Semangat memberantas korupsi hanyalah ”up and down”. Tergantung situasi, tergantung negosiasi dalam ruang gelap. Ketertutupan dalam kamar gelap negosiasi menjadikan rakyat tetap menjadi korban.
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·4 menit baca
Akhir pekan lalu, saya ngobrol dengan Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid, di siniar (podcast) ”Back to BDM”. Saya bertanya kepada Usman Hamid, ”Apa masalah terbesar bangsa ini?” Secara lugas Usman menjawab, ”Korupsi!”
Masalah korupsi beserta anak-anaknya, seperti kolusi atau persekongkolan dan nepotisme atau perkoncoan yang menjauhkan bangsa ini dari prinsip meritokrasi menjadi masalah terbesar bangsa ini. Gerakan Reformasi 1998 sebenarnya telah memaksa MPR melahirkan Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Sejumlah orang tewas saat memperjuangkan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme serta pengadilan terhadap mantan Presiden Soeharto.
Ketetapan MPRNo XI/MPR/1998 itu masih berlaku dan tidak pernah dicabut. Tap MPR itu memerintahkan bahwa upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya, pihak swasta ataupun konglomerat, termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak asasi manusia.
Siapa pun presidennya, termasuk Presiden Jokowi akan terikat dengan tekad bangsa ini yang mewujud dalam Ketetapan MPR. Namun, nyatanya praktik KKN yang terjadi pada era Orde Baru, kini mulai terasa muncul kembali. Korupsi merajalela. Kolusi terjadi karena diabaikannya prinsip good governance. Koncoisme juga amat kentara dalam proses rekrutmen pejabat ataupun komisaris perusahaan. Terasa ada bagi-bagi ”nikmat kekuasaan”.
Tulisan Yongki Karman di harian Kompas, Kamis (21/9/2023), berjudul ”Pragmatisme Bernegara” juga menyampaikan pesan yang sama. Yongki menulis musuh nomor satu good governance adalah perilaku koruptif. Korupsi tidak hanya mengurangi kualitas, tetapi juga menghambat pembangunan, membuat rakyat miskin tertinggal.
Korupsi pembangunan Menara BTS dengan anggaran Rp 17 triliun yang dikorupsi Rp 8 triliun. Duit korup itu menyebar ke sejumlah orang, termasuk politisi di negeri ini, termasuk diberikan kepada lembaga-lembaga negara dengan sangat mudah.
Dalam persidangan terungkap, dana Rp 40 miliar mengalir ke Badan Pemeriksa Keuangan, sebanyak Rp 70 miliar mengalir ke komisi di DPR, dan Rp 27 miliar mengalir ke elite politik yang kini menjabat menteri. Benar? Biarlah pengadilan mengungkapnya secara terbuka.
Uang sebesar Rp 40 miliar diserahkan di parkiran sebuah hotel di Jakarta. Kesaksian ini membikin hakim seperti terperangah. Padahal, model seperti itu sudah jamak terjadi. Modelnya koper ganti koper di parkiran. Meninggalkan tas di rumah dengan dalih ketinggalan. Menaruh uang suap dalam kardus adalah hal biasa dalam transaksi korupsi.
”Ya Allah, Rp 40 miliar diserahkan di parkiran. Uang apa itu? Uang rupiah atau uang dollar Amerika, dollar Singapura atau euro,” tanya hakim Fahzal Hendri di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (26/9/2023). ”Uang asing Pak, saya lupa detailnya mungkin gabungan dollar Amerika dan dollar Singapura,” ujar saksi Windy dalam sidang korupsi menara BTS. Ada juga miliaran rupiah yang mengalir ke DPR.
Dampak dari korupsi BTS itu, rakyat di daerah pinggiran, di daerah perbatasan hanya bisa menatap menara tanpa sinyal. Akibatnya, pelayanan kesehatan di daerah pinggiran juga terkendala karena buruknya komunikasi.
Direktur utama sebuah perusahaan juga disangka melakukan korupsi pembangunan jalan tol senilai Rp 13,5 triliun dengan kerugian negara Rp 1,5 triliun.
Di tengah ketamakan elite politik merayah uang dari pajak rakyat itulah menjadi latar belakang perburuan kekuasaan menuju 14 Februari 2024 sedang terjadi. Rayuan politik antarelite, akobratik politik itu, menempatkan rakyat hanya sebagai penonton. ”Politik sedang mengalami disrupsi luar biasa. Tatanan sedang diobrak-abrik,” ujar seorang kuncen di Omah Petroek, Yogyakarta.
Indonesia kian jauh dari esensi demokrasi yang bernama kesetaraan. Budaya instan ingin cepat kaya. Budaya instan ingin cepat menjadi pemimpin tanpa lewat proses disaksikan dengan mata telanjang. Agak jauh secara geografi dan namun dekat di hati saya teringat pada tujuh Dosa Sosial menurut Mahatma Gandhi layak untuk direfleksikan. Gandhi menulis, politik tanpa prinsip, kekayaan tanpa kerja keras, perniagaan tanpa moralitas, kesenangan tanpa nurani, pendidikan tanpa karakter, ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan, dan peribadatan tanpa pengorbanan. Bukan tren itu sedang terjadi saat ini di republik ini. Menangnya pragmatisme! Dan, babak akhir dari ideologi.
Kembali dalam kasus korupsi, sebenarnya ada ikhtiar yang dilakukan Kejaksaan Agung dalam kasus korupsi Surya Darmadi di Riau. Kejaksaan Agung mencoba berpikir progresif dengan tidak hanya menjerat Surya Darmadi dengan prinsip kerugian negara, melainkan kerugian sosial ekonomi. Karena itulah, Surya Darmadi diminta membayar ganti rugi Rp 39,75 triliun atas kerusakan lingkungan yang terjadi. Pada tingkat pertama, tiga hakim mengabulkan tuntutan jaksa.
Pada 23 Februari 2023, Surya Darmadi dihukum 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Selain pidana badan, majelis hakim yang diketuai Fahzal Hendri dengan hakim anggota Susanti Asti Wibawani dan Sukartono tersebut menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti Rp 2,23 triliun dan Rp 39,7 triliun yang merupakan hasil penghitungan kerugian perekonomian negara.
Putusan itu dikuatkan pengadilan banding dalam putusan 24 Mei 2023. Majelis hakim tinggi adalah Mohammah Lutfi, Sugeng Hiyanto, dan Abdul Fatah. Namun, pemberantasan korupsi sungguh berada di jalan sunyi. Semakin sepi perlawanan publik, semakin mereda semangat pemberantasan korupsi. Semakin tinggi kekuasaan kehakiman, semakin melemah pun elan menghukum koruptor.
Entah apa pertimbangannya. Itulah yang terjadi dalam kasus Surya Darmadi. Majelis kasasi membatalkan kewajiban membayar kerugian sosial, kerugian lingkungan dan ekonomi. Dari membayar ganti rugi Rp 39,785 triliun menjadi hanya Rp 2 triliun.
Putusan tersebut dijatuhkan majelis kasasi yang diketuai Dwiarso Budi Santiarto dengan anggota hakim agung Sinintha Yuliansih Sibarani dan Yohanes Priyana pada Kamis (14/9/2023). Putusan tidak dijatuhkan secara bulat. Sinintha Yuliansih mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda).
Semangat memberantas korupsi hanyalah up and down. Tergantung situasi, tergantung negosiasi dalam ruang gelap. Ketertutupan dalam kamar gelap negosiasi menjadikan rakyat tetap menjadi korban. Pandangan filsuf Jeremy Bentham (1748-1832) kembali muncul dalam pikiran saat menyepi di Omah Petroek.
”Dalam gelapnya ketertutupan, segala jenis kepentingan jahat berada di puncak kekuatannya. Hanya dengan keterbukaanlah pengawasan terhadap segala ketidakadilan di lembaga peradilan dapat dilakukan. Selama tidak ada keterbukaan, tidak akan ada keadilan. Keterbukaan adalah roh keadilan. Keterbukaan adalah alat untuk melawan serta penjaga utama dari ketidakjujuran. Keterbukaan membuat hakim ’diadili’ saat ia mengadili.”
Publik ingin dengar bagaimana Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Mahfud MD, Erick Thohir, Gibran Rakabuming Raka dan pesohor politik Kaesang Pangarep mengatasi pandemi korupsi di republik ini.