Demokrasi elektoral yang dikendalikan politik uang telah melahirkan pemimpin berjiwa kerdil. Ketamakan telah memperbudak mentalitas pemimpin untuk menumpuk kekayaan pribadi dengan mengorbankan hajat hidup rakyat banyak.
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·4 menit baca
SALOMO
Budiman Tanuredjo
Pada Juli 2022, saya pergi ke Way Seputih, daerah transmigran di Lampung. Saya pernah merasakan ”kenikmatan” sebagian jalan di Lampung. Dalam perjalanan balik Bakauheni-Merak, saya bertemu dengan mantan pemain sepak bola Pelita Jaya, Aples Gideon Tecuari, di feri. Saya menulis kolom, Sabtu, 9 Juli 2022, ”Kisah dari Selat Sunda”. Saya mengutip omongan Aples. ”Situasi sekarang sulit. Cari uang sulit,” ujarnya seraya menceritakan kerusakan jalan di wilayah Lampung. Bupati boleh gonta-ganti. Gubernur boleh saja gonta-ganti, tetapi kehidupan rakyat tetap sulit.
Cerita dari Way Seputih dan ”curcol” Aples Tecuari saya ingat kembali ke tiktoker asal Lampung, Bima, yang memviralkan hancurnya infrastruktur di Lampung. Bahasa tiktoker itu keras. Pilihan katanya bisa dikatakan cenderung kasar. Namun, suara tiktoker terbukti ampuh. Presiden Joko Widodo menjajal mulusnya jalan di Lampung. Kemudian, Presiden Jokowi menjanjikan anggaran Rp 800 miliar untuk memperbaiki jalan-jalan di Lampung.
Provinsi Lampung dipimpin Gubernur Arinal Djunaidi-Chusnunia Chalim dengan perolehan suara 1.548.505 suara atau 37,78 persen pada Pemilihan Kepala Daerah 2018. Arinal diajukan Golkar. Beberapa anggota DPR ternama berasal dari daerah pemilihan Lampung. Sebut saja Taufik Basari (Nasdem, Lampung I), Ahmad Muzani (Gerindra, Lampung I), Lodewijk Paulus (Golkar, Lampung I), Muhammad Kadafi (PKB, Lampung I), Muklis Basri (PDI-P, Lampung I), Al Muzamil Yusuf (PKS, Lampung I), Alimin Abdullah (PAN, Lampung II), dan Koman Koheri (PDI-P, Lampung II). Zulkifli Hasan juga berasal dari dapil Lampung sebelum menjadi Menteri Perdagangan.
Kondisi jalan rusak di Jalan Raya Rumbia, di Kecamatan Rumbia Kabupaten Lampung Tengah, Lampung, pada Rabu (3/5/2023).
Selain 20 anggota DPR, Lampung juga punya empat anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Mereka adalah Jihan Nurlela dengan raihan suara 810.373, Abdul Hakim (81.963 suara), Ahmad Bastian (377.067 suara), dan Bustami Zainudin (245.784 suara). Jihan adalah adik Wagub Lampung Chusnunia Chalim.
Lampung tak henti memunculkan kontroversi. Ada kepala dinas yang terus-terusan menjabat di satu tempat dan punya hobi flexing. Ada isu pajak mobil dinas lalai dibayar. Kini, sejumlah petinggi di Lampung dipanggil KPK. Pertanyaan yang muncul, mengapa isu itu baru muncul sekarang. Mengapa anggota DPR asal Lampung tidak terdengar suaranya untuk menyuarakan kerusakan jalan? Apakah mereka jarang turun ke lapangan?
No viral no attention. No viral no justice. Boleh jadi itulah perubahan politik ke depan dari party based-politics menjadi issue based-politics. Dalam peringatan 25 tahun reformasi, saya bertanya-tanya apa makna demokrasi bagi negeri ini. Kepala daerah dipilih secara demokratis, tetapi mengapa demokrasi tak mewujud menjadi lebih substansial bagi kesejahteraan rakyat. Mengapa dalam sistem politik demokrasi yang mengasumsikan terjadi check and balances korupsi merajalela. Bukankah potensi korupsi bisa dipersempit dengan ruang pengawasan yang lebar? Anggota DPR dipilih rakyat, mengapa mereka kurang gigih memperjuangkan suara rakyat?
Publik tercengang ketika proyek pembangunan menara BTS dengan nilai proyek Rp 10 triliun, kerugian negaranya—menurut BPKP—mencapai Rp 8 triliun. Jika benar dana Rp 8 triliun dinikmati elite politik yang tamak, tentunya itu pengingkaran akan hakikat reformasi. Kejaksaan menetapkan Menkominfo Johnny G Plate yang juga Sekjen Nasdem menjadi tersangka. Menurut Mahfud MD, Menko Polhukam, dana pembangunan BTS keluar, tetapi proyeknya mangkrak. ”Mangkrak dan belum ada barangnya, yang ada pun mangkrak. Oleh karena itu, semula dihitung kerugian oleh kejaksaan itu sekitar Rp 1 sekian triliun, tetapi kemudian BPKP turun tangan,” kata Mahfud.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate (tengah) mengenakan rompi khusus saat ditahan usai diperiksa di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (17/5/2023). Johnny G Plate menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyediaan base transceiver atau BTS dalam program BAKTI Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun 2020-2022, sebesar Rp 8 triliun.
Dalam dua periode pemerintahan Presiden Jokowi, sudah lima menteri masuk penjara. Ada Idrus Marham (Mensos, Partai Golkar), Imam Nahrowi (Menpora, PKB), Juliari Batubara (Mensos, PDI-P), dan Edhy Prabowo (Menteri Kelautan, Gerindra). Mereka dijerat KPK. Baru Johnny G Plate yang dijerat Kejaksaan Agung. Pada era sebelumnya, ada juga menteri partai lain yang juga masuk penjara karena korupsi.
Boleh jadi ini pekerjaan rumah besar negeri ini. Gerakan reformasi telah dikorupsi. Korupsi merajalela. Seperti kata Mahfud MD, di darat, di laut, dan di udara ada korupsi. Demokrasi belum sepenuhnya bisa menghasilkan pemimpin antikorupsi. Demokrasi memang bisa menghasilkan pemimpin populis, tetapi belum tentu bisa melahirkan pemimpin yang punya komitmen kuat merawat demokrasi.
Saya meminjam pandangan Sukidi dalam kolomnya di Kompas, 19 Mei 2022. Demokrasi elektoral yang dikendalikan politik uang telah melahirkan pemimpin berjiwa kerdil. Ketamakan telah memperbudak mentalitas pemimpin untuk menumpuk kekayaan pribadi dengan mengorbankan hajat hidup rakyat banyak.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)
Bekas Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo (kiri) mendengarkan keterangan saksi dalam persidangan lanjutan perkara dugaan suap izin ekspor benih lobster atau benur di Kementerian Kelautan dan Perikanan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (28/4/2021).
Pandangan Sukidi, dalam program Satu Meja, patut direnungkan. Bangsa ini lemah secara moral. Permisif terhadap berbagai penyimpangan, termasuk korupsi, dan tidak punya rasa malu meski telah melakukan korupsi.
Dalam situasi seperti sekarang ini, bangsa ini membutuhkan servant leadership, pemimpin yang melayani orang lemah, orang yang miskin. Bukan pemimpin feodal, primordial, dan tamak. Pendiri bangsa, Agus Salim, mengajarkan, jalan menjadi pemimpin bukan jalan mudah, tetapi jalan penderitaan.
Namun, apakah tidak utopis kita berharap lahirnya pemimpin yang berani meneruskan gerakan reformasi, berani melanjutkan gerakan pemberantasan korupsi, berani menjaga demokrasi ketika bangsa ini sudah terperangkap dalam jebakan demokrasi dol tinuko atau jual beli. Tentunya harus dijawab. Bisa. Karena harapan selalu diupayakan.