Dulu ”relawan” tidak ada. Yang ada ialah ”sukarelawan”. Namun, zaman sudah berubah. Kenapa tidak ”relawan” saja yang lebih singkat dan padat?
Oleh
L WILARDJO
·2 menit baca
Saya senang membaca artikel ”Sukarelawan” yang ditulis Kris Mada di rubrik Bahasa (Kompas, 1/8/2023) karena—saya kira—dia dan saya sama-sama pencinta bahasa Indonesia yang baik dan benar, sama-sama senang menimang-nimang kata dan menimbang-nimbang maknanya, dan sama-sama bersedia menerima risiko diolok-olok dan dinyinyiri bila kami mengemukakan pendapat tentang pilihan kata dan maknanya.
Namun, dua orang yang sama-sama melakukan penalaran yang panggah (konsisten) dan sahih tentang hal yang sama bisa sampai ke simpulan yang berbeda. Hal ini terjadi kalau keduanya beranjak dari titik tolak (premis) yang berbeda dan/atau kecenderungan cara pikirnya berbeda.
Agaknya seperti kedua orang itulah Kris Mada dan saya. Dia bertolak dari keyakinan bahwa kata-kata yang sudah tercantum dalam KBBI itu baku (standar) dan yang baku harus dipertahankan. Dalam arti yang positif, dia cenderung konservatif, artinya percaya dan berpegang pada nilai-nilai yang sudah teruji, sedangkan saya lebih progresif, lebih terbuka terhadap datangnya perubahan (demi perbaikan).
Kris Mada ”sepertinya” patuh kepada apa-apa saja yang ditetapkan para munsyi, bahasawan yang pakar dan berpengalaman dalam menyusun kamus baku seperti KBBI. Sementara saya bersikap preskriptif hanya dalam hal kaidah-kaidah tata bahasa; dalam hal kosakata saya bersikap deskriptif: menuruti saja seperti apa adanya, apa yang ”hidup” dan dipakai di masyarakat pengguna bahasa Indonesia. Dalam hal kosakata, mayoritas pengguna bahasa adalah raja.
Meskipun dengan sangat berhati-hati, KBBI pun mau mengalah kepada ”Sang Raja”. Dulu—sampai dengan KUBI-nya WJS Poerwadarminta—semena-mena adalah lawan kata sewenang-wenang. Sekarang di KBBI kedua adjektiva frasa itu berpadanan. Saya tak akan terkejut kalau di KBBI nanti kata acuh disamakan artinya dengan tidak peduli.
Begitu pula bila relawan, alih-alih sukarelawan, dibakukan dalam KBBI. Relawan dianggap bentuk tidak baku oleh Kris Mada, tetapi diakui juga olehnya bahwa sukarelawan kurang dikenal dan jarang dipakai.
Dulu relawan tidak ada; yang ada ialah sukarelawan. Akan tetapi, zaman sudah berubah dan generasi sudah berganti. Sukarelawan (dulu) atau relawan (sekarang) berpadanan dengan volunteer. Takrifnya one who enters into any service, especially military service or a hazardous undertaking, of his own free will. Frasa kuncinya di sini ialah of/on his own free will. Atas/dengan kehendak bebasnya sendiri. Tidak terpaksa atau dipaksa.
Yang mendorong seseorang menjadi relawan tidak harus karena ia merasakan kesenangan dengan menjadi relawan.
Rasa kemanusiaan
Di ketentaraan (militer), relawan menjadi prajurit bukan karena terkena wamil. Tak usah dipersoalkan apakah seseorang menjadi relawan karena ada atau tidak ada motif pribadi tertentu, misalnya agar diangkat menjadi menteri atau staf ahli utama di Kantor Staf Presiden.
Jadi, relawan itu seperti mereka yang atas kemauannya sendiri, dan mungkin karena rasa kemanusiaannya, menyumbangkan darahnya di PMI, atau mendonorkan kornea matanya bila meninggal nanti.
Juga tidak perlu dipersoalkan apakah ada faktor ”suka” atau ”senang” pada seseorang yang menjadi relawan. Yang mendorong seseorang menjadi relawan tidak harus karena ia merasakan kesenangan dengan menjadi relawan. Mungkin ia melakukan hal itu karena merasa terpanggil.
Dalam pengembangan vaksin untuk menanggulangi wabah, orang-orang yang mau menjadi ”kelinci percobaan”, setelah dipastikan memenuhi syarat inklusi dan tidak terhalang patokan eksklusi untuk pencuplikan (sampling)-nya, dan bersedia pula menandatangani PSP (persetujuan setelah penjelasan), adalah relawan. Bisa saja—tetapi tidak harus—mereka merasakan kesenangan dengan menjadi ”kelinci percobaan”. Boleh jadi mereka melakukannya karena nurani dan rasa tanggung jawabnya sebagai warga masyarakat.
Kata Kris Mada, ada—dan bahkan banyak—(suka)relawan yang mengharapkan imbalan. Kalau benar begitu, itu das Sein (realitas), bukan das Sollen (desiderata). Kenyataan, ya, harus kita terima meskipun kita tidak suka. Karena itu, justru baik kalau unsur suka pada sukarelawan ditanggalkan saja. Relawan juga lebih singkat. Lebih singkat dan lebih padat, atau lebih ringkas dan lebih bernas, berarti juga lebih baik.