Legenda Urban Membantu Manusia Bertahan Hidup
Kisah geng motor, perampokan, sampai pembunuh berantai berkembang menjadi legenda kota. Sensasi menakutkan, tetapi diminati karena membuka sisi gelap kota, menjaga relasi sosial, kewaspadaan, dan membantu bertahan hidup.
Kisah itu tersebar dari mulut ke mulut dari media sosial ke media sosial. Gerombolan laki-laki bersepeda motor menyandang pedang dan kelewang. Mereka menyergap seorang pengguna jalan lain, membuat si korban jongkok ketakutan di tepian aspal, merampas sepeda motornya, lantas menderu pergi.
Tidak pernah dapat dipastikan itu cerita asli atau rekayasa. Tidak pernah pula dapat menjamin apakah benar lokasinya di Tangerang Selatan. Ada informasi lain menyebutkan kasus itu terjadi di Bekasi, di Depok, bahkan di Yogyakarta, Bandung, juga Medan dan Surabaya.
Yang pasti teror geng motor atau di Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya lebih dikenal dengan sebutan klitih makin menguat. Apalagi banyak kasus geng motor terbukti bukan isapan jempol belaka. Polisi di banyak kota telah menangkap para pelaku dan memproses hukum mereka. Korban penganiayaan hingga korban tewas akibat ulah kelompok beringas ini diulas lengkap di media massa.
Kaum urban di mana saja yang terbiasa pulang malam karena tuntutan pekerjaan atau sekadar punya hobi nongkrong hingga dini hari dipaksa waswas karena geng motor. Imbauan resmi dari aparat keamanan meminta warga meningkatkan kewaspadaan dan sedapat mungkin menghindari tempat-tempat sepi terlebih pada malam atau dini hari.
Baca juga : Meraba-raba Kota Global Jakarta
Kasus serupa yang juga menerbitkan kekhawatiran adalah maling atau perampok terekam kamera pemantau menyatroni rumah demi rumah di kompleks perumahan. Video hitam putih itu memperlihatkan dua atau lebih laki-laki memeriksa pagar-pagar, mengintip ke dalam rumah, lalu melompat, membobol pintu, dan menggasak barang-barang berharga.
Bulu kuduk meremang melihat aksi para penjahat itu, apalagi jika menyadari bisa jadi perumahan tempat tinggal kita tak luput dari sasaran kriminalitas serupa.
Cerita kriminalitas banyak berkembang dengan tambahan bumbu di sana-sini. Di perkotaan modern, kasus kejahatan sejak lama telah menjadi bagian dari legenda urban. Tak kalah seru dari cerita mistis hantu penunggu jembatan, rumah kosong, atau apartemen. Lebih mengerikan dibandingkan dengan makhluk rekaan dari dunia maya, Slenderman.
Di negara maju ataupun berkembang, legenda urban terkait kejahatan sama-sama mendominasi. Ada kisah pembunuh berantai di masa lalu yang sampai sekarang terus diceritakan dan membuat warga kota-kota di Amerika Serikat merinding.
Baca juga: Uang Besar di Balik Pekat Kabut Polusi Udara
The Conversation dalam salah satu ulasannya tentang buku Worrier State: Risk, Anxiety and Moral Panic in South Africa menyebut kriminalitas gangster, kejahatan, praktik sihir, dan ketakutan melanda kota di Afrika Selatan. Di kawasan perkampungan Alex di Johannesburg, misalnya, ada gerombolan perampok khusus mengincar televisi plasma.
Anehnya, perampok mencari bubuk magnesium oksida di dalam televisi untuk dijadikan campuran narkoba. Sepak terjang mereka menjadi mimpi buruk warga yang hangat didesas-desuskan dan menjadi bagian dari legenda urban setempat. Ada bumbu praktik sihir yang diyakini masih dilakukan oleh para penjahat.
Kasus tersebut menjadi potret kota yang berkembang pesat dengan penetrasi teknologi tak dapat dibendung. Ketimpangan pendidikan juga kesejahteraan menjadi risiko dari pertumbuhan kota yang disikapi warga dengan berbeda.
Tidak semua orang mampu bersaing meraih kesejahteraan dan hidup nyaman di kota yang sama. Sebagian dari mereka yang kalah dan terpinggirkan mengembangkan fantasi sebagai kaum unggul lewat kejahatan dengan bergabung dalam kelompok tertentu. Mereka menggunakan obat-obatan terlarang, senjata, dan mitos seperti sihir untuk memperkuat eksistensinya.
Gejala serupa terlihat dalam kasus geng motor di perkotaan Indonesia.
Baca juga: Panen Madu dari Sarang Lebah di Pabrik Sepeda Motor
Kelangsungan hidup
Selain menunjukkan sisi gelap kota, legenda urban memiliki fungsi lain.
Kate Tuttle dalam esainya di The New York Times menyatakan, banyak orang, terutama perempuan, menyukai cerita kriminal dan legenda kota terkait. Seperti yang Tuttle rasakan, menyimak kisah pembunuhan berantai membuatnya ketakutan, tetapi ada sensasi tertentu. Sensasi ini membuatnya cemas luar biasa, tetapi ada rasa mendebarkan serta ingin lagi dan lagi merasakannya.
Meminjam data Amazon, Tuttle menyebut pada 2010 saja lebih dari 70 persen pembaca buku kisah nyata kriminal di platform tersebut adalah perempuan. Di luar itu, ia menyadari perempuan banyak menjadi korban kejahatan di mana saja.
Tuttle berpendapat, dengan menyimak kembali cerita kejahatan, baik kisah nyata maupun yang telah menjadi legenda urban dengan kebenaran diragukan, perempuan belajar mendeteksi dan menghindari atau menyelamatkan diri dari sasaran kriminalitas. Perempuan merasa lebih aman saat mengetahui kisah kejahatan dengan korban sesama perempuan pada akhirnya terungkap dan pelakunya dihukum berat.
Dari cerita rakyat sampai legenda urban, diketahui manusia memiliki minat dan perhatian lebih pada hal-hal seputar manusia itu sendiri. (Joe Stubbersfield)
Dalam perkembangannya seperti juga terjadi di Indonesia, kriminalitas dengan menargetkan perempuan tak lagi selalu berbalik mengungkung perempuan. Gerakan untuk membuat negara lewat aparat berwajib juga masyarakat meningkatkan keamanan agar perempuan terjamin hak serta terlindungi di mana saja menguat.
Baca juga: Keberagaman 190 Bangsa di Kota ”Multikulti” Berlin
Menurut Joe Stubbersfield dari Durham University, legenda urban tak lebih dari perkembangan cerita rakyat yang telah mengakrabi manusia sejak lama. Legenda urban sering dianggap kesenangan tak berbahaya. Terkadang kisah mitos ini dapat menimbulkan konsekuensi negatif pada individu dan komunitas, seperti menyebarkan ketakutan dan ketidakpercayaan. Meskipun demikian, legenda urban turut membantu kelangsungan hidup manusia-manusia kota.
Dari cerita rakyat sampai legenda urban, diketahui manusia memiliki minat dan perhatian lebih pada hal-hal seputar manusia itu sendiri. Tak heran, tulis Stubbersfield lebih lanjut di The Conversation, jika isu-isu di media sosial, drama televisi, novel, juga pemberitaan di media massa konvensional terkait manusia, keluarga, persahabatan, kisah cinta, hingga tragedi hidup dan mati seseorang selalu disambut hangat sampai viral.
Risetnya bersama Jamie Tehrani dan Emma Flynn menunjukkan keberhasilan legenda urban dapat dijelaskan dengan cara otak kita berevolusi untuk belajar, mengingat, dan mengirimkan jenis informasi tertentu dengan lebih mudah daripada informasi lain. Kesuksesan legenda urban itu dapat dijelaskan oleh dua bias utama dalam kognisi manusia.
Bias pertama menunjukkan manusia berevolusi untuk memperhatikan dan mengingat informasi tentang lingkungan yang penting untuk kelangsungan hidup. Bias kedua menunjukkan manusia mengembangkan kecerdasan yang lebih besar untuk melacak interaksi dan hubungan sosial. Hipotesis ini menunjukkan manusia cenderung meneruskan informasi sosial terkait cara bertahan hidup walaupun informasi itu tak sepenuhnya nyata.
Baca juga: Coldplay Membawa Jakarta Lebih Dekat Menjadi Kota Musik
Terkait hal itu, isu terakhir yang memanas di antaranya tentang manusia tergilas kemajuan teknologi kecerdasan buatan yang diciptakannya sendiri. Beberapa kisah fiktif film, buku, sampai perdebatan di kalangan peneliti dan akademisi telah menjadi bagian dari legenda urban.
Di tengah kekhawatiran ataupun keraguan terhadap kecerdasan buatan, terselip informasi tentang keyakinan bahwa kekhasan manusia tidak bisa disalin ulang begitu saja oleh kemajuan teknologi. Kekhasan itu adalah kemanusiaan dan welas asih pada sesama manusia juga makhluk hidup lain. Kemanusiaan diyakini punya andil besar dalam menjaga ras manusia lestari.
Baca juga: Catatan Urban