Perjuangan David Usai Perangi Goliat
Mengamati kasus penganiayaan berat oleh Mario Dandy Satrio dan kawan-kawan, bagaimana hukum akan melindungi dan memulihkan korban anak?
Korban kejahatan yang menderita kerugian baik secara fisik, psikis, maupun materiil berhak mendapat pembelaan hukum. Hukum negara dan sistem perlindungan korban yang mengambil sebagian hak korban di pengadilan selayaknya dimaksimalkan.
Penganiayaan berat terhadap seorang anak laki-laki 17 tahun oleh Mario Dandy Satrio (20) masih menjadi perhatian publik. Kejadian pada Senin (20/2/2023) di Jakarta Selatan mendadak membongkar ketidaklaziman kekayaan seabrek pegawai di Kementerian Keuangan, lembaga tempat ayah Mario sebelumnya bekerja.
Dalam ketidakberdayaan, remaja itu bagai Nabi Daud atau David dalam kisah kitab agama Samawi. Dengan lontaran batu dari sebuah ketapel, David yang membela kaum Bani Israil berhasil melawan Raja Jalut atau Goliat dari kaum Filistin. Namun, perjuangan David tidak hanya berhenti di sana.
Sebulan setelah dianiaya, pelajar sekolah menengah atas itu masih terbaring di ranjang ruang perawatan intensif. Kemajuan dari segi motorik sudah terlihat sejak ia mulai bisa membuka mata.
Tim dokter masih mengupayakan terapi-terapi untuk memulihkan kesadaran kognitif atau kualitatifnya. Beberapa perintah sederhana mulai bisa diterima meski ia belum bisa mengenali orang di sekitarnya.
”Kesadaran kualitatifnya masih terus diperjuangkan. Dokter juga masih mencoba, seperti kemarin yang sempat divideokan ayahnya, ada perban di kepalanya untuk mengecek kondisi kognitif otaknya karena melihat perkembangan yang signifikan,” tutur paman korban, Rustam Hatali, di Jakarta.
Baca juga: Tetap Waras di Tengah Skandal Mario-Rafael
Masa depan anak ini terancam jika mengetahui adanya kondisi cedera otak parah sehingga ia akan membutuhkan perawatan yang panjang. Beban biaya pengobatan besar sudah pasti harus ditanggung keluarga. Pemulihan kondisi dan penggantian kerugiannya pun akan diupayakan keluarganya melalui jalur hukum.
Pihak korban, yang memercayakan penanganan kasus ini kepada kuasa hukum, berikutnya meminta bantuan perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Lembaga itu memberi rekomendasi kepada pihak keluarga agar meminta ganti rugi lewat sistem peradilan.
”Hal ini akan diajukan oleh LPSK. Mereka menyampaikan ke keluarga jangan sampai tidak ada karena ini haknya korban untuk ke depannya,” katanya.
Maksimalkan pemidanaan
Mellisa Anggraini, kuasa hukum korban, mengatakan, mereka terus memastikan proses hukum berjalan. Diawali dengan penyidikan oleh kepolisian yang sekarang sudah menetapkan tiga pelaku. Mereka adalah Mario, Shane Lukas Rotua Pangondian Lumbantoruan (19), dan anak yang berkonflik dengan hukum, A.
Rekonstruksi kasus yang dilakukan 10 Maret 2023, kata Mellisa, memperjelas penganiayaan berat yang terencana. Ancaman penjara maksimal 12 tahun untuk para pelaku membuat mereka enggan mengambil jalur keadilan restoratif atau restorative justice untuk bersama mencari penyelesaian yang adil bagi korban dan pelaku.
Bahkan, aturan hukum menutup kesempatan bagi A untuk menggunakan hak diversi atau pengalihan penyelesaian perkara di luar peradilan pidana anak karena lama ancaman hukumannya. ”Tidak ada peluang terkait dengan diversi. Kami berharap, meskipun ini adalah pelakunya adalah anak, tetap diproses dengan prosedur anak,” kata Mellisa.
Baca juga: Remaja A Segera Disidangkan Terkait Penganiayaan David
Kuasa hukum mengupayakan proses peradilan yang akan dilanjutkan ke meja hijau agar dimaksimalkan. Ini termasuk dengan mengajukan gugatan restitusi atau penggantian kerugian oleh para pelaku jika dikehendaki keluarga korban, bersamaan atau setelah inkrahnya perkara penganiayaan ini.
”Kita ini kan hidup di negara hukum, ya. Ada ancaman maksimal terhadap pidana yang dilanggar sehingga keluarga berharap ada terobosan hukum dari majelis hakim, melihat sisi lain yang tidak berpatok kepada undang-undang (hukum acara pidana),” ujar Mellisa.
Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta memastikan mereka akan mengadili perkara itu sesuai perundang-undangan hukum acara, termasuk penyelesaian dengan aturan peradilan lainnya yang dikehendaki pihak korban.
”Kami kemungkinan akan menuntut restitusi, hak-hak korban untuk pembiayaan materiil dan imateriil. Akan kami upayakan untuk itu, selain pemidanaan bagi para pelaku,” kata Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Reda Manthovani, usai menjenguk David di rumah sakit, Kamis (16/3/2023).
Perlindungan LPSK
LPSK akan terlibat dalam memperjuangan keadilan dan pemulihan bagi korban pidana berat ini. Sesuai yang diajukan pihak korban, LPSK akan memberikan perlindungan prosedural untuk mengawal saat korban sudah bisa dimintai kesaksian dan bantuan biaya baik untuk rehabilitasi medis maupun psikologis.
”Kami akan beri pendampingan dalam setiap proses pemberian kesaksian oleh yang bersangkutan sejak penyidikan di kepolisian. Sekarang belum bisa dijalankan karena korban masih sakit. Demikian juga untuk hak rehabilitasi,” kata Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo saat dihubungi, Jumat (17/3/2023).
LPSK juga akan membantu mengajukan gugatan ganti rugi atau restitusi kepada pelaku di pengadilan jika dikehendaki pihak korban. Tidak sampai di sana, selama perlindungan masih berlangsung, sesuai permintaan keluarga dan hasil evaluasi enam bulanan lembaga itu, LPSK dapat mendampingi korban tanpa batas waktu.
Tidak hanya kepada korban, LPSK juga mendapat permintaan perlindungan dari saksi penganiayaan di lokasi kejadian, yakni orangtua teman korban berinisial R dan N.
”Mereka kan pasti akan dijadikan saksi. Saksi itu biasanya mengalami situasi takut, tidak nyaman, dan sebagainya. Perlindungan ini diberikan agar saksi saat dimintai keterangan dalam setiap proses hukum merasa nyaman, tidak dalam ancaman atau intimidasi,” katanya.
Selain perlindungan prosedural, saksi N bahkan berhak mendapat penggantian biaya rehabilitasi psikologis, sesuai bukti adanya dampak psikologis yang didapat saksi terkait kasus penganiayaan itu.
Baca juga: Pelajaran Mahal dari Kasus Mario Dandy
Pada intinya, kata Hasto, setiap korban kejahatan bisa mendapat perlindungan dari LPSK.
”Setiap orang potensial menjadi korban kejahatan. Banyak kejahatan terjadi tanpa kita bisa menghindar, misalnya pengeboman dalam kasus terorisme sampai kejahatan jalanan begal, seperti klitih yang marak di Yogyakarta,” kata Hasto.
Berbagai ancaman juga rentan diterima pihak-pihak yang terlibat dalam proses hukum. Oleh karena itu, sesuai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, LPSK dapat melindungi korban, saksi, pelapor, saksi pelaku, dan ahli yang dimintai keterangannya di persidangan.
Subyek-subyek itu diprioritaskan jika mereka terlibat sembilan jenis pidana, yakni terorisme, pelanggaran HAM berat, korupsi, pencucian uang, perdagangan orang, kekerasan seksual, narkotika, penganiayaan berat, dan penyiksaan. Di luar tindak pidana itu, LPSK juga berwenang memberi perlindungan kepada masyarakat yang terancam.
”Perlindungan yang diberikan LPSK mengandung bantuan medis, psikologis, termasuk psikososial untuk memulihkan kondisi sosial, ekonomi, dan spiritual korban kejahatan ataupun keluarganya. LPSK juga mendapat mandat dari undang-undang untuk menuntut ganti rugi kepada pelaku atau restitusi, atau ganti rugi dari negara yang disebut kompensasi,” ujarnya.
Korban kejahatan, secara individu, melalui keluarga, atau kuasa hukum, aparat penegak hukum, sampai instansi pemerintahan bisa mengajukan perlindungan ke LPSK melalui berbagai kanal. Tak jarang juga, LPSK jemput bola untuk menawarkan perlindungan pada korban kejahatan serius.
Partisipasi dua arah ini perlu digencarkan. LPSK baru menindaklanjuti sekitar 6.000 permohonan perlindungan per tahun lalu. Sementara itu, kejadian kejahatan se-nasional rata-rata mencapai 200.000 lebih kejadian per tahun, menurut data Badan Pusat Statistik.
Hukum kita sekarang perspektifnya adalah penyelesaian perkara bagi pelaku tindak pidana sehingga para pelaku itu yang lebih banyak mendapatkan perhatian, misalnya pengadilan harus imparsial, tidak semena-mena pada pelaku, dan lainnya. Perspektifnya belum memihak terhadap korban.
Solusi
Sistem perlindungan korban dan saksi yang dijalankan LPSK sesuai amanat UU No 31/2014, menurut dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hasril Hertanto, merupakan solusi bagi lemahnya implementasi hukum acara pidana untuk perlindungan korban.
”Hukum kita sekarang perspektifnya adalah penyelesaian perkara bagi pelaku tindak pidana sehingga para pelaku itu yang lebih banyak mendapatkan perhatian, misalnya pengadilan harus imparsial, tidak semena-mena pada pelaku, dan lainnya. Perspektifnya belum memihak terhadap korban,” katanya.
Terkait perlindungan korban, hukum yang ada hanya menyediakan kesempatan gugatan ganti rugi, bersamaan dengan proses pengadilan pidana utama atau setelahnya. Namun, hak itu jarang diajukan korban dan penegak hukum kerap tidak sensitif terhadap hak pemulihan korban.
”Kalau memang hak itu bisa dijalani dengan baik, kita tidak perlu LPSK untuk minta ganti rugi atas tindak pidana ke pelaku. Masalahnya, korban sering kali pihak tidak berdaya, secara sosial, politik, atau ekonomi. Keberadaan LPSK ini sangat penting untuk mereka-mereka ini,” ujarnya.
LPSK di antaranya membantu SHK (23), pekerja rumah tangga asal Pemalang, Jawa Tengah, yang dalam laporan ke Polda Metro Jaya pada 9 Desember 2022 mendapat penganiayaan berat oleh keluarga di Simprug, Jakarta Selatan.
Selain mendapat bantuan dari lembaga hukum untuk memproses kasusnya, SHK juga memperoleh penggantian biaya dari LPSK untuk perawatannya di rumah sakit selama dua bulan. Mekanisme penggantian biaya diajukan ke pengadilan dalam bentuk restitusi.
Lalu, bagaimana dengan korban penganiayaan Mario dan kawanannya? Apakah ia akan meraih perlindungan maksimal sebagai sebuah kemenangan, bak David yang mampu menjadi Raja Bani Israel usai menjatuhkan Goliat?
Baca juga: Perbudakan Modern Menggelinding di Perkotaan