Keberlanjutan Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat dibayangi dengan ancaman defisit anggaran pengelolaan program tersebut.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Dana pengelolaan program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat atau JKN-KIS berisiko mengalami defisit. Hal ini seiring dengan makin banyaknya peserta yang memanfaatkan layanan dan perluasan manfaat dalam program itu padahal besaran iuran peserta tidak naik.
Potensi defisit dalam program JKN-KIS bisa diproyeksikan dari hitungan tren iuran per kapita dan manfaat per kapita yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Biaya manfaat per kapita yang dibayarkan BPJS Kesehatan terus meningkat sejak tahun 2020, sedangkan jumlah iuran per kapita stagnan.
Pada 2021 beban manfaat yang dibayarkan BPJS Kesehatan bagi fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL) Rp 90,3 triliun. Jumlah ini naik menjadi Rp 113,4 triliun tahun 2022. Tahun ini kenaikan diproyeksikan Rp 30 triliun atau menjadi Rp 147 triliun (Kompas, 3 November 2023).
Kenaikan beban manfaat itu terjadi karena makin banyak peserta memanfaatkan layanan dalam program itu. Hal ini tentu merupakan kabar gembira karena berarti akses peserta di berbagai daerah terhadap layanan JKN-KIS meningkat.
Di sisi lain, hal ini menunjukkan lemahnya upaya promotif dan preventif yang mengakibatkan tingginya angka kasus berbagai penyakit, terutama penyakit katastropik atau membutuhkan biaya pengobatan mahal. Kondisi ini pada akhirnya mengakibatkan biaya kesehatan membengkak.
Sebagai contoh, data BPJS Kesehatan tahun 2022 menyebutkan penyakit jantung merupakan penyakit dengan jumlah kasus terbanyak dan biaya tertinggi untuk penyakit katastropik. Jumlah total kasus penyakit jantung yang ditanggung dalam program JKN-KIS pada tahun 2022 sebanyak 15,4 juta kasus dengan biaya mencapai Rp 12,1 triliun. Pada urutan kedua ialah penyakit kanker sebanyak 3,1 juta kasus dengan biaya Rp 4,5 triliun.
Persoalannya, jumlah iuran peserta yang terkumpul stagnan. Apalagi, ada kenaikan tarif INA CBGs (Indonesian-Case Based Groups) atau tarif yang dibayarkan BPJS Kesehatan pada rumah sakit berdasarkan jenis penyakit. Kapitasi atau pembayaran ke FKTP berdasarkan jumlah peserta pun naik.
Perluasan manfaat
Selain itu, beban biaya manfaat program ini meningkat lantaran ada perluasan manfaat dalam layanan JKN-KIS. Contohnya, sejumlah upaya preventif ditanggung BPJS Kesehatan agar deteksi penyakit bisa lebih awal.
Untuk menjaga keberlanjutan program tersebut, beberapa mekanisme perlu dipertimbangkan demi menekan besaran defisit dana JKN-KIS. Salah satunya dengan menaikkan tarif iuran JKN-KIS tiap dua tahun sekali sesuai Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Dengan fokus pada hulu atau upaya kesehatan berbasis komunitas, keberlanjutan program diharapkan bisa terjaga.
Opsi lain, menerapkan mekanisme urun biaya pengobatan peserta dalam tarif layanan JKN-KIS seperti dilakukan di sejumlah negara. Dengan mekanisme urun biaya, peserta diharapkan pergi ke fasilitas kesehatan jika diperlukan.
Namun, opsi menaikkan tarif iuran ataupun urun biaya bisa menuai penolakan publik karena memberatkan peserta dan pihak yang membayar iuran. Kebijakan ini juga berpotensi meningkatkan tunggakan pembayaran iuran dan menghambat tercapainya cakupan kesehatan semesta.
Salah satu cara jitu untuk menekan beban manfaat layanan JKN-KIS ialah menggalakkan upaya promotif dan pencegahan penyakit agar peserta tetap sehat dan tak perlu berobat ke fasilitas kesehatan. Dengan fokus pada hulu atau upaya kesehatan berbasis komunitas, keberlanjutan program diharapkan bisa terjaga.