
JAKARTA, KOMPAS — Pengurangan sumber dana dari para investor memaksa perusahaan rintisan bidang teknologi putar arah. Dari valuasi menjadi efisiensi. Penyehatan menjadi sebuah keharusan bagi perusahaan rintisan teknologi karena era bakar duit telah berakhir.
Demikian mengemuka dalam diskusi daring ”Disrupsi Gelombang Kedua, Era Berkelimpahan Dana Investasi Start Up Usai” yang diselenggarakan Asosiasi Media Siber Indonesia, Jumat (11/3/2023). Founder Rumah Perubahan Rhenald Kasali menyampaikan, start up memasuki puncak kejayaan selama pandemi dengan kelimpahan dana investor berbiaya modal rendah.
Start up berhasil merebut pasar dengan teknik bakar uang yang menghasilkan top line (pendapatan) dan merebut hati investor pemburu valuasi tinggi. Namun, valuasi melalui metode bakar uang belum bisa membentuk pasar yang stabil.
Saat ini, kata Rhenald, suku bunga bank tinggi menjadi game changer. Untuk menekan inflasi yang tinggi, sejak Juli lalu The Fed di Amerika Serikat meningkatkan suku bunga dengan cepat sehingga para investor menarik dananya dari investasi di perusahaan teknologi ke deposito bank atau surat berharga pemerintah yang memberikan return lebih tinggi.
”Pengurangan sumber dana membuat perusahaan beralih dari valuasi menjadi efisiensi. Dari top line ke bottom line, maka penyehatan menjadi sebuah keharusan karena era bakar duit telah berakhir,” kata Rhenald.
Bakar uang yang dilakukan para start up untuk mendapatkan gross merchandise value yang tumbuh demi mendapatkan valuasi, tambah Rhenald, ketika suku bunga tinggi, start up tidak bisa bakar uang, mereka mulai rasional dan fokus pada bottom line, seperti sponsor, endorse, iklan, dan event. ”Cari uang dengan cara yang real, bukan jumlah customer ataupun pelanggan,” katanya.
Baca juga: GoTo Kembali Pangkas Jumlah Karyawan

Ia mencontohkan PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GoTo) yang kembali melakukan efisiensi sumber daya manusia (SDM) dalam perusahaannya karena semakin ramping semakin baik. Start up harus rasional dan dituntut realistis.
Kenaikan suku bunga
Secara terpisah, ekonom bidang ekonomi digital, Nailul Huda, menyampaikan, porsi investor asing dalam investasi digital secara nasional mencapai 80 persen. Hal ini membuat suku bunga The Fed berpengaruh signifikan terhadap investasi di sektor digital nasional.
Dampaknya, perusahaan digital di Indonesia akan kekurangan pendanaan yang nantinya akan direspons dengan efisiensi karyawan atau PHK. Hal ini tetap akan terjadi pada 2023 karena The Fed kemungkinan masih enggan menghentikan kenaikan suku bunga acuan, apalagi menurunkannya.
”Jika sebuah start up mendapatkan pendanaan, saya rasa bisa bangkit. Namun, tantangan masih besar. Masih sedikit yang berani berinvestasi di saat tantangan ekonomi semakin berat. Maka, mencari pendanaan domestik ide yang bagus. Seperti seed funding, tetapi investornya dari dalam negeri. Sudah semakin banyak modal ventura dalam negeri atau perusahaan dalam negeri yang mau investasi, misalnya BUMN,” katanya.
Ketua Indonesia Fintech Society Rudiantara berpendapat, orientasi investor saat ini tertuju kepada start up later stage atau pendanaan seri B+,C, dan D yang road to profitability-nya jelas. Road to profitability ditunjukan dengan cash flow positif atau pendapatan sebelum bunga, pajak, dan amortisasi (EBITDA) sudah positif. Sementara start up early stage, kata Rudiantara, perlu melihat kembali model bisnisnya karena saat ini tidak lagi zamannya mendatangkan pelanggan, tetapi cash flow.
”Start up later stage pun harus melihat kembali model bisnisnya agar EBITDA-nya benar-benar menjadi positif. Apalagi start up early stage (pre series atau seri A) risiko kesulitan mendapatkan pendanaan pasti lebih tinggi dibanding start up later stage. Apabila bisa mendapat pendanaan pun, valuasinya akan berkurang,” katanya.
Situasi ini, kata Rudiantara, masih akan berlangsung karena kondisi ekonomi global menyebabkan inflasi dan kebijakan suku bunga tinggi. Kondisi tersebut masih akan berlangsung hingga enam bulan ke depan.
Baca juga: "Tech Winter" Dikabarkan Masih Akan Berlanjut pada 2023