Belanja dan Belanja, tetapi Kulkas Tak Juga Penuh
Harga bahan pangan naik? Itu sudah biasa. Yang tidak biasa adalah kota perlu dipaksa menemukan cara memenuhi kebutuhan pangan bergizi bagi warganya di tengah sergapan tren kelaparan, malanutrisi, dan kemiskinan.
Pekerja-pekerja dan keluarga-keluarga kelas menengah kini menemukan kembali kesenangannya berkumpul bersama teman, makan bareng di luar, membeli produk-produk yang menarik hati. Segala pembatasan terkait pengendalian pandemi sudah tak berlaku lagi, hasrat jalan-jalan dan belanja tersalurkan.
Perilaku konsumtif yang disebut ikut mempercepat perputaran ekonomi itu didorong untuk terus berlangsung dengan perhelatan berbagai kegiatan mulai dari konser, pameran, dan banyak lagi ragamnya. Namun, di balik sukacita itu, terpapar jua fakta berbeda. Keinginan ataupun kebutuhan membelanjakan uang terkadang dan bahkan sering kali tak sebanding dengan kemampuan.
Data terakhir Otoritas Jasa Keuangan, misalnya, Jakarta memiliki 2,3 juta rekening aktif di platform pinjaman daring untuk berutang senilai total Rp 10,5 triliun per Mei 2023. Jakarta ada di peringkat kedua di Indonesia setelah Jawa Barat yang memiliki 4,8 juta rekening aktif dengan pembiayaan berjalan sebesar Rp 13,8 triliun, (Kompas.id, 6 Juli 2023).
Baca juga: Legenda Urban Membantu Manusia Bertahan Hidup
Naiknya pinjaman daring itu konsisten terjadi sejak 2020. Tidak dimungkiri ada pengguna platform pinjaman daring semata karena tergoda iklan, iming-imingi bunga ringan, atau justru tertipu pihak tak bertanggung jawab. Namun, secara umum, tingginya angka utang disebut OJK berkorelasi dengan belum pulihnya kemampuan ekonomi warga yang terdampak pandemi Covid-19.
Belum semua warga yang kehilangan pekerjaan dan berkurang pendapatannya karena wabah global kembali memiliki mata pencarian dan penghasilan memadai. Padahal, kenaikan harga bahan bakar minyak dan bahan pokok diikuti berbagai produk jasa maupun layanan lain tak bisa dibendung dalam 1-2 tahun terakhir.
Bagi orangtua sekaligus pekerja urban yang memilih praktis dengan membeli lauk cepat saji seperti chicken nugget, sosis, dan lainnya harus tabah dengan tingginya kenaikan harga produk-produk itu.
Chicken nugget kemasan 500 gram, misalnya, dari Rp 50.000-an di akhir 2022 sekarang tembus di atas Rp 70.000. Memang chicken nugget yang dimaksud tergolong berkualitas bagus. Produk itu diklaim memiliki lebih banyak kandungan daging ayam asli dibandingkan bahan campuran lain. Kalau mau yang lebih murah, bisa jadi campuran tepung, perisa ayam, dan bahan lain lebih dominan.
Baca juga: Meraba-raba Kota Global Jakarta
Seorang teman pernah mengatakan, sekarang belanja ratusan ribu sampai satu juta rupiah ke atas tiba di rumah kulkas pun belum terisi penuh. ”Enggak sampai seminggu sudah kosong lagi. Belanja lagi,” katanya.
Bagi yang berpenghasilan tergolong mapan, meskipun tidak sampai mengganggu hidup mereka, kenaikan harga tetap terasa menambah anggaran untuk kebutuhan sehari-hari keluarganya. Sembari berkumpul di kafe usai mengantar anak ke sekolah, menyeruput kopi susu, mengunyah croissant juga cinnamon roll, mereka biasa mengutuk harga pangan berkualitas yang terus naik.
Di luar mereka, sebagian orang lagi terpaksa mengurangi kesenangan makan di luar, bahkan pilihan produk makanan yang dibeli pun turun kelas agar kebutuhan seminggu atau sebulan tetap terpenuhi dengan anggaran sama.
Sebagian lainnya seperti temuan OJK terpaksa berutang. Belanja makanan semurah mungkin asal tetap kenyang dan masih bisa menambal kebutuhan pokok lain, seperti pendidikan.
Baca juga: Uang Besar di Balik Pekat Kabut Polusi Udara
Kelaparan dan malanutrisi
World Food Programme (WFP) secara khusus memberi intensi penuh terkait pemenuhan bahan pangan dan dampak Covid-19. Dalam "WFP Urban Strategy, Achieving zero hunger in an urbanising world", badan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa ini mengingatkan sekaligus menawarkan cara untuk mengatasi problema tersebut, khususnya di kawasan perkotaan.
Dunia memang semakin urban. Sebanyak 4,5 miliar orang atau 55 persen dari populasi dunia saat ini tinggal di perkotaan. Sebagian besar pertumbuhan ini akan berkonsentrasi di negara-negara berpenghasilan menengah dan rendah, dengan 90 persen terjadi di Asia dan Afrika. Megatren urbanisasi ini mendorong peningkatan jumlah orang menghadapi kerawanan pangan dan malnutrisi di perkotaan.
Urbanisasi telah melampaui pertumbuhan ekonomi makro di sebagian besar negara berpendapatan rendah dan menengah. Akibatnya, jutaan orang gagal memperoleh manfaat yang umumnya diasosiasikan dengan kehidupan perkotaan, termasuk kesempatan kerja yang lebih baik, akses ke layanan dasar fungsional dan pendidikan.
Kemiskinan diakui masih merajalela di pedesaan. Namun, 97 juta orang didorong ke dalam kemiskinan ekstrim sebagai akibat dari pandemi menurut Bank Dunia. Di 110 negara diperkirakan orang miskin baru cenderung tinggal di perkotaan. Mereka menjadi tenaga kerja nonformal, seperti di sektor konstruksi dan manufaktur.
Baca juga: Panen Madu dari Sarang Lebah di Pabrik Sepeda Motor
Seiring dunia yang makin mengkota, terjadi transisi nutrisi. Transisi nutrisi terjadi ketika perkembangan teknologi membuat produk makanan rendah serat dan tinggi kandungan gula, kalori, dan lemak jenuh berlimpah. Produk olahan yang dinilai tidak sehat itu jauh lebih murah dibandingkan dengan bahan pangan alami seperti sayur mayur juga sumber protein berkualitas.
Satu dari tiga anak yang tinggal di daerah perkotaan mengalami stunting. Angka itu meningkat menjadi 54 persen di keluarga berpenghasilan rendah.
Konsumsi makanan olahan meningkat 5,45 persen setiap tahun di negara-negara berpenghasilan menengah. Kondisi ini menciptakan dikotomi di mana kelaparan dan kekurangan gizi hidup berdampingan dengan obesitas, kadang-kadang dalam rumah tangga yang sama.
WFP mencatat, satu dari tiga anak yang tinggal di daerah perkotaan mengalami stunting. Angka itu meningkat menjadi 54 persen di keluarga berpenghasilan rendah. Hal ini mengakibatkan tiga beban malanutrisi, yaitu kurang gizi, defisiensi mikronutrien, dan obesitas yang terkait dengan urbanisasi, komersialisasi, aksesibilitas, dan keterjangkauan makanan sehat. Dengan demikian, semakin menjadi masalah bagi penduduk perkotaan.
Megatren urbanisasi juga rakus melahap lahan pertanian produktif. Sebanyak 30 juta hektar global lahan pertanian diperkirakan akan hilang pada tahun 2030 karena perluasan dan peramahan perkotaan. Sekitar 80 persen dari fenomena itu berlangsung di Asia dan Afrika.
Indonesia dan kota-kotanya seperti kita tahu bagian dari Asia serta masuk jajaran negara berpenghasilan menengah.
Baca juga: Keberagaman 190 Bangsa di Kota ”Multikulti” Berlin
Berpusat di kota
WFP menegaskan diperlukan strategi jitu, yaitu dengan menempatkan perkotaan sebagai konteks penting dalam upaya mencapai nol kelaparan untuk sebagian besar populasi global.
Keadilan akses terhadap makanan bergizi terjangkau butuh diwujudkan. Bantuan uang tunai dan dalam bentuk kartu untuk belanja bahan pangan murah yang disediakan negara dan pemerintah daerah sangat menolong, terutama bagi warga yang membutuhkan.
Namun, secara umum, kota-kota butuh menjadi tangguh dan berkemampuan untuk memastikan kebutuhan dasar warga mudah didapatkan. Kemudian, akses terhadap pangan bergizi terjamin.
Demi mewujudkannya, WFP mendorong tiap kota menetapkan target pembangunan berorientasi menyejahterakan manusia, bukan sekadar kebijakan berjalan atau tidak. Kerja sama antarkota dan kota dengan desa maupun kawasan di sekitarnya bakal mempermudah membentuk sistem pasok makanan.
Baca juga: Coldplay Membawa Jakarta Lebih Dekat Menjadi Kota Musik
Kunci pembangunan kota, yaitu menitikberatkan pada pemenuhan layanan dasar dan layanan publik juga mengacu pada kota berkelanjutan. Kota-kota masa kini jangan lagi alergi dengan pertanian urban yang disinergikan dengan tata ruang sehingga dapat memasok sebagian kebutuhan pangannya.
Sayangnya, di negara-negara dalam pusaran utama berlangsungnya megatren urbanisasi, kesadaran untuk memenuhi ketahanan pangan sebagai hal prioritas belum sepenuhnya tumbuh.
Padahal, dunia yang mengkota adalah keniscayaan. Miliaran kaum urban tak disangkal butuh asupan gizi memadai secara adil merata. Jika sehat warganya, kota pun sehat dan produktif. Negara tinggal memanen semua kebaikan dari pertumbuhan perkotaannya.
Baca juga: Catatan Urban