Polusi hingga Krisis Sampah, 78 Tahun Pembangunan yang Tak Seimbang
Kota-kota di Indonesia tidak tiba-tiba menjamur seperti sekarang. Perkembangannya sejak prakolonial. Namun, 78 tahun ini, Indonesia kedodoran mengantisipasi dampak pertumbuhan kotanya.
Kemerdekaan menjadi capaian sakral dan istimewa bagi Indonesia. Sejak tahun 1945, Indonesia berdiri di kaki sendiri, menentukan nasib mandiri. Gencarnya pembangunan dan kemajuan di banyak sektor mencerminkan sebagai negara yang merdeka.
Kondisi itu ditandai dengan perkembangan dan perubahan kawasan, salah satunya pertumbuhan pesat area perkotaan serta alih fungsi lahan untuk berbagai kegiatan ekonomi di penjuru negeri. Namun, satu hal yang konsisten terjadi, pembangunan ternyata berjalan tak seimbang.
Studi beberapa ahli penata kota Indonesia, seperti Tommy Firman dari Institut Teknologi Bandung, menunjukkan, pada 1950 hanya ada satu kota di Indonesia berpenduduk 1 juta jiwa, yaitu Jakarta. Pada 1980, sedikitnya empat kota berpenduduk di atas 1 juta orang, sedangkan periode 1990-an menjadi 11 kota. Tahun 2020 ke atas, diperkirakan sudah lebih dari 23 kota dengan penduduk di atas 1 juta jiwa dengan lima di antaranya dihuni lebih dari 5 juta orang.
Baca Juga: Inspirasi Anti-”burnout” dari Akira Tendo
Aglomerasi Jabodetabek pada 1995 diperkirakan sudah dihuni 35 juta jiwa. Sampai saat ini, Jabodetabek ditambah kawasan Puncak dan Cianjur dipastikan sudah menampung lebih banyak lagi penduduk.
Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2030, persentase penduduk daerah perkotaan di setiap provinsi akan meningkat merata di semua provinsi. Urbanisasi dipengaruhi pertumbuhan penduduk daerah perkotaan, migrasi dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan, dan reklasifikasi area perdesaan menjadi bagian dari daerah perkotaan.
Kota cepat berkembang menyedot daerah sekitarnya menjadi bagian dari dirinya seiring fungsi kawasan urban sebagai sentra pertumbuhan kegiatan ekonomi dan populasi manusia. Kota menduduki hierarki tinggi dalam pembagian wilayah sebagai ibu kota negara, ibu kota provinsi, pusat industri, pusat jasa, pusat industri teknologi dan teknologi informasi.
Di kota bertalian pula berbagai kepentingan politik, unjuk kekuatan kekuasaan, dan wujud nyata ambisi manusia di segala aspek, termasuk sosial budaya.
Indonesia boleh berbangga dengan perkembangan pesat kota-kotanya bersamaan dengan berlipatnya jumlah penduduk. Pertumbuhan ekonomi negeri ini selama berpuluh tahun pun disebut rata-rata memuaskan atau sesuai ekspektasi pemerintah.
Baca Juga: Sultan, Vadim, dan Jalan sebagai Ruang Publik yang Terabaikan
Namun, kota-kota yang menjamur, membesar, dan mendominasi ternyata tidak serta-merta membuat warganya nyaman dan terpenuhi kebutuhannya akan layanan ataupun fasilitas publik memadai.
”Perkembangan suatu kota berbanding terbalik dengan tingkat kenyamanan. Padahal, seharusnya tidak demikian. Semakin berkembang dan maju suatu kota, tingkat kenyamanan hidup kota tersebut seharusnya semakin meningkat,” demikian tutur salah satu petinggi Kementerian Pekerjaan Umum (sekarang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) yang menjadi pembicara kunci di Indonesia Summit of Liveable Cities pada November 2012 di Jakarta.
Indonesia Most Liveable City Index 2009 dan 2011 menunjukkan tingkat kenyamanan hidup di kota besar Indonesia masih rendah. Hampir semua kota memiliki kekurangan pada aspek fisik.
Hampir semua kota dipersepsikan warganya memiliki fasilitas pendidikan dan kesehatan yang sudah cukup baik, tetapi bermasalah dalam ketersediaan lapangan kerja. Di luar itu, kualitas angkutan umum perkotaan buruk, penanganan sampah jauh dari memuaskan, minim ruang terbuka hijau dan ruang publik, sampai tingginya keluhan terkait kriminalitas urban.
Pembangunan perkotaan tak seimbang menyebabkan degradasi lingkungan, bermunculan kawasan kumuh, limbah tak tertangani, polusi industri ataupun dari sektor transportasi, juga tidak efisiennya penggunaan tanah yang memicu banyak konflik.
Sebelumnya, pada medio 1990-an, Tommy Firman sudah mengingatkan soal kecenderungan pembangunan perkotaan di Indonesia yang sejak 1980-an disebut kian tidak seimbang. Pendapat itu di antaranya dikutip Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Prijoyo Tjiptoherijanto dalam ”Urbanisasi dan Pengembangan Kota di Indonesia” (1999).
Firman dalam berbagai kesempatan seminar, diskusi, juga jurnalnya sering menyoroti pembangunan kota yang amat pesat serta melebar ke berbagai arah tanpa acuan penataan ruang yang baik. Proyek jalan, gedung, perumahan, pusat bisnis, sampai pusat industri bermunculan. Di sisi lain, sistem layanan angkutan umum, penyediaan air bersih, penanganan sampah, dan fasilitas publik penting lainnya diabaikan.
Firman, Profesor Emeritus ITB yang menjadi peneliti dan praktisi perencanaan kota sejak 45 tahun silam, menyatakan, dampak pembangunan yang tak seimbang dapat menyebabkan degradasi lingkungan. Dampak lainnya, bermunculan kawasan kumuh perkotaan, limbah tak tertangani, polusi industri dan dari sektor transportasi, juga tidak efisiennya penggunaan tanah yang memicu banyak konflik.
Prediksi Firman tidak salah. Pembangunan sistem layanan transportasi publik setengah hati membuat kota-kota di Indonesia kini dibanjiri jutaan kendaraan bermotor pribadi. Muncullah kemacetan, polusi dari asap pembakaran kendaraan, dan valuasi kerugian triliunan rupiah. Kerugian itu mencakup biaya kesehatan, waktu yang terbuang percuma, bahan bakar terbakar sia-sia, dan akibat lain yang terpaksa ditanggung warga dan negara setiap hari selama bertahun-tahun.
Baca Juga: Menjadi Frugal Tanpa Merana
Sampah perkotaan pun rata-rata tak tertangani, bahkan berulang kali menjadi bencana. Laporan harian Kompas pada 2005 menyebutkan, longsor sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah, Kota Cimahi, Jawa Barat, pada 21 Februari tahun itu merenggut lebih dari 140 nyawa dan membuka aib buruknya penanganan sampah perkotaan, khususnya di Bandung Raya.
Sistem buang dan sampah dikumpulkan di tempat terbuka tidak cocok dengan kota yang meluas dan penduduknya terus bertambah. Peristiwa yang diperingati sebagai Hari Sampah Nasional itu belum bisa mendorong pemerintah membangun fasilitas pengolahan sampah modern, apalagi memaksa warga menerapkan mengurangi, memilah, dan mengolah sampah di rumah.
Saat ini, 18 tahun kemudian, giliran TPA Sarimukti ”berulah”. TPA di Kabupaten Bandung yang juga untuk menampung sampah kota itu terbakar dan ditutup sementara (Kompas.id, 23 Agustus 2023). Lagi-lagi, kejadian ini membuka borok penanganan sampah yang tak pernah dianggap serius. Hal serupa dengan skala berbeda terjadi di kota lain, seperti di Tangerang Selatan di Banten.
Baca Juga: Rapuhnya Kota-kota Kita
Jakarta yang memiliki TPST Bantargebang di Bekasi bukan berarti tak bermasalah. TPST itu sudah tidak memadai lagi dan butuh peningkatan teknologi pengolahan sampah. Hingga kini, program pengelolaan sampah dengan ditransformasikan menjadi energi listrik yang masif di DKI pun masih sebatas rencana.
Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2022, jumlah timbunan sampah nasional mencapai 21,1 juta ton yang dihimpun dari 202 kabupaten/kota. Dari angka itu, 65,71 persen (13,9 juta ton) terkelola, sisanya 34,29 persen (7,2 juta ton) belum terkelola dengan baik. Sampah tak terkelola bisa berarti dibuang ke lahan kosong, selokan, dan sungai.
Di lapangan, praktik bakar sampah oleh warga maupun kepentingan industri mikro seperti pembuatan batu-bata rumahan, pengolahan sampah di lapak pemulung, dan lainnya juga terus terjadi di perkotaan.
Industri hijau
Bagaimana dengan sektor industri? Indonesia tergolong ”pemain” baru dalam industri hijau. Pengembangan industri hijau yang lebih ramah lingkungan kini masuk RPJMN 2020-2024 serta Kebijakan Industri Nasional 2020-2024.
Dalam Review Rencana Strategis Pusat Industri Hijau Tahun 2022-2024, disebutkan industri yang menerapkan prinsip industri hijau adalah perusahaan industri yang berhasil mendapat level 4 dan 5 pada penghargaan industri hijau. Dari tahun 2015-2019, ada 737 perusahaan industri mencapai level itu. Total perusahaan industri yang telah tersertifikasi standar industri hijau (SIH) mencapai 32 perusahaan industri.
Dalam laporan yang sama ditargetkan, pada 2021 industri yang tersertifikasi SIH akan bertambah 37 industri lagi, 2022 ada 46 industri, 2023 ada 61 industri, dan 2024 diproyeksikan ada 71 industri lagi.
Baca Juga: Uang Besar di Balik Pekat Kabut Polusi Udara
Kebijakan pengembangan industri hijau adalah hal yang baik. Namun, harus disadari bahwa sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) 2021, ada 29.000 perusahaan industri menengah dan besar di Indonesia. Ini belum terhitung industri kecil juga usaha mikro lainnya. Entah berapa tahun lagi sampai puluhan ribu industri tersebut bisa memiliki SIH.
Melihat semua fakta di atas, bukan hal aneh dan tidak kali ini saja kota-kota di Indonesia terengah-engah mengendalikan sampah, polusi udara, juga kemacetan. Respons saat ini masih tergolong reaksi sesaat, seperti hujan buatan, menyemprot air ke jalan-jalan, sidak industri nakal yang jauh dari menyeluruh, dan bekerja dari rumah.
Padahal, masih ada banjir dan bencana lain yang mengintai saat musim hujan tiba menjelang akhir tahun. Penyebab bencana tersebut juga tak jauh berbeda, yaitu masih belum menyeluruh dan tuntasnya pembangunan kawasan yang berkelanjutan.
Masih ada 22 tahun menuju 100 tahun merdeka dengan target mencapai Indonesia Emas berupa kemajuan di semua bidang. Agar tak terus berkubang masalah, lebih baik sekarang fokus menyelesaikan pekerjaan rumah. Jangan lagi mengabaikan membangun perkotaan yang seimbang dan berketahanan. Kota maju diperjuangkan, bukan datang dengan sendirinya.
Baca Juga: Catatan Urban