Ponselmu Harimaumu
Tiap hari ada unggahan foto atau video oleh orang tak dikenal di media sosial. Unggahan kerap tak berdasar dan berpotensi dijerat hukum.
Suatu sore, kereta komuter Tanah Abang-Rangkasbitung penuh sesak. Tanpa sengaja berdiri dekat lelaki yang merekam penumpang lain dengan telepon selulernya. Subyek sasaran duduk tertidur dengan mulut terbuka, kepalanya bersandar ke jendela kaca.
Saat kereta mulai mengerem memasuki salah satu stasiun, laki-laki yang tertidur itu terbangun. Pria perekam memasukkan ponsel ke dalam tas. Ketika kereta berhenti dan pintu terbuka, pria perekam turun. Tidak ada tegur sapa dengan laki-laki yang tadi direkamnya. Ternyata mereka tidak saling kenal.
Langsung saja terpikir, jangan-jangan rekaman pria tidur itu bakal segera ditemukan di salah satu unggahan akun tak dikenal di media sosial.
Baca juga: Kutu Busuk, ”Bangsat” Kecil yang Sedang Betah-betahnya di Kota
Foto atau video menampilkan seseorang yang dibuat orang tak dikenal di tempat publik sering terjadi. Tak jarang gambar-gambar itu diunggah di media sosial dengan keterangan sesuai asumsi si pengunggah. Asumsi yang berulangkali keliru dan merugikan subyek yang diambil gambarnya.
Salah satu unggahan yang ramai dibicarakan, yaitu video perempuan marah-marah karena ketahuan dirinya direkam penumpang lain. Video diambil pihak lain yang hanya berisi suara dan tidak menunjukkan wajah perempuan yang marah maupun perempuan lain yang dimarahi. Perempuan yang naik pitam menuduh perempuan yang dimarahi merekam dirinya.
Kala rekaman suara itu viral, perempuan yang sebelumnya marah-marah mengirim pesan kepada pengunggah. Ia mengabarkan mengalami keguguran tak lama setelah insiden di dalam kereta. Kuat dugaan, peristiwa di kereta menambah tekanan pada dirinya dan turut berkontribusi atas kehilangan janin yang dialaminya.
Baca juga: Uang Judi Gagal Membangun Kota, ”Bang Oma” Sudah Ingatkan
Alasan perempuan perekam tidak tergali dengan jelas. Namun, ada dugaan perekam terusik dengan pakaian yang dikenakan korban.
Gambar lain dari akun berbeda memperlihatkan dua orang dewasa dan satu anak kecil. Tampak si anak mengenakan tas keresek plastik di kepalanya. Pengunggah menambahkan keterangan betapa ia bersyukur memiliki mobil.
Ada yang mengenali wajah ketiga orang itu dan tidak terima temannya didiskreditkan. Begitu ada protes, unggahan langsung dihapus.
Selanjutnya muncul keterangan bahwa keluarga yang direkam punya segalanya dan kebetulan saat itu sedang bersepeda motor di dekat rumah mereka. Mereka membeli sesuatu di minimarket ketika hujan datang. Si ibu menutupi kepala anaknya dengan tas keresek semata respons cepat saat itu.
Kebiasaan
Rekaman sepenggal kecil hidup orang tak dikenal kini sudah biasa tersebar dan menjadi konsumsi publik. Gambar bisa diambil dari rekaman kamera pemantau (CCTV), dashcam di mobil, serta yang sengaja ditempel di helm para pesepeda motor dan pesepeda. Sumber lain tentunya ponsel di genggaman jutaan orang yang tiap hari lalu lalang ke berbagai sudut kota dan antardaerah.
Baca juga: Pesan Manis dari Tabebuya Kemang
Sering kali warganet terhibur dengan video tingkah lucu seseorang. Seseorang itu mungkin tak sadar aksinya tersebar menembus batas negara dan menjadi komoditas yang berpotensi mengucurkan rupiah bagi pengunggah. Yang publik tak pernah mau tahu, bisa jadi obyek yang direkam malu dan marah menjadi bahan lelucon.
Banyak sepenggal adegan hidup seseorang atau beberapa orang terpatri di foto atau dalam video diartikan berbeda oleh orang lain. Tak jarang diikuti reaksi bertubi, termasuk hujatan. Hidup seseorang bisa berubah hanya karena satu unggahan tanpa kejelasan konteks disertai asumsi tak berdasar.
Di sisi lain, video kejahatan hingga perundungan membantu pihak berwajib menangkap pelaku. Bahkan, sudah jamak aksi sengaja mengunggah agar viral dan barulah tangan hukum tergerak bertindak.
Baca juga: Demam Haiking dan Keriuhan Orang Kota di Kampung Baduy
Namun, video kekerasan yang diekspos berlebihan di media sosial juga dapat berdampak negatif, termasuk makin mengikis empati dan simpati hingga menginspirasi orang lain berbuat hal serupa.
Walakin, di sela banjir unggahan tak bertanggung jawab, selalu ada akun-akun yang berani bersuara berbeda.
Mereka mengingatkan pentingnya menghormati privasi orang lain dan tidak sepantasnya orang asing mengunggah gambar pihak lain tanpa izin. Apalagi jika untuk hal negatif atau berujung buruk, khususnya bagi pihak yang direkam.
Reaksi pengunjung mulai mencium Marina sampai berbuat kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Laporan Tate dan Art in Context, pengunjung terbelah menjadi penyerang dan pelindung Marina.
Seni performa Marina
Gejala asal rekam di ruang publik dan unggah diikuti respons terbelah warganet mengingatkan pada seni performa berjudul ”Rhythm 0” oleh Marina Abramovic tahun 1974 di Studio Morra, Napoli, Italia.
Seniman perempuan asal Yugoslavia itu menyediakan 72 item barang, di antaranya ada pisau lipat dan senjata api. Ia membiarkan pengunjung berbuat apa saja padanya selama enam jam dengan berbagai barang itu.
Reaksi pengunjung mulai mencium Marina sampai berbuat kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Laporan Tate dan Art in Context, pengunjung terbelah menjadi penyerang dan pelindung Marina.
Seni performa itu menggali kemanusiaan manusia. Ada yang dapat mengelola kesadaran dan berpijak pada kewelasasihan untuk melindungi sesama. Ada yang dikuasai ketidaksadaran sehingga hanya yang melihat peluang untuk mengeksplorasi situasi demi kesenangan dan kepuasannya sendiri.
Saat ini, ponsel di genggaman tak beda dengan seni performa Marina. Pemegang ponsel bisa menjadi begitu berkuasa mengambil gambar dan merekam orang lain, berasumsi buruk atau tak beradab, menyiksa orang lain dengan mempermalukannya di dunia maya. Ia bersembunyi di balik nama akun yang tidak mengekspos identitas dirinya.
Baca juga: Transportasi Publik hingga ”Tenant” Favorit Sulap Mal Sepi Jadi Ramai
Memang ada pengunggah berita, foto, dan video hoaks diproses hukum. Atau, kala pihak yang dirugikan melapor ke polisi, baru aparat bertindak. Namun, tiap hari selalu saja muncul unggahan serupa.
Pemilik akun merasa aksinya hal remeh tak melanggar hukum karena berkali-kali kejadian asal unggah gambar yang merugikan orang lain tak berujung sanksi berat. Apalagi bagi sebagian orang yang bisa melenggang pergi setelah menghapus unggahan, menyatakan menyesal, dan meminta maaf.
Namun, unggahan lama bisa terungkit lagi dan kembali menjadi bahan gunjingan, lelucon, dan hujatan. Karena sejatinya yang terunggah di jagat maya tak akan bisa benar-benar dihapus.
Penegakan hukum
Di ruang publik nyata dan maya, setiap orang memiliki kebebasan tetapi itu bukan berarti tak terbatas. Kebebasan tiap individu menjadi pembatas kebebasan individu lain.
Sekadar mengambil gambar di ruang publik sebenarnya bukan pelanggaran hukum. Namun, bagi mereka yang miskin empati dan simpati saat bermain dengan ponselnya, ingat saja ada Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 45 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ada ancaman penjara maksimal 4 tahun dan atau denda hingga Rp 750.000.000 bagi pembuat dan pengunggah gambar tak bertanggung jawab di internet.
Baca juga: Butuh Satu Kota untuk Membesarkan Anak
Sebelumnya, ada Pasal 310 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang pencemaran nama baik. Pelaku yang terbukti bersalah bisa diganjar 9 bulan penjara.
Menjadikan ponsel sebagai alat berteknologi tinggi yang memudahkan dan menghibur atau menjadikannya sarana yang mengungkap kemiskinan simpati dan empati kita sebagai manusia?
Pilihan ada di tangan kita. Ingat selalu, ponselmu harimaumu.
Baca juga: Catatan Urban