Polusi udara di perkotaan terbelenggu aktivitas industri dan mobilitas warga penggerak utama ekonomi, sedangkan realisasi industri hijau tak secepat yang diharapkan.
Oleh
NELI TRIANA
·5 menit baca
Polusi udara masih menjadi perbincangan di media sosial dan menjadi suguhan laporan jurnalistik di berbagai platform media. Selain merujuk data kualitas udara terkini, khususnya di Jakarta dan sekitarnya, pembahasan juga mengaitkan dengan kondisi pada waktu-waktu sebelumnya dan berbagai konsekuensi kesehatan publik.
Tahun lalu, World Air Quality 2022: Region & City PM 2.5 Ranking menempatkan Jakarta pada urutan ke-20 kota dengan tingkat polusi udara terburuk di dunia. Kadar PM 2,5 yang tercatat 36,2 mikrogram per meter kubik atau tujuh kali lebih tinggi dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Mengacu data Clean Air Catalist tahun 2022, udara buruk berpotensi memicu penyakit hingga kematian dini, terutama di kalangan kelompok rentan ibu hamil, anak-anak, dan warga lanjut usia.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebelumnya menyatakan, pemicu penurunan kualitas udara di Jakarta ialah kendaraan bermotor, industri, arah angin, dan kelembaban. Pernyataan BMKG itu tak jauh beda dengan data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta yang menegaskan, sumber pencemar udara berasal dari kendaraan bermotor, kegiatan konstruksi, industri, dan sebagainya.
Kawasan Bodetabek pun bernasib sama karena memiliki sumber pencemar nyaris sama. Sumber pencemar serupa ditemukan di Surabaya dan sekitarnya, Makassar dan sekitarnya, dan banyak kawasan aglomerasi lain.
Sumber-sumber pencemar tersebut bukan hal yang bisa dengan mudah dikendalikan karena masih menjadi sandaran perekonomian setiap kawasan dan negara. Mei lalu, Kementerian Perindustrian menyatakan, sektor industri, khususnya industri manufaktur, berkontribusi terbesar dalam menopang pertumbuhan ekonomi nasional di awal 2023 dan ini tren yang sama dari tahun ke tahun meskipun sempat terusik pandemi Covid-19.
Industri manufaktur mencakup industri makanan dan minuman, tekstil, bahan kimia, farmasi, komputer, kendaraan bermotor, dan pengolahan lain. Kasatmata industri manufaktur ini ada di kota atau sekitar kota tempat konsentrasi penduduk berada, seperti di Jabodetabek.
Selama ini, sektor industri banyak menyerap tenaga kerja, mengalirkan uang menghidupi keluarga, dan memajukan negeri ini. Akan tetapi, aktivitas industri juga berdampak buruk. Eksplorasi sumber daya alam untuk bahan industri dan keperluan lahan untuk industri serta bangkitan ikutannya—termasuk munculnya permukiman bahkan kota baru—memicu alih fungsi lahan yang masif. Di luar itu, limbah industri turut mencemari tanah, air, dan pastinya udara.
Menyadari baik dan buruk sektor industri serta sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang sepakat mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) di 2030, Indonesia sebenarnya telah berkomitmen beralih pada ekonomi hijau. Ekonomi hijau salah satunya dimotori industri hijau yang mempertimbangkan sisi keberlanjutan dan lingkungan demi mencapai keseimbangan antara ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Konsep ekonomi hijau di Indonesia didefinisikan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang diadopsi dari definisi ekonomi hijau Program Lingkungan PBB (UNEP). Dalam strategi transformasi ekonomi Indonesia, ekonomi hijau ditujukan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan inklusif dengan tetap mewujudkan kesejahteraan sosial dan menjaga kualitas lingkungan.
Praktik ekonomi hijau di Indonesia berpusat pada kebijakan pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim. Kedua kebijakan tersebut terintegrasi dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN 2020–2024) yang juga mengindahkan mandat United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Green Economic Index (GEI) Indonesia melaporkan ada tren meningkat pembangunan ekonomi hijau di Indonesia selama periode 10 tahun (2011-2020), yaitu dengan skor komposit 59,17 pada 2020.
Kondisi itu, menurut Bappenas, menunjukkan lintasan jelas untuk mengurangi intensitas emisi terutama didorong kebijakan yang terkait pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan (forest and other land uses/FOLU), seperti moratorium hutan dan mempertahankan kawasan hutan primer tetap tinggi sejak 2011. Selain itu, ada empat indikator memiliki skor sangat baik, yaitu lebih dari 75 yang meliputi tutupan hutan, pengelolaan limbah, produktivitas tenaga kerja industri, dan harapan hidup masyarakat meningkat.
Namun, klaim pencapaian Indonesia di bidang ekonomi hijau dinilai berbeda terutama jika khusus melihat hasil di sektor industri.
Data Kementerian Perindustrian, sampai awal 2022, baru 44 perusahaan industri memiliki sertifikasi hijau. Padahal, direktori industri manufaktur 2021 Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, ada 29.000 perusahaan industri menengah dan besar. Artinya, sertifikasi industri hijau hingga tahun itu baru 0,15 persen. Salah satu tantangannya adalah standar industri hijau yang masih terbatas pada 31 komoditas.
Investasi energi terbarukan di Indonesia mengalami stagnasi, menyebabkan tujuan energi terbarukan negara belum terpenuhi.
Institute for Essential Services Reform (IESR) lewat ”Indonesia Sustainable Finance Outlook 2023”, di antaranya menyatakan, investasi energi terbarukan di Indonesia mengalami stagnasi, menyebabkan tujuan energi terbarukan negara belum terpenuhi.
Untuk mencapai 23 persen pangsa energi terbarukan dalam bauran energi nasional pada 2025, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperkirakan Indonesia membutuhkan investasi minimal 8 miliar dollar Amerika Serikat setiap tahun, dengan total 36,95 miliar dollar AS. ESDM memperkirakan untuk mencapai emisi nol pada 2060, Indonesia butuh investasi 1 triliun dollar AS atau 29 miliar dollar AS per tahun.
Realisasinya, rata-rata investasi tahunan dalam energi terbarukan lima tahun terakhir 1,62 miliar dollar AS atau 20,2 persen dari kebutuhan untuk mencapai sasaran 2025. Selain itu, Indonesia menetapkan target investasi energi terbarukan 3,91 miliar dollar AS di 2022 yang berarti 2,3 miliar dollar AS di bawah kebutuhan investasi tahunan 8 miliar dollar AS.
Di Indonesia, menurut IESR, pembiayaan energi terbarukan masih menghadapi sejumlah kendala. Tarif energi terbarukan tidak menarik dan ada persaingan dengan bahan bakar fosil bersubsidi. Kemudian, persyaratan modal perusahaan untuk membeli, meningkatkan, dan memelihara aset berwujud termasuk tanah, bangunan, mesin, dan aset fisik lainnya (capex/capital expenditure) yang tinggi.
Kendala lain, kurangnya kejelasan dan ketertelusuran arus keuangan dan alokasi pembiayaan publik untuk proyek energi terbarukan, tidak adanya transparansi dan prediktabilitas dalam proses pengadaan pembangkit energi terbarukan baru. Kendala tersebut terus mengikis kepercayaan investor terhadap investasi energi terbarukan.
Indonesia berusaha menjawab persoalan itu dengan Kelompok Kerja Pembiayaan Berkelanjutan G20. Fokus utamanya pada kerangka pembiayaan transisi, komitmen lembaga keuangan, dan instrumen pembiayaan berkelanjutan yang terjangkau dan mudah diakses. Di Indonesia, hal ini hendak direalisasikan dengan mendukung komitmen lembaga keuangan, seperti Bank Indonesia dalam transisi keuangan dan menghilangkan hambatan pembiayaan proyek hijau.
Dapat dilihat Indonesia masih berkutat pada perjuangan awal menata pondasi pembangunan ekonomi hijau. Banyak pihak harap-harap cemas Indonesia dapat mencapai target 23 persen pangsa energi terbarukan di 2025.
Dengan demikian, ekses industri, seperti polusi udara, juga bakal sulit ditebak kapan benar-benar dapat diatasi. Di tingkat kota, kesiapan menangkal polusi dengan pembangunan sistem angkutan umum memadai, ruang terbuka hijau 30 persen dari luas daerah, juga layanan kesehatan hingga kampanye menangkis dampak polusi udara pada tiap individu pun masih jauh dari mencukupi.
Akhirnya, kaum urban Indonesia masih harus lebih banyak mengambil langkah antisipasi mandiri di tengah polusi, seperti tetap memakai masker sehari-hari, demi meminimalkan dampak buruk polusi udara.