Perisai Hijau Kota Penangkal Suhu Panas
Setidaknya satu tahun dari 2022-2026, iklim global akan melampaui pemanasan 1,5 derajat celsius di atas masa pra-industri tahun 1850-1900.
Stereotip bahwa kota adalah lahan terbuka dengan lebih banyak bangunan dibandingkan dengan ruang hijau benar adanya. Suhu udara panas lekat dengan gambaran khas perkotaan. Tidak heran jika setiap ada tegakan pohon, apalagi taman atau hutan kota lengkap dengan situ, selalu disamakan sebagai oase di tengah terik dan keringnya kota.
Di luar stereotip kota itu, suhu udara tinggi dalam beberapa tahun terakhir memang kian menjadi persoalan. Suhu makin terakselerasi ketika ada fenomena cuaca tambahan, seperti gelombang panas yang kini melanda daratan Asia.
Di Indonesia, menurut Badan Klimatologi, Meteorologi, dan Geofisika (BMKG), tidaklah dikenal gelombang panas. Suhu panas saat ini karena fenomena gerak semu matahari dan berpotensi berulang setiap tahunnya. Hanya saja, BMKG mengingatkan ada kemungkinan kemarau panjang di banyak daerah di Indonesia.
Walakin, suhu panas tidak boleh diremehkan. Laporan United in Science 2022 yang dikompilasi World Meteorological Organization (WMO) menyebutkan, setidaknya satu tahun dari 2022–2026 ada kemungkinan hingga 50 persen iklim global akan melampaui pemanasan 1,5 derajat celsius di atas masa pra-industri tahun 1850-1900.
Kalau benar-benar terjadi, ini yang dikhawatirkan para pemerhati iklim global. Sebab, fakta itu akan diikuti sejumlah bencana, seperti kenaikan permukaan laut yang mengakuisisi daratan berpenghuni, penyebaran penyakit tertentu, pencairan bongkahan es di kutub, hingga fenomena iklim lain yang berisiko.
Baca juga: Mudik dan Godaan Kota 15 Menit di Kampung Halaman
Selain itu, setidaknya satu tahun di antara 2022 dan 2026 kemungkinan hingga 93 persen akan lebih hangat daripada tahun terpanas pada 2016. Suhu rata-rata pada 2022–2026 akan lebih tinggi daripada 2017–2021.
Laporan yang sama mengingatkan miliaran orang di dunia bakal terkena dampak perubahan iklim. Kota-kota bertanggung jawab atas 70 persen emisi yang disebabkan oleh perilaku manusia. Kota-kota pula yang akan menghadapi peningkatan dampak sosial ekonomi dan paling rentan terkena imbas cuaca ekstrem.
Pertumbuhan perkotaan dan aktivitas pendukungnya menyebabkan produksi emisi karbon tak terbendung. Hal itu turut memicu efek rumah kaca yang di antaranya menyebabkan suhu memanas. United in Science menunjukkan emisi CO2 global pada Januari-Mei 2022 adalah 1,2 persen lebih tinggi dibandingkan dengan periode sama pada 2019 (sebelum pandemi Covid-19).
Seperempat emisi disumbang dari perubahan penggunaan lahan. Penggunaan lahan itu tiga perempatnya disebabkan untuk pertanian, termasuk penggembalaan ternak. Pembukaan lahan besar-besaran itu demi kebutuhan pangan 8 miliar penduduk dunia yang lebih dari 50 persennya ada di perkotaan.
Baca juga: Mudik, Perayaan Migrasi Temporer Duta-duta Kota
Agar tak terus berkubang masalah, Sidang Umum PBB pada September 2015 menelurkan Agenda 2030 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). SDGs ini melanjutkan dan memperkuat Millennium Development Goals (MDGs).
Dengan SDGs, disepakati bahwa pembangunan kelak berbuah masa depan sesuai dengan kebutuhan seisi Bumi. Hasil SDGs ditargetkan berupa peningkatan kesejahteraan ekonomi berkesinambungan, kualitas lingkungan hidup terjaga, serta terlaksana pembangunan inklusif dan tata kelola yang mampu meningkatkan kualitas kehidupan dari generasi ke generasi berikutnya. Intinya, arah pembangunan dan perilaku manusia harus diubah agar lingkungan hidup terjaga demi kelangsungan hidup manusia dan semua makhluk.
Dalam tataran kebijakan di tingkat kota, kedua poin itu diterjemahkan dalam berbagai program.
Tujuan 11 dari 17 SDGs secara spesifik, yaitu mewujudkan kota dan permukiman berkelanjutan. Pada tujuan 11 poin 6 ditegaskan wajib mengurangi dampak lingkungan perkotaan yang merugikan, termasuk memberi perhatian khusus pada kualitas udara, di antaranya dengan menekan polusi perkotaan. Poin 7 menargetkan pada 2030 tersedia ruang publik dan ruang terbuka hijau yang aman, inklusif, dan mudah dijangkau semua warga.
Poin 6 dan 7 secara langsung memberi tanggung jawab pada tiap kota agar aktif mengatasi perubahan iklim yang di antaranya turut memicu naiknya suhu panas.
Baca juga: Enam Belas Episode Pelajaran Hidup ”Drakor” Melepas Stres
Dalam tataran kebijakan di tingkat kota, kedua poin itu diterjemahkan dalam berbagai program, termasuk kota hijau atau kota taman, kota biru, kota nol karbon, kota hutan, kota donat atau sirkular, hingga kota spons. Semua itu antitesis dari pembangunan kawasan urban yang sebelumnya marak terjadi.
Sebelumnya, demi hidup kota, lahan hijau di kawasan urban ataupun nonurban dialihfungsikan. Sekarang kota harus berlomba mengembalikan tutupan hijau dan tangkapan air bersamaan dengan memastikan berbagai kebutuhan warganya terpenuhi.
Tetangga dekat Indonesia, Singapura, telah mendahului dengan menjadikan lebih dari 47 persen kawasannya menjadi area hijau dan biru. Siapa saja yang pernah ke Singapura pasti menyadari betapa banyaknya pohon rindang di sepanjang trotoar di semua sudut negara kota itu. Taman dan hutan kota hampir semua terhubung dengan jalur sepeda dan trotoar.
Saat ini, kota maju lain mengikuti Singapura. Shanghai di China tenar dengan konsep kota spons, London di Inggris dengan kota hutan, Paris di Perancis dengan kota 15 menit yang memanjakan pejalan kaki dan pengguna angkutan umum dengan memperluas layanan transportasi publik serta memperbanyak taman kota.
Baca juga: Kemacetan dan Jebakan Negara Berkembang
Tenggat di 2030
Dengan luas nyaris setara dengan ”negeri Singa”, baru sekitar 10 persen kawasan Jakarta berupa ruang terbuka hijau dan biru. Mencapai angka itu pun sebuah percepatan yang dirintis setidaknya 14 tahun silam. Pada 2009, DKI Jakarta memulai langkah baik menutup 25 stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di jalur hijau dan mengembalikan lahan ke fungsi awalnya (Kompas, 9 November 2009).
Secara bertahap, taman-taman diremajakan dan bermunculan ruang terbuka hijau (RTH) baru. Saat ini, cukup mudah menemukan Ruang Publik Terbuka Ramah Anak (RPTRA) dan Taman Maju Bersama (TMB) yang menggabungkan RTH dengan area bermain publik. Penataan dan penghijauan trotoar mulai dirintis. DKI mendorong partisipasi warga dan swasta menambah ruang hijau privat. Program bangunan hijau rendah emisi mulai diterapkan, khususnya untuk gedung-gedung baru.
Baca juga: Kecamuk Amuk Kaum Muda Belia
Meskipun demikian, Jakarta juga kota lain di Indonesia masih harus segera melepas ketertinggalan dengan menyediakan 30 persen RTH, seperti diamanatkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Target SDGs seharusnya tuntas pada 2030, yang berarti dalam 7 tahun ke depan pembangunan RTH pantas dikebut.
Tutupan hijau itu tak hanya untuk menangkis sinar sang surya, tetapi bisa pula sebagai penyerap air hujan, penyimpan air tanah, hingga pengendali banjir. Tentu juga dampak lain sebagai estetika kota.
Apa yang dapat dilakukan setiap warga untuk menambah perisai hijau kota? Yuk menanam walau hanya satu pohon atau satu pot di tempat kerja, rumah, dan lingkungan sekitar. Di mana saja. Mulai hari ini.
Baca juga: Catatan Urban