Berbahasa di ranah bahasa yang sudah memiliki sistem yang baku, kemanasukaan sudah tidak berlaku. Kata yang tidak sesuai dengan sistem boleh saja digunakan, tetapi tidak dianggap sebagai kata baku.
Oleh
Tendy K Somantri
·3 menit baca
Menarik sekali perbincangan selama beberapa pekan di kolom Bahasa ini. Perbincangan yang menggambarkan regangan dalam penggunaan kata relawan (L Wilardjo, Kompas, 15/8/2023) dan sukarelawan(Kris Mada, Kompas, 1/8/2023) dan Amin Iskandar (Kompas.id, 22/7/2023). Kata manakah yang tepat untuk digunakan, relawan atau sukarelawan?
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebutkan bahwa relawan tidak baku. Sementara itu, masyarakat lebih suka menggunakan kata relawan karena lebih singkat, mudah dan enak digunakan, apalagi dikaitkan dengan sifat dinamis dan manasuka bahasa.
Pilihan masyarakat itu tidak salah, tetapi tidak sepenuhnya benar. Kemanasukaan bahasa biasanya terjadi pada awal terciptanya bahasa (kata). Ketika suatu bahasa telah memiliki sistem pembakuan, penciptaan kata tidak manasuka lagi. Kata baru akan mengalami ”uji kelayakan”.
Penciptaan dan penggunaan kata diatur oleh sistem, seperti halnya penciptaan dan penggunaan kendaraan diatur oleh sistem lalu lintas. Sebagai sistem, bahasa memiliki perangkat yang berpola dan tersusun baik pada sistem bunyi (fonologi), bentuk (morfologi), kalimat (sintaksis), ataupun makna (semantik). Kondisi seperti itulah yang terjadi pada kata relawan. Layakkah kata relawan masuk dalam kosakata baku bahasa Indonesia?
Baiklah, kita coba mengujinya. Relawan berasal dari kata baku rela, yang punya empat makna dalam KBBI. Salah satu maknanya adalah ’tidak mengharap imbalan, dengan kehendak atau kemauan sendiri’, setelah bergabung dengan kata suka. Artinya, kata rela tidak memiliki makna itu apabila berdiri sendiri (tidak dalam bentuk sukarela).
Apabila berdiri sendiri, rela bermakna sebagai berikut: ’bersedia dengan ikhlas hati, izin (persetujuan), dapat diterima dengan senang hati’. Perbedaan makna yang mencolok antara rela dan sukarela ialah pada makna ’dengan kehendak atau kemauan sendiri’.
Kesan adanya makna ’dengan kehendak atau kemauan sendiri’ tidak terlepas dari proses pembentukan kata seperti yang disampaikan Mada dan Iskandar. Bentuk sukarela menunjukkan bahwa makna suka (kesukaan atau kesenangan) yang diutamakan karena banyak juga yang rela, tetapi tidak suka. Contohnya pada ekspresi aku rela mati demi negeri. Banyak orang rela berkorban nyawa demi negerinya, tetapi adakah orang yang suka mati?
Sekarang mari kita melihat perbedaan makna rela dan sukarela dalam kalimat lain, misalnya pada kalimat aku telah merelakan kepergiannya. Bentuk jadian merelakan pada kalimat itu tidak dapat kita ganti dengan menyukarelakan walaupun bentuk dasar rela dan sukarela sama-sama bisa mengandung makna ’ikhlas’.
Rasanya, kita tidak pernah mendengar orang yang mengatakan aku telah menyukarelakan kepergiannya. Dengan demikian, makna rela dan sukarela jelas berbeda sehingga relawan tidak dapat menggantikan sukarelawan.
Selain menguji pemaknaan dalam bahasa Indonesia, kita coba juga membandingkannya dengan bahasa lain, misalnya Inggris, sebagai pertimbangan untuk pemadanan. Kita mengenal kata willing dan voluntary yang sama-sama berkelas kata adjektiva dan mengandung makna ’keikhlasan’.
Jika kita lihat makna dari penggunaannya (lihat Webster), willing dapat dipadankan dengan rela dan voluntary dengan sukarela. Kata willing tidak memiliki bentuk persona, sedangkan voluntary punya bentuk persona volunteer. Jadi, kita bisa memadankan voluntary dengan sukarela dan volunteer dengan sukarelawan atau volunter (KBBI).
Jadi begitulah, berbahasa di ranah bahasa yang sudah memiliki sistem baku, kemanasukaan sudah tidak berlaku. Kata yang tidak sesuai dengan sistem boleh saja digunakan, tetapi tidak dianggap sebagai kata baku.
Hal itu pernah diingatkan Prof Fuad Hassan, Mendikbud RI periode 1985-1993, pada sambutannya dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia edisi perdana, ”Sebaliknya, tanpa suatu tata bahasa mungkin bahasa itu terhambat pada fungsinya sebagai sarana ujaran semata-mata. Kelonggaran penggunaan bahasa yang sekadar berfungsi sebagai sarana ujaran bukannya menjadi petunjuk bagi keluwesan bahasa itu, melainkan lebih cenderung meleluasakan penggunaan yang ditandai oleh kesewenangan atau kesembarangan.”
Tendy K Somantri, Pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Unpas Bandung