Dengan melihat pendanaan yang seret dan juga tuntutan investor yang makin ketat, maka usaha rintisan Indonesia menghadapi masa depan yang tidak ringan.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·4 menit baca
Dua pekan lalu saya bertemu dengan tiga petinggi usaha rintisan (startup) di Indonesia. Mereka bercerita tentang bisnis mereka. Mereka memang masih mendapat pendanaan di tengah aksi korporasi perusahaan modal ventura (venture capital) mulai mengurangi pendanaan. Namun, ketiganya mengatakan, mereka sudah tidak lagi bakar-bakar uang. Mereka harus bisa menunjukkan bisnis riil mereka dan jelas sekali pendapatannya.
Kisah usaha rintisan sekarang sangat berbeda dibandingkan kisah mereka sebelum tahun 2020. Mereka bisa membusungkan dada setelah mendapat pendanaan dari mulai pendanaan awal sampai kemudian pendanaan seri A, B, C, dan D. Tentu mereka makin bangga ketika menjadi unicorn atau perusahaan dengan valuasi 1 miliar dollar AS. Mereka juga jorjoran untuk mengakuisisi pelanggan. Mereka dikenal dengan menggunakan strategi bakar uang untuk menarik atensi publik.
Mereka lebih membanggakan valuasi dibandingkan menceritakan kisah bisnis riil mereka. Sebenarnya situasi sudah berubah ketika kasus usaha rintisan properti WeWork di Amerika Serikat yang batal melakukan penawaran saham perdana di New York. Penyebab dari kegagalan ini adalah valuasi yang kemungkinan digelembungkan. Setelah kasus ini, investor lebih banyak menanyakan rencana bisnis usaha rintisan untuk mendapatkan keuntungan dan masa depan mereka dibandingkan menanyakan valuasi.
Di Indonesia pembalikan keadaan ini juga terlihat dari pengumuman sejumlah usaha rintisan yang telah mencapai unicorn. Mereka tidak lagi mendapatkan sambutan dari publik. Pengumuman itu direspons dengan biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa dari unicorn. Mereka lebih melihat kemampuan mereka untuk menjalankan bisnis dan kepastian mendapatkan untung dibandingkan sekadar valuasi. Pada saat pendanaan seret karena situasi ekonomi yang tidak menguntungkan dengan ditandai kenaikan suku bunga, investor memang makin pelit untuk mengucurkan dana. Mereka makin berhati-hati mendanai usaha rintisan.
Tidak ada yang istimewa dari unicorn.
Jumlah usaha rintisan di berbagai belahan dunia memang terus bertambah dibandingkan tahun sebelumnya. Sebagai contoh Indonesia yang berada di peringkat kelima dan keenam dunia berdasarkan jumlah usaha rintisan, pada tahun 2022 memiliki jumlah usaha rintisan mencapai 2.346 usaha. Pada tahun ini jumlahnya telah menjadi 2.483 pada Juni lalu. Namun, sejumlah usaha rintisan terpaksa harus tutup usaha. Mereka bukan usaha rintisan yang kecil. Beberapa sudah mendapatkan pendanaan besar dan sudah dikenal di publik.
Dengan melihat pendanaan yang seret dan juga tuntutan investor yang makin ketat, maka usaha rintisan Indonesia menghadapi masa depan yang tidak ringan. Mereka yang terbiasa dengan kemudahan pendanaan dan membuat strategi bakar uang terpaksa harus langsung mengubah haluan. Mereka harus segera untung dan bisa membiayai operasi bisnis mereka sendiri. Saat ini pengelola usaha rintisan tengah berada pada posisi bertahan dan berjuang agar bisa selamat dan melalui masa sulit.
Gambaran sejenis muncul di Amerika Serikat. Laporan Financial Times akhir pekan lalu menyebutkan, sepuluh tahun yang lalu terdapat usaha rintisan dengan jumlah kurang dari 20.000. Namun, di seluruh AS, sekarang jumlah usaha rintisan telah mencapai lebih dari 50.000 usaha rintisan yang didukung oleh modal ventura. Jika melihat jumlah, tentu angka-angka itu menggembirakan. Orang mudah sekali terpesona dengan apa yang terlihat.
Sementara, sesungguhnya jumlah perusahaan rintisan teknologi AS yang berisiko gagal dalam bisnisnya atau valuasinya turun terus meningkat. Tidak ada angka yang terungkap ke publik, tetapi disebutkan jumlah usaha rintisan yang berisiko gagal sebelumnya tidak pernah setinggi saat ini. Media yang banyak melakukan liputan pendanaan usaha rintisan, yaitu Pitchbook, menyebutkan hal ini bukan hanya karena keengganan investor untuk mendanai mereka lagi, melainkan juga karena valuasi mereka memang jatuh di pasar. Puncak pendanaan usaha rintisan terjadi pada tahun 2021 ketika muncul usaha rintisan yang membuat inovasi, seperti pengelolaan dana pensiun, jasa laundry, dan jasa pengantaran.
Setelah itu boleh dibilang pendanaan hilang dan menguap. Kasus Silicon Valley Bank yang diandalkan oleh usaha rintisan untuk pengelolaan pendanaan makin membuat usaha rintisan kesulitan memiliki uang segar pada saat mereka harus bertumbuh. Apalagi belakangan ditambah perubahan visi pengelola perusahaan modal ventura di mana mereka lebih melirik usaha rintisan berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Mereka seperti mendapat mainan baru. Tidak sedikit perusahaan modal ventura yang mengucurkan dana dalam jumlah besar untuk perusahaan yang mengembangkan teknologi kecerdasan buatan.
Keadaan ini telah menyebabkan sejumlah masalah di Amerika Serikat. Pendanaan awal untuk usaha rintisan telah anjlok lebih dari seperempat pada triwulan kedua dibandingkan triwulan pertama tahun ini. Kemudian, satu dari lima usaha langsung gagal pada tahun pertamanya berdasarkan data dari US Bureau of Labor Statistics. Di dalam usaha rintisan berbasis teknologi angka kegagalan ini disebutkan lebih besar lagi.
Melihat perkembangan saat ini, tekanan yang sama terjadi juga di usaha-usaha rintisan di Indonesia. Mereka yang baru mulai sudah pasti harus diwajibkan bisa segera membiayai operasinya. Mereka yang sudah bertahun-tahun berjalan harus segera membereskan masalah dan tidak lagi bergantung pada seri pendanaan. Mereka juga harus segera untung. Jika tidak? Penutupan usaha rintisan akan makin marak. Pemutusan hubungan kerja akan terjadi lagi dalam jumlah yang tidak kecil karena tekanan ekonomi masih terus terjadi.
Pengecualian adalah mereka yang muncul tiba-tiba masuk ke pasar dan seperti memiliki dana yang jumlahnya tidak terbatas. Orang terheran-heran karena di tengah pendanaan yang seret akibat sejumlah investor yang memindahkan uang ke instrumen yang lebih aman, mereka malah berani mengucurkan dana dalam jumlah besar di bisnis yang memiliki risiko besar. Jika ini terus terjadi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan sebaiknya meneliti mereka karena ada indikasi perilaku yang tidak wajar.
Salah satu cara untuk menyelamatkan usaha rintisan adalah konsolidasi sesama usaha rintisan. Langkah lain adalah menjual usaha rintisan ke perusahaan besar. Di Amerika Serikat, sejumlah usaha rintisan dibeli antara lain oleh Databricks, Thomson Reuters, Robinhoid, dan Ramp. Di Indonesia, Astra kabarnya membeli OLX Autos.