Hak korban mendapat restitusi dari pelaku atas penderitaan yang dialami masih jauh panggang dari api. Nilai restitusi yang dikabulkan hakim cenderung rendah dan banyak terpidana menyatakan tak mampu membayar restitusi.
Oleh
MUHAMMAD BUSYROL FUAD
·3 menit baca
Persidangan kasus penganiayaan David (17) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menuai beragam perspektif. Salah satunya di saat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengajukan restitusi atau ganti rugi sebesar Rp 120 miliar kepada Mario Dandy. Biaya ini diproyeksikan dapat membiayai perawatan korban selama 54 tahun akibat diffuse axonal injury (sejenis cedera otak) yang diderita korban.
Sejumlah pihak menganggap nilai restitusi tersebut terlalu besar bahkan diprediksi akan sulit dibayarkan mengingat Mario masih berstatus sebagai mahasiswa dan belum bekerja. Sementara pihak lain beranggapan bahwa nilai tersebut tidak besar, bahkan nilai berapa pun tidak akan mampu menggantikan seluruh penderitaan korban.
Restitusi pada prinsipnya merupakan ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Artinya, restitusi merupakan hak korban mengingat korban mengalami penderitaan dan sejumlah kerugian baik materiil maupun immateriil atas tindak pidana yang terjadi. Sayangnya, hingga kini hak korban untuk mendapat restitusi dari pelaku atas semua penderitaan yang dialami masih jauh panggang dari api.
Salah satu prinsip fundamental Sistem Hukum HAM Internasional adalah korban harus memiliki akses terhadap pemulihan yang efektif ketika hak-hak mereka dilanggar. Ketika pelanggaran terjadi, hukum internasional mengharuskan pelaku bertanggung jawab dan korban menerima pemulihan yang efektif.
Sesuai dengan hukum domestik dan hukum internasional serta dengan mempertimbangkan keadaan korban, korban diberikan pemulihan penuh dan efektif meliputi restitusi, kompensasi, rehabilitasi, kepuasan, dan jaminan tidak terjadi pengulangan. Dalam hal ini, negara wajib memastikan sistem, mekanisme, prosedur dan langkah-langkah taktis mewujudkan pemulihan itu berjalan dengan adil.
Pemulihan terhadap korban khususnya dalam konteks tindak pidana disediakan negara merujuk kepada mekanisme institusi HAM nasional, dalam hal ini adalah LPSK. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, sebagaimana telah diubah melalui UU No 31/2014, mendasari dibentuknya LPSK sebagai lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan/atau korban. Salah satu instrumen terpenting di bawah wewenang LPSK dalam pemulihan hak korban tindak pidana adalah restitusi.
Sayangnya, berdasarkan pengalaman LPSK, banyak sekali terpidana yang pada akhirnya menyatakan tidak mampu membayar restitusi sehingga korban tidak mendapatkan pemulihan atas hak-haknya. Merujuk data LPSK periode 2021, restitusi bagi korban senilai Rp 7,43 miliar, sementara yang diputus pengadilan sebesar Rp 3,71 miliar, tetapi yang dibayarkan ke pihak korban hanya Rp 279,53 juta.
Dalam praktik, masih banyak hakim dan jaksa yang cenderung lebih memilih menggunakan mekanisme penggabungan gugatan ganti kerugian.
Rendahnya jumlah nilai permohonan restitusi yang dikabulkan hakim menjadi salah satu isu krusial yang menyebabkan restitusi korban tindak pidana masih jauh panggang dari api, selain persoalan tentang belum begitu populernya mekanisme pemberian restitusi oleh aparat penegak hukum. Selain itu, terdapat jurang yang begitu besar di tahapan pelaksanaan restitusi yang diputuskan oleh hakim. Bahkan, pelaku banyak yang menyatakan tidak mampu untuk memberikan restitusi terhadap korban dan memilih menjalankan pidana pengganti.
Harmonisasi dan reformasi regulasi
Dalam praktik, masih banyak hakim dan jaksa yang cenderung lebih memilih menggunakan mekanisme penggabungan gugatan ganti kerugian sebagaimana diatur dalam Pasal 98 KUHAP. Sementara KUHAP sebagai landasan hukum acara aparat penegak hukum dianggap lebih pasti dan kokoh dibandingkan mekanisme restitusi dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban serta Peraturan Pemerintah No 44/2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban.
Walaupun PP No 44/2008 telah diubah diperbarui melalui PP No 7/2018 dan PP No 35/2020 tentang Pemberian Kompensasi Restitusi dan Pemberian Bantuan kepada Saksi dan Korban, pembaruan regulasi ini belum secara jelas dan tegas mengatur persoalan terkait dengan restitusi. Salah satunya kejelasan terkait ”pihak ketiga” yang memberikan restitusi kepada korban atau keluarganya. Dalam kasus penganiayaan David, ihwal ”pihak ketiga” ini juga sempat menjadi perdebatan saat Ketua Tim Restitusi LPSK Abdanev Jova dihadirkan sebagai saksi di persidangan.
Ketidakjelasan tersebut dalam praktiknya melahirkan interpretasi yang beragam. Salah satu yang sempat menuai kontroversi yaitu putusan hakim Pengadilan Negeri Bandung terhadap Herry Wirawan. Karena divonis seumur hidup, terdakwa tidak dibebankan membayar restitusi. Namun, majelis hakim memutuskan pembayaran restitusi dibebankan kepada negara melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Dengan begitu, vonis Pengadilan Negeri Bandung tersebut menetapkan pihak ketiga tersebut adalah negara (Kementerian PPPA).
Selain faktor ketidakjelasan perihal ”pihak ketiga” yang memberikan restitusi kepada korban atau keluarganya, rendahnya keberhasilan restitusi dalam sistem peradilan pidana selama ini akibat ketiadaan aturan yang memaksa pelaku membayar restitusi kepada korban tindak pidana. Mekanisme pelaksanaan restitusi atas tindak pidana masih sangat bergantung pada pengaturan di dalam undang-undang sektoral.
Salah satu undang-undang yang telah mengadopsi pengaturan pelaksanaan restitusi adalah UU No 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Ketentuan Pasal 50 undang-undang tersebut mengatur, apabila pelaksanaan pemberian restitusi kepada pihak korban tidak dipenuhi sampai melampaui batas waktu 14 hari sejak putusan diberitahukan, korban atau ahli warisnya memberitahukan hal tersebut kepada pengadilan.
Selanjutnya, pengadilan memberikan surat peringatan secara tertulis kepada pemberi restitusi untuk segera memenuhi kewajiban memberikan restitusi kepada korban atau ahli warisnya. Apabila tidak dilaksanakan dalam waktu 14 hari, pengadilan memerintahkan penuntut umum untuk menyita harta kekayaan terpidana dan melelang harta tersebut untuk pembayaran restitusi. Jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama 1 tahun.
Mempertimbangkan keberadaan pranata restitusi yang sangat penting guna memastikan pemulihan kerugian korban penting untuk melakukan harmonisasi bahkan reformasi peraturan perundang-undangan terkait hukum acara pidana Indonesia sebagai upaya penguatan mekanisme restitusi. Selain itu, kerja sama antaraparat penegak hukum dalam pemenuhan hak korban atas restitusi untuk meningkatkan pemahaman aparat penegak hukum mengenai pemulihan saksi/korban perlu terus dilakukan.
Dengan begitu, kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana diharapkan kian mendapat tempat. Fokus perhatian sistem peradilan pidana yang selama ini hanya tertuju kepada pelaku kejahatan harus mulai bergeser perhatiannya terhadap korban mengingat korban memiliki kepentingan hukum yang juga harus dipenuhi dan diakomodasi melalui sistem peradilan pidana.