Museum dan Kuasa
Pengetahuan semacam apa yang ingin dicapai bagi orang-orang yang mengunjungi museum sebagai tempat edukasi jika obyek-obyek yang dipelajari dihasilkan dari tindakan penjarahan?
Bahasa dan kecerdasan artifisial
Tangga menuju patung raksasa Nike dari Samothrace menjulur megah. Patung berwarna putih itu berada di puncak tangga, menjulang tinggi mengingatkan para pengagumnya mengenai sejarah penting periode Helenisme dalam budaya Yunani.
Patung dewi kemenangan ini adalah salah satu obyek unggulan di museum Louvre, yang berada di kota Paris, Perancis. Saat pagi hari, cahaya melimpahi patung itu melalui jendela besar, membuat ilusi pahatan tunik yang tertiup angin nampak semakin ringan dan halus. Sayap dewi kemenangan terlihat kokoh, meski terpajang tanpa kepala dan tangannya, sisa tubuhnya anggun layaknya makhluk sublim yang muncul dari angkasa dan mendarat di ujung haluan perahu.
Para pengunjung museum tanpa tersadar akan berdiri berlama-lama memandang patung itu. Terpintas di benak, bayangan patung Nike yang terbuat dari marmer Paros yang diperkirakan dari tahun 190 SM, dibangun di Pulau Samothrace sebagai wujud rasa terima kasih kepada para dewata atas kejayaan maritim.
Saya mempelajari lebih mendalam lagi tentang sejarah ditemukannya pahatan dewi bersayap itu di Samothrace oleh arkeolog Charles Champoiseau, hingga kemudian dipamerkan di Museum Louvre pada 1883. Kesenangan melihat patung itu berubah ketika mengetahui bahwa artefak tersebut dituntut oleh masyarakat Yunani untuk dipulangkan ke tempat asalnya.
Pada 1999 warga Samothrace menulis surat ke pemerintah mereka mendorong repatriasi patung Nike, hingga saat ini mereka terus mengupayakan dikembalikannya patung tersebut. Perasaan saya tidak pernah sama lagi memandang obyek-obyek di dalam museum. Meski, Nike dari Samothrace seolah-olah bertakhta di Louvre dengan segala prestise, jika di tanah asalnya ia adalah bagian penting dari sejarah dan identitas warga setempat. Ia dihidupi sebagai bagian dari memori kolektif masyarakat. Saat ini pengunjung dan warga di Samothrace hanya dapat melihat replika yang ditampilkan di Museum Paleopoli, Yunani.
Salah satu filsuf dan feminis bernama Françoise Vergès mengusulkan sudut pandang dekolonial tentang museum. Vergès mengangkat contoh patung-patung dari Asia Tenggara yang dipamerkan di Museum Guimet, Paris. Ia berargumen, benda-benda itu di daerah asalnya dilibatkan dalam berbagai kegiatan sosial dan kultural masyarakat, patung-patung itu tidak saja dimuliakan di dalam ruang sakral seperti kuil atau candi, tetapi terpatri dalam setiap pikiran, praktik berbahasa dan berbagai aktivitas komunal mereka.
Baca juga: Bahasa dan kecerdasan artifisial
Di museum, benda-benda itu adalah obyek—meski keindahan obyek tersebut tak terbantahkan, tetapi benda-benda itu beku dan terasing dari para penghayatnya. Vergès mengatakan, ”Museum nampaknya berujung pada ‘kematian’ benda-benda itu.” Sulit melakukan dekolonisasi institusi seperti museum, di dalam dunia yang belum sepenuhnya terbebas dari kolonialisme.
Melalui metodologi dekolonial, Vergès mengajak orang-orang memahami isi museum tidak saja melalui deskripsi yang tertera di obyek peraga di ruang pameran, tetapi secara kritis menelisik apa yang senyap atau sengaja disenyapkan? Ia menegaskan, siapa dan bagaimana arsip tersebut disusun, maka kita dapat mengetahui kuasa semacam apa yang tengah bekerja.
Saya mengikuti paparan Vergès yang melingkupi pengalamannya ketika ia berkontribusi untuk mempersiapkan museum di Réunion yang mengangkat tentang sejarah subjugasi dan perbudakan. Ia membongkar cara eurosentris yang terfokus pada obyek semata, museum tentang perbudakan tidak saja soal menunjukkan alat-alat perbudakan, seperti rantai atau cambuk.
Tantangannya adalah bagaimana menggali kehidupan, harapan, kesengsaraan, dan relasi di antaranya. Subyek-subyek inilah yang seharusnya mengisi ruang itu. Proses itu membutuhkan kepekaan, sebab perbudakan telah memusnahkan obyek-obyek. Itu mengapa ia menyebutnya sebagai museum tanpa obyek. Dekolonisasi dalam konteks ini berarti museum yang mendorong pembebasan, pemulihan, dan pemberdayaan yang sudah semestinya dimulai dari suara, cerita, narasi para korban.
Sejarah orang-orang yang terjajah dan diperbudak adalah memori yang terserak dan terpatah-patah. Oleh karena itu, museum, khususnya museum yang mendapatkan koleksinya dari kekuasaan kolonial, tidak pernah menjadi ruang yang steril dari fakta-fakta ini. Contohnya kasus British Museum yang menolak permintaan repatriasi Perunggu Benin yang diajukan oleh Pemerintah Nigeria.
Pihak museum berdalih bahwa obyek-obyek itu bertempat di museum yang didedikasikan untuk pengetahuan dunia. Tetapi, betapa sesat dan tidak etisnya pandangan ini, obyek-obyek itu dirampas dari pemilik aslinya. Pengetahuan semacam apa yang ingin dicapai bagi orang-orang yang mengunjungi museum sebagai tempat edukasi jika obyek-obyek yang dipelajari dihasilkan dari tindakan penjarahan?
Pembacaan baru tentang obyek-obyek museum dan tuntutan dekolonisasi yang terjadi secara luas membuat saya berpikir tentang momen repatriasi benda seni dan beragam artefak yang terjadi pada 10 Juli 2023 lalu di Museum Volkenkunde, Leiden. Pemerintah Belanda mengembalikan ratusan obyek kepada Indonesia, yang meliputi koleksi seni Pita Maha, keris dari Kerajaan Klungkung, harta emas dan perak Lombok, dan arca Kerajaan Singasari.
Saya berdiskusi dengan Dirjen Kebudayaan, Hilmar Farid, ia menekankan benda-benda tersebut adalah potongan gambar sejarah yang sempat hilang lama. Ia berharap pengembalian ini dapat dimaknai oleh masyarakat sebagai pengalaman bersama dalam usaha mengakhiri ketidakadilan historis.
Sementara itu, Bonnie Triyana, yang merupakan sekretaris tim repatriasi, menjelaskan terkait ketidakadilan historis yang menyangkut dipindahkannya properti kultural melalui cara kekerasan, pemaksaan, pencurian, ataupun perampasan. Repatriasi dalam hal ini adalah salah satu langkah untuk memulihkan kerugian budaya karena penjajahan di masa silam.
Selepas pemulangan benda-benda bersejarah ini, adalah bagaimana kita dapat merawat dan mempelajari benda-benda warisan tersebut sehingga dapat menggerakkan pengetahuan baru dan keberlanjutan budaya di masyarakat kita.
SARAS DEWI
Pengajar Filsafat di Universitas Indonesia