Anak yang Jadi Korban Tindak Pidana Berhak Dapat Ganti Rugi
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana merupakan langkah maju dalam penegakan hukum. Pelaku kejahatan terhadap anak tidak hanya dipidana penjara dan denda, tetapi juga harus membayar restitusi atau ganti rugi kepada korbannya.
Melalui PP yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 16 Oktober 2017 itu, untuk pertama kalinya pemenuhan hak restitusi bagi anak korban tindak pidana diatur secara khusus. Hal itu diharapkan mengurangi beban pihak korban yang selama ini menanggung sendiri kerugian yang dialami.
Pemberian restitusi penting karena tindak pidana terhadap anak tidak hanya menimbulkan penderitaan fisik maupun psikis, tetapi juga kerugian materiil dan imateriil bagi pihak korban.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), selaku pihak yang berwenang menilai besaran restitusi yang akan dibayarkan kepada korban, menyatakan siap menjalankan PP itu. "Lahirnya PP ini semakin memudahkan anak yang menjadi korban tindak pidana untuk mengajukan ke pengadilan hak atas restitusi yang menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan," ujar Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai di Jakarta, Rabu (1/11).
Penjelasan tentang PP Restitusi juga disampaikan Kepala Biro Hukum dan Humas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Hasan, Kepala Unit Kerja Sama Satgas Teroris Kejaksaan Agung Nana Riana, dan Wakil Ketua LPSK Lies Sulistiani.
Dibebankan pada pelaku
Menurut Hasan, restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau imateriil yang diderita korban atau ahli warisnya. Restitusi berupa ganti kerugian atas kehilangan kekayaan, atas penderitaan sebagai akibat tindak pidana, serta penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.
Adapun anak yang berhak atas restitusi adalah anak yang menjadi korban tindak pidana. "Anak korban adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan tindak pidana," ujar Hasan.
Syarat pengajuan restitusi harus menyertakan identitas pemohon dan pelaku, uraian peristiwa pidana yang dialami, kerugian yang diderita, serta besaran atau jumlah restitusi.
Soal berapa besaran permohonan restitusi yang akan diajukan korban, menurut Lies, penyidik dan penuntut umum dapat meminta penilaian kepada LPSK, kemudian melampirkan pada berkas perkara.
"Peran LPSK cukup berat karena harus memastikan restitusi dilaksanakan dan menentukan jumlah kerugian korban. Tetapi, yang paling penting ada kemampuan dan kemauan pelaku untuk membayar restitusi," kata Lies.
Nana menyatakan, kejaksaan menyambut gembira lahirnya PP tersebut. Sebab, selama ini, ketika ada anak yang menjadi korban tindak pidana, jaksa kesulitan mencantumkan restitusi dalam tuntutan. Ini karena UU Perlindungan Anak tidak mengharuskan jaksa mencatumkan permohonan restitusi. Karena jaksa tidak menyampaikan dalam tuntutan, hakim tidak mempertimbangkan hal itu.
"Kami siap menyampaikan kepada atasan agar segera disosialisasikan dan dibuat petunjuk teknis untuk operasionalnya," kata Nana.