawah mandat Inggris—terusir.
Belum reda derita di pengungsian wilayah selatan, Sabtu (18/11/2023), mereka kembali dihujani selebaran militer Israel, yang mengultimatum warga Palestina di Gaza selatan agar merelokasi diri—tanpa disebutkan ”ke mana”—karena Israel akan memperluas area pertempuran dengan Hamas ke wilayah selatan. Ditambah dengan blokade total dari masuknya makanan, listrik, perlengkapan medis, hingga bahan bakar, banyak kalangan tanpa ragu menyebut Israel sedang melakukan genosida dan pembersihan etnik (ethnic cleansing).
Meski tak muncul secara eksplisit dalam resolusi KTT Organisasi Kerja Sama Islam (OKI)-Liga Arab di Riyadh, Arab Saudi, 11 Oktober 2023, dua istilah pelanggaran berat itu berulang kali disebut di tengah serangan brutal Israel ke Gaza. Tak hanya di dunia Arab, tuduhan genosida dan pembersihan etnik oleh Israel juga menggema di dunia Barat.
Beberapa politisi Partai Demokrat di AS, seperti Cori Bush di Missouri dan Ilhan Omar di Minnesota, menyebut Israel melakukan pembersihan etnik. ”Penghapusan kehidupan dan pengalaman orang Palestina ini sudah berlangsung beberapa dekade,” kata Jamaal Bowman, politisi Demokrat lainnya di New York (Associated Press, 5/11/2023).
”Dengan kekejaman pengeboman terhadap warga sipil yang dipaksa meninggalkan rumah, saat mereka berpindah tempat, (Israel) secara harfiah sedang melakukan terorisme negara,” kata Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan di parlemen negaranya, Ankara, 15 November 2023. ”Kini, saya bisa katakan, dengan mantap, bahwa Israel adalah negara teror” (Reuters, 15 November 2023).
Militer Israel selalu berdalih, pengeboman rumah sakit, sekolah, permukiman, dan fasilitas publik lain di Gaza dilakukan karena lokasi-lokasi itu di bawahnya terdapat terowongan persembunyian dan markas Hamas. Namun, hingga setelah menduduki Rumah Sakit Al-Shifa, tak satu pun bukti mendukung dalih itu. Video yang dirilis Israel untuk membuktikannya justru ”ditelanjangi” media-media Barat.
Soal pembersihan etnik bangsa Palestina oleh Israel, sejarawan Israel, Ilan Pappe, sudah lama membongkarnya. Dalam bukunya, The Ethnic Cleansing of Palestine (2006), ia mengungkap, pembersihan etnis Palestina menjadi bagian tak terpisahkan dari rancang bangun berdirinya negara Israel. Dengan nama sandi ”Rencana D (singkatan dari dalet, bahasa Ibrani), rencana pembersihan etnis Palestina dimatangkan oleh 11 pemimpin Zionis di ”Rumah Merah” di Tel Aviv, pada suatu sore, 10 Maret 1948.
Dalam pertemuan itu, tulis Pappe, metode pembersihan etnis bangsa Palestina disusun detail sebagai panduan bagi unit-unit militer di lapangan: intimidasi berskala besar, pengepungan dan pengeboman, pembakaran rumah dan properti, pengusiran, penghancuran, serta pemasangan ranjau untuk mencegah warga yang telah terusir agar tak kembali.
Tulisan tersebut, meski merujuk pada peristiwa 75 tahun silam—negara Israel diproklamasikan pada 14 Mei 1948—terasa masih relevan saat melihat apa yang terjadi di Gaza hari ini. ”Ideologi yang menyebabkan depopulasi separuh bangsa asli Palestina pada 1948 masih ada dan terus menggerakkan tindak pembersihan, tanpa kenal ampun dan kadang-kadang tak terlihat jelas, terhadap warga Palestina yang hidup di sana hari ini,” tulis Pappe di buku tersebut.
Cara-cara dan metode itu kerap berulang dalam konflik Arab-Israel sepanjang 75 tahun. Sarah E Parkinson, Asisten Profesor Ilmu Politik dan Studi Internasional Universitas Johns Hopkins, AS, misalnya, menemukan pengulangan taktik militer Israel dalam invasi ke Lebanon tahun 1982 dalam invasinya ke Gaza saat ini (Foreign Affairs, ”The Ghosts of Lebanon”, 14 November 2023).
Tak hanya para pemimpin Israel memilih respons maksimal dengan invasi, yang diawali oleh serangan mengejutkan dari pihak Palestina, sebagian besar pertempuran juga berkecamuk di area atau permukiman padat penduduk. Sama seperti di Lebanon pada 1982, Angkatan Bersenjata Israel (IDF) saat ini di Gaza juga mengerahkan kekuatan dan serangan secara membabi buta.
Jika invasi ke Lebanon ditargetkan untuk menghancurkan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), kali ini targetnya membasmi kelompok Hamas. Dari studinya, berkaca dari invasi Israel ke Lebanon itu, Parkinson memperkirakan Israel tidak akan mampu menghancurkan Hamas, seperti halnya dulu Israel tidak bisa membasmi PLO.
IDF mungkin bisa melemahkan Hamas, tetapi kelompok ini akan berkonsolidasi diri lagi atau organisasi-organisasi perlawanan lain lahir, seperti lahirnya Hezbollah di Lebanon pada 1982. Jika itu yang terjadi, siklus kekerasan pun akan terus berulang. Tak ada solusi militer dalam penyelesaian konflik Palestina-Israel.