Masyarakat adat dan komunitas lokal yang menjadi perawat kehidupan dengan melaksanakan praktik-praktik baik pelestarian lingkungan hidup justru kian mengalami peminggiran hak dan kriminalisasi yang melibatkan kekerasan.
Oleh
SARAS DEWI
·3 menit baca
Musim politik telah bergulir, sehingga setiap hari masyarakat dipenuhi gema kosakata kompetisi politik elite. Janji politik akan diluncurkan untuk merebut suara-suara warga, segala persuasi yang memancing perhatian dan emosi masyarakat akan diupayakan.
Akan tetapi, di antara dramaturgi politik yang sedang terkembang, segala lakon teatrikal yang berdebat dan berkontestasi, di manakah isu lingkungan hidup memiliki tempat? Sudahkah persoalan ekologis dibicarakan dan diangkat secara serius oleh para politisi? Adakah kesungguhan untuk membicarakan soal perubahan iklim dalam dialog-dialog politik kita saat ini?
Kemelut lingkungan hidup kita, khususnya terhubung dengan perubahan iklim, adalah kenyataan yang semakin gamblang kita alami. Cuaca yang ekstrem, kekeringan yang panjang mengancam ketersediaan pangan, hingga kemerosotan biodiversitas.
Laporan Panel Antarpemerintah terkait Perubahan Iklim (IPCC) mengatakan bahwa diperkirakan lebih dari 20 juta manusia menjadi pengungsi bencana iklim yang terjadi semenjak 2008. Lebih lanjut lagi, laporan IPCC mengungkap bahwa akan semakin bertambah wilayah-wilayah dunia yang menjadi tidak ramah dihuni dan rentan kebencanaan.
Ini akan mendorong bertambahnya jumlah orang-orang yang tergusur dari tempat tinggalnya. Migrasi iklim yang mulai terjadi seperti di wilayah pesisir Pantai Utara disebabkan banjir rob dan juga abrasi yang terjadi di Dusun Simonet, Kabupaten Pekalongan, yang menyebabkan warga harus meninggalkan desanya yang mulai tenggelam (Muhammad Soufi Cahya Gemilang, 2023).
Perubahan iklim sudah sewajarnya mendorong percakapan politik yang berbeda, yang tidak lagi berpuas hati dengan urusan kontestasi partai semata, maupun kemenangan golongan. Politik pada masa krisis lingkungan hidup adalah kesempatan untuk menawarkan dan mengargumentasikan ide-ide baru yang menyangkut keadilan sosial ekologis.
Begitupun narasi pembangunan yang digadang-gadang para kandidat, semestinya bukan bisnis seperti sediakala, sebab perubahan iklim membutuhkan gagasan yang dapat meretas sistem ekonomi usang yang sering kali abai terhadap keberlanjutan alam.
Saya memperhatikan mencuatnya kasus-kasus sengketa warga lokal dengan proyek investasi pembangunan yang hendaknya perlu dimaknai dalam kerangka besar perubahan iklim. Masyarakat adat dan komunitas lokal yang menjadi perawat kehidupan dengan melaksanakan praktik-praktik baik pelestarian lingkungan hidup, justru kian mengalami peminggiran hak dan kriminalisasi yang melibatkan kekerasan.
Ini adalah tragedi yang amat menyedihkan, pada momen-momen krusial kita membutuhkan inspirasi cara hidup yang peka terhadap lingkungan, orang-orang yang terlebih dahulu bertindak sesuai dengan ajaran kearifan lokal, justru menghadapi berbagai rintangan dan ancaman.
Kita dapat mempelajari melalui contoh-contoh seperti yang terjadi terhadap warga Wadas dan Kendeng di Jawa Tengah, Desa Adat Bugbug di Karangasem, di Pulau Rempang, Batam, begitu pula konflik lahan di Papua, di Nusa Tenggara Timur, di Maluku Utara, dan daerah-daerah lainnya. Ini menunjukkan maldevelopment atau pembangunan yang salah, yang tidak sejalan dengan prinsip keselarasan dan kesinambungan sosial ekologis.
Melalui penelitian yang dilakukan oleh Dedi Arman yang berjudul ”Orang Darat di Pulau Rempang, Tersisih Dampak Pembangunan Kota Batam”, kita dapat mencermati ketidakadilan yang terjadi pada masyarakat lokal yang keberadaannya sangat rapuh. Dedi Arman menguraikan bahwa selain orang Melayu, beragam etnik lainnya sudah menghuni Pulau Batam dan sekitarnya. Sementara itu, suku asli setempat disebut sebagai Orang Laut dan Orang Darat.
Ia menjelaskan Orang Darat yang hidup di Pulau Rempang telah bermukim di tempat tersebut semenjak ratusan tahun yang lalu, mereka hidup dari bercocok tanam berkelindan dengan hutan di sekitarnya.
Terancamnya Orang Darat telah terjadi semenjak 1970-1980-an. Pada masa itu mereka terdesak dengan kebijakan industrialisasi di Batam. Orang Darat yang hidupnya sangat tergantung dari hutan dan keragaman hayati di dalamnya menjadi semakin terpinggirkan. Selepas tahun 1998, pembangunan semakin menghabiskan wilayah hutan belantara. Ini disebabkan ketidaktegasan hukum terkait kawasan hutan konservasi.
Dedi Arman menyatakan ekstraksi sumber daya alam, tergerusnya budaya lokal dan konflik lahan yang terjadi semakin membuat Orang Darat tersisih.
Menajamnya konflik agraria yang terkait erat dengan degradasi dan eksploitasi lingkungan hidup serasa merundung kita dengan kebuntuan keadaan. Saya teringat ucapan seorang filsuf post-strukturalis bernama Felix Guattari yang membahas pentingnya ekologi tiga lipatan yang terdiri atas ekologi pikiran, ekologi sosial, dan ekologi lingkungan hidup.
Ia mengatakan, kita mungkin menjadi apatis pada politik, sebab kondisi politik yang umumnya beredar seperti membius—ibarat anestesi, membuat kita kebas dan kaku tidak berdaya membuat perubahan. Namun, ia tergugah melihat bagaimana tanaman akar rimpang yang terus merambat-rambat bertahan hidup, seperti itu pula seharusnya kiat-kiat mengupayakan resistensi.
Politik tiga ekologi juga, menurut saya, seperti bunga dan tanaman liar yang terus bertumbuh. Sering saya termenung menatap bunga randa tapak, atau yang juga dikenal sebagai dandelion, mereka tumbuh di sisi jalanan yang keras penuh dengan beton. Meski dalam situasi tersulit, bunga liar tersebut dapat terus tumbuh di antara celah-celah bangunan.
Politik semasa krisis sosial ekologis mengharuskan kita untuk terus adaptif menerobos sekat-sekat yang ada agar terus bertumbuh. Seperti yang pernah dituangkan dalam puisi oleh penyair Wiji Thukul yang berjudul ”Rumput Ilalang”: