Wastra
Wastra memuat lapisan demi lapisan pengetahuan yang perlu untuk terus dipelajari dan dimaknai secara kritis.
Semenjak keberadaan masyarakat kuno Nusantara, kain bermakna melebihi fungsi pelindung tubuh semata. Kain bagi para leluhur adalah penanda kehadiran mereka di dunia ini. Kain membalut tubuh dalam keseharian, saat berladang, melaut, bersembahyang, bermain, berpesta, hingga berduka.
Kain membungkus raga menyambut kelahiran baru, hingga ujung hayat disemayamkan bersama bumi. Kain diwarisi dari satu generasi ke generasi yang baru, tersimpan di dalam lipatannya, doa, harapan dan segenap pengetahuan tentang bernilainya silsilah kehidupan itu. Kain mengendapkan pengetahuan tentang masa lalu, sekaligus pesan keterhubungan hingga di masa yang akan datang.
Jika menilik dari akar katanya, Vastra dalam bahasa Sanskerta berarti bahan kain, pakaian atau garmen. Kata Vastra muncul di berbagai teks Purana hingga Rg Veda yang menggambarkan penggunaan kain dalam berbagai ritual maupun puja.
Sementara itu, wastra dalam pengertian yang berkembang saat ini di masyarakat kita, dimaknai sebagai beragam kain tradisional yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Beberapa macam wastra seperti kain batik, tenun, songket dapat dijumpai di setiap daerah dengan keunikan warna, motif, ataupun teknik pembuatannya.
Selama perjalanan penelitian yang saya lakukan, saya telah menyaksikan keterampilan tangan perempuan mengolah kain-kain tersebut. Di Baduy, sang seniman dengan cakap menggerakkan alat tenun sambil melontarkan senyum bagi orang-orang yang terkesima dengan keindahan tenun Baduy. Di Karangasem, saya memperhatikan para perempuan yang mengerjakan kain tenun sembari berbicara satu dengan yang lainnya. Mereka bercerita dengan riang, sementara tangan mereka terus bergerak seperti tubuhnya telah melekat dengan alat tenun kayu itu.
Baca juga: Bahasa dan Kecerdasan Artifisial
Menenun membutuhkan kesabaran dan kesungguhan, itu simpulan saya saat mempelajari tentang kain tenun dari Lombok, Nusa Tenggara Barat. Kain itu terbuat dari benang kapas, berwarna dasar hitam kemudian dihias dengan pola geometris yang berisikan mahkota bunga berwarna-warni hijau, kuning dan putih.
Kain songket Subahnala bermakna amat mendalam bagi orang-orang Sasak. Mereka meyakini kain itu telah dirapalkan doa-doa oleh penenunnya sehingga setelah rampung setiap insan akan memuji kebesaran Tuhan atas limpahan keindahan melalui karya tersebut.
Suwati Kartiwa, seorang antropolog yang menekuni sejarah wastra Indonesia, mengatakan bahwa pekerjaan menenun membutuhkan ketelitian dan ketekunan. Bahkan di masa lampau para pembuatnya menjalani puasa serta menghindari bermacam pantangan. Mereka memberikan sesaji kepada roh para leluhur ataupun dewata agar pekerjaannya diberkahi dengan keberhasilan.
Dalam sebagian tradisi seperti di Desa Adat Tenganan, Bali, proses pembuatan kain adalah anugerah yang diberikan dewata kepada mereka. Sehingga rangkaian tahapan yang meliputi pemintalan benang, merancang motif ikat hingga perendaman warna adalah pengetahuan yang diberikan oleh dewata dan menjadi cara mereka terhubung dengan kekuatan jagat ini.
Tiada pernah surut kekaguman saya setiap memandang ragam hias wastra Indonesia. Pola atau unsur-unsur hias yang tertuang pada kain bermakna melampaui tujuan dekoratif maupun demi keindahan semata. Keanekaragaman bentuk itu melambangkan nilai-nilai yang dianut, begitu pula penghayatan kosmologis mereka.
Suwati Kartiwa mengatakan bahwa bentuk segitiga tumpal mewakili pemujaan masyarakat kepada Dewi Sri atau Dewi Padi. Sementara itu Pohon Hayat adalah kepercayaan pada kesatuan Tuhan yang meliputi seluruh alam raya ini. Berbagai macam bentuk lainnya, flora dan fauna, maupun bentuk manusia yang dihias dengan spiral maupun lekuk geometris, adalah imajinasi brilian yang menggambarkan denyut kehidupan yang saling terhubung satu dengan yang lainnya.
Saya memperhatikan motif tenun ikat Sumba dari Nusa Tenggara Timur yang semarak dengan bentuk rusa, singa, burung, ikan, khususnya yang unik di Sumba adalah pohon tengkorak. Bentuk-bentuk istimewa ini menguraikan kepercayaan Marapu yang menempatkan harmoni antar lapisan alam sebagai filosofi hidup yang utama.
Dalam kegiatan pengabdian masyarakat ke Tegal, Jawa Tengah, saya berkesempatan berdiskusi dengan para pengrajin batik tentang makna kain batik bagi mereka. Para perempuan muda itu belajar membatik dan mencintai pola-pola batik itu sebagai wujud rasa sayang mereka kepada warisan nenek moyang. Seolah-olah mereka menjalani hidup di antara dua dunia, yakni masa lalu dengan yang terkini.
Batik bagi mereka adalah ekspresi tradisional yang penting untuk dilestarikan. Oleh karena itu mereka melukis dengan canting pola-pola klasik sebagai upaya pelestarian tradisi masa lampau. Akan tetapi, mereka juga perempuan muda yang penuh dengan ide-ide baru, mereka ingin berinovasi dan melakukan interpretasi anyar ketika membatik.
Sambil menyentuh dan melihat batik berwarna coklat dan hijau, bermotif taburan bunga mengelilingi bentuk laba-laba dengan pintalan jaring begitu besar, khayal saya membayangkan wasiat yang tersimpan dalam kain batik klasik itu. Jaring laba-laba menggambarkan kegigihan dan ketegaran menghadapi waktu yang terus bergulir.
Baca juga: Museum dan Kuasa
Menenun dan merajut sering kali muncul digunakan oleh para filsuf ketika mengajukan pandangan yang berbeda menyangkut sistem pengetahuan. Sebut saja pemikir posstrukturalis Perancis, Michel Foucault, yang menggunakan kata menjalin untuk mendiskursuskan cara bekerja dunia. Ia mengkritik cara klasifikasi yang rigid, yang berkecukupan dengan distingsi yang dihasilkan dari karakteristik di permukaan saja. Padahal, kehidupan itu sangat kompleks, dan terkadang tidak cukup diuraikan melalui kata-kata. Wastra dalam hal ini memuat lapisan demi lapisan pengetahuan yang perlu untuk terus dipelajari dan dimaknai secara kritis.
Saya mengikuti karya seorang seniman kriya tekstil bernama Lusiana Limono, ia sangat dipengaruhi gagasan ekofeminisme yang lekat dengan medium kain sebagai cara perempuan bertutur tentang kisahnya. Ia mengkaji pula bagaimana perempuan berbicara melalui kain, tidak saja tentang masa lalu, tetapi tentang keresahan dan perlawanannya terhadap kerusakan lingkungan yang tengah terjadi.
Kami sangat terinspirasi perjuangan para perempuan adat Mollo di NTT, yang melakukan pembangkangan sipil mempertahankan lingkungan hidupnya dari ancaman tambang dengan cara menenun. Kain dalam pengertian yang kritis, bukanlah obyek komoditas saja, atau obyek yang kaku statis dalam waktu. Dalam karya rajut yang berjudul Anyelir dan Seruni dari Lusiana Limono, saya mengerti untaian benang kesadaran yang menghubungkan pengetahuan, kegelisahan tetapi juga harapan perempuan melalui wastra.
Saras Dewi
Pengajar Filsafat di Universitas Indonesia